JATIMTIMES - Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Acara Pidana (RUU KUHAP) saat ini tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat dan praktisi hukum. Dengan sejumlah perubahan yang diperkenalkan, RUU ini menuai beragam tanggapan, baik yang mendukung maupun yang mengkritik. Namun, menurut Sigit Budi Santoso, S.H., M.H., Pakar Hukum dari Universitas Wisnuwardhana (Unidha) Malang, secara keseluruhan, RUU ini telah mengalami perbaikan signifikan dibandingkan dengan KUHAP yang lama.
Sigit mengungkapkan bahwa sekitar 90 persen dari rancangan RUU KUHAP sudah sangat baik, meskipun masih ada beberapa aspek yang perlu penyempurnaan. “Kami, para akademisi dan praktisi hukum, melihat bahwa RUU KUHAP ini sudah jauh lebih baik, meskipun masih ada beberapa bagian yang perlu diperbaiki berdasarkan masukan dari berbagai pihak,” ungkap Sigit yang juga Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan ini.
Salah satu isu utama yang banyak dibahas adalah tentang potensi tumpang tindih kewenangan antara penyidik Polri dan pihak Kejaksaan. Banyak pihak yang khawatir adanya benturan tugas antara keduanya, namun Sigit justru melihat hal tersebut sebagai langkah maju. Menurutnya, RUU KUHAP memberikan kesempatan bagi Jaksa untuk turut berperan dalam proses penyidikan apabila penyidikan oleh Polri terhambat. Jika penyidikan Polri melebihi batas waktu 14 hari, tersangka atau pelapor dapat mengajukan permohonan kepada Kejaksaan untuk meneruskan penyidikan tersebut.
“Dengan adanya ketentuan ini, tidak ada tumpang tindih kewenangan, karena sudah ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Ini justru membuka peluang bagi masyarakat yang terlibat dalam proses hukum untuk mendapatkan kepastian,” jelasnya.
Namun, meskipun ada banyak kemajuan, Sigit juga mengingatkan tentang kurangnya sanksi terhadap tidak diselesaikannya proses penyidikan dalam batas waktu yang ditetapkan. Ia menilai bahwa RUU KUHAP seharusnya memuat ketentuan sanksi yang jelas bagi penyidik yang gagal memenuhi tenggat waktu yang telah ditentukan.
Keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) juga dianggap sebagai langkah positif dalam RUU KUHAP. Dengan adanya HPP, sebuah perkara dapat diperiksa terlebih dahulu untuk menilai kelayakannya sebelum dilanjutkan ke persidangan. “Jika hasil pemeriksaan HPP menyatakan bahwa perkara tersebut tidak layak, maka perkara tersebut bisa dihentikan. Ini tentu akan mempercepat proses hukum,” imbuhnya.
Sigit juga menyoroti pentingnya konsep Restorative Justice (RJ) dalam RUU KUHAP. Dalam rancangan ini, Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengajukan penyelesaian secara damai, baik untuk tersangka maupun ahli waris tersangka, dengan syarat-syarat tertentu. Menurut Sigit, penerapan RJ akan memberikan jalan keluar yang lebih manusiawi bagi mereka yang memenuhi kriteria, serta memberikan kesempatan bagi tersangka untuk menjalani hidup yang lebih baik.
Baca Juga : Cara Mengamankan Akun Media Sosial dari Pakar Keamanan Siber Agar Tidak Mudah Dibobol
Meskipun RUU KUHAP telah menunjukkan arah yang positif, Sigit menekankan bahwa masih ada ruang untuk perbaikan. “Meskipun saya menilai 90 persen dari rancangan ini sudah sangat baik, namun kami tetap mengharapkan adanya masukan dari berbagai pihak, baik akademisi maupun praktisi hukum, untuk memperbaiki sisa 10 persen yang masih perlu perhatian,” kata Sigit.
Untuk itu, diskusi dan forum-forum seperti FGD menjadi salah satu sarana penting untuk terus menyempurnakan RUU KUHAP. Dengan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan praktisi hukum, diharapkan RUU ini dapat menjadi landasan hukum yang lebih kuat dan adil bagi masyarakat Indonesia.