JATIMTIMES - Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) terus memunculkan pembicaraan di tengah masyarakat, terutama kalangan akademisi. Di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Malang, RUU KUHAP itu dibahas dalam forum seminar nasional, Rabu (12/2/2025).
Pada seminar tersebut, ahli hukum berkumpul untuk membahas dampak RUU KUHAP. Namun seminar itu tidak hanya dibahas oleh ahli hukum, melainkan juga ada mahasiswa dan jurnalis untuk memberikan perspektif berbeda pada pembahasannya.
Baca Juga : Tertunda 11 Tahun, Penasihat Khusus Presiden Dikukuhkan Jadi Guru Besar UM
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Prof Dr Sudarsono SH MH mengkritisi RUU KUHAP. Dia menilai rancangan tersebut perlu diperbaiki sebelum disahkan agar tidak terjadi kontroversi atau tumpang tindih kewenangan antara lembaga penegak hukum seperti kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan.
Menurut Prof Sudarsono, jika tidak dilakukan harmonisasi secara matang, maka pembahasan RUU ini bisa memicu konflik kewenangan antar-institusi.
“Rancangan KUHAP ini kalau tidak diluruskan dan dibatalkan, berpotensi memperumit pembagian tugas dan tanggung jawab dalam sistem peradilan pidana di Indonesia,” kata Sudarsono.
“Kami khawatir ini akan menjadi ‘perang RUU’. Semoga tidak terjadi. Tetapi inilah tugas akademisi, memberikan kontribusi untuk menyeimbangkan agar tidak terjadi ove- kewenangan atau tumpang tindih antara satu RUU dengan lainnya,” imbuh dia.
Sudarsono menambahkan, dalam draf RUU Kejaksaan, ada sejumlah poin yang berpotensi memperluas kewenangan lembaga tersebut, termasuk dalam hal penyelidikan dan penyidikan. Padahal, secara hukum, penyelidikan dan penyidikan merupakan tugas utama kepolisian.
Sementara itu, Dr Muhammad Rustamaji SH MH, dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Solo, menambahkan bahwa jika kewenangan ini diperluas tanpa batasan yang jelas, dapat menimbulkan gesekan di lapangan antara jaksa dan polisi. Sebab, dari sisi kewenangan, RUU Kejaksaan memberikan ruang cukup besar bagi kejaksaan untuk melakukan proses-proses mulai dari penyelidikan hingga penyidikan. “Padahal, secara alami, ini adalah fungsi dari kepolisian,” jelas Rustamaji.
Di sisi lain, revisi Rancangan KUHP juga harus dipastikan tetap menjaga keseimbangan dalam proses hukum. Salah satu poin utama dalam RUU ini adalah adanya usulan peran hakim komisaris, yang berfungsi sebagai pengawas tindakan aparat penegak hukum agar tidak sewenang-wenang dalam melakukan penangkapan dan penahanan.
“Di Rancangan KUHAP nanti kita lihat lagi bagaimana pengaturannya. Jangan sampai ada pasal yang justru melemahkan perlindungan hak asasi manusia dalam proses hukum. Semua ini perlu ditempatkan secara proporsional,” kata Rustamaji.
Hal senada juga disampaikan Prof Dr Pujiyono SH MHum selaku guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Ia menegaskan serta mengingatkan bahwa penyusunan RUU ini harus dilakukan dengan cermat agar tidak melahirkan lembaga dengan kewenangan terlalu besar atau superbody sehingga berpotensi menyalahgunakan kekuasaan.
“Jangan sampai RUU ini menjadikan satu lembaga menjadi superbody. Ini berbahaya sekali. Independensi kejaksaan dan kepolisian harus tetap terjaga agar optimal, tanpa intervensi politik yang berlebihan,” tandas Pujiyono.
Baca Juga : Mudah Banget! Begini Cara Cek Tilang Elektronik Secara Online
Independensi juga menjadi aspek penting dalam sistem peradilan pidana mengingat lembaga seperti kejaksaan dan kepolisian kerap berada dalam tekanan politik.
“Apakah sekarang mereka belum independen? Tidak juga. Tapi dalam beberapa hal, intervensi politik bisa cukup kuat menekan lembaga-lembaga ini. Oleh karena itu, independensi mereka harus diatur dengan baik dalam pasal-pasal yang ada,” ucap Pujiyono.
Selain kewenangan, dirinya juga menyoroti pentingnya sistem merit dalam institusi kejaksaan dan kepolisian. Ia menekankan bahwa setiap proses hukum harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan profesionalisme.
Pujiyono juga menyoroti pentingnya sistem merit dalam rekrutmen dan promosi di lembaga penegak hukum. Menurut dia, sistem ini harus diatur lebih rinci dalam undang-undang agar tidak terjadi nepotisme atau penyalahgunaan jabatan.
Atas dasar berbagai potensi permasalahan tersebut, para pemateri dalam seminar nasional ini menilai Rancangan KUHP tidak bisa serta-merta disahkan tanpa perbaikan substansial.
Diharapkan pemerintah dan DPR lebih terbuka terhadap masukan dari akademisi dan pakar hukum dalam menyusun regulasi yang berdampak luas bagi sistem peradilan di Indonesia. Apalagi, kampus memiliki peran penting sebagai pihak yang netral dalam memberikan kajian dan rekomendasi hukum.
“Perguruan tinggi dan akademisi berperan dalam menjembatani agar setiap regulasi tetap dalam koridor yang harmonis. Kami tidak memiliki conflict of interest yang besar sehingga bisa melihatnya lebih objektif,” tutup Pujiyono.