free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Transformasi Keraton Kartasura: Dari Pusat Peradaban Mataram Jadi Petilasan Sunyi

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

12 - Sep - 2024, 20:25

Placeholder
Batu petilasan ini menandai bekas ruang utama Raja di Keraton Kartasura, menjadi saksi sejarah kerajaan Mataram.(Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Keraton Kartasura Hadiningrat yang pernah menjadi pusat kekuasaan Kerajaan Mataram menyimpan sejarah panjang yang penuh dengan kebesaran dan gejolak. Didirikan pada tahun 1680 oleh Sunan Amangkurat II, keraton ini menjadi saksi dari berbagai peristiwa penting dalam sejarah Jawa. 

Namun, setelah ditinggalkan pada 1745 ketika ibu kota dipindahkan ke Surakarta oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II, Kartasura perlahan tenggelam dalam kesunyian dan terlupakan. Kini, petilasan keraton yang dulunya megah berubah menjadi area bersejarah yang mengundang rasa penasaran para peneliti dan pelancong.

Baca Juga : Catat Tanggalnya, Pemkab Blitar Akan Gelar Jamasan Gong Kiai Pradah

Pendirian Kartasura: Sebuah Upaya Pemulihan Mataram

Kisah Keraton Kartasura dimulai dari kehancuran Keraton Pleret akibat serangan Trunajaya pada 1677. Sunan Amangkurat II, yang baru naik tahta, merasa perlu memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi baru yang lebih strategis. Setelah mempertimbangkan beberapa opsi, Hutan Wanakerta dipilih sebagai tempat yang ideal. Lokasi ini dianggap strategis karena dekat dengan jalur utama perdagangan dan pertanian yang subur. Pada 11 September 1680, Sunan Amangkurat II memerintahkan untuk memulai pembangunan Keraton Kartasura Hadiningrat.

Pembangunan ini dilaksanakan dengan semangat tinggi, walaupun pada awalnya menggunakan bahan sederhana seperti bambu dan atap rumbia. Seiring waktu, keraton ini diperindah dengan bantuan arsitek dari India dan Singapura, menghasilkan perpaduan antara gaya lokal dan pengaruh luar. Kartasura menjadi pusat pemerintahan baru yang diharapkan membawa kejayaan dan kemakmuran bagi Mataram.

Masa Kejayaan Kartasura

Di masa kejayaannya, Keraton Kartasura menjadi simbol kekuatan dan kemakmuran Mataram Islam. Kehidupan di keraton ini menggambarkan harmoni antara politik, militer, dan kebudayaan. Berbagai upacara besar seperti Garebeg menjadi simbol kemegahan kerajaan, memperkuat identitas Islam di tanah Jawa. 

Perayaan Garebeg Mulud, Garebeg Puasa, dan Garebeg Besar diadakan tiga kali dalam setahun dengan penuh semarak. Pada momen-momen ini, Kartasura dipadati oleh rakyat, pejabat, dan penguasa daerah yang ingin memberikan penghormatan kepada raja.

Selain itu, seni sastra, musik, tari, dan seni bela diri tumbuh subur di bawah naungan Kartasura. Keraton ini menjadi pusat peradaban Jawa, memancarkan kekayaan intelektual dan spiritual. Festival dan perayaan kebudayaan yang diadakan di Kartasura menjadi simbol dari kemakmuran dan kestabilan yang dicapai selama periode ini.

Gejolak dan Pindahnya Ibu Kota

Namun, di balik kejayaan tersebut, Kartasura tidak terlepas dari gejolak politik. Masa pemerintahan Sunan Amangkurat II hingga Sunan Pakubuwana II diwarnai dengan berbagai konflik internal dan eksternal, termasuk pemberontakan dan tekanan dari Belanda. 

Puncaknya terjadi pada tahun 1742, ketika pemberontakan oleh pasukan Tionghoa dan Jawa yang dipimpin Raden Mas Garendi berhasil menduduki Kartasura. Keraton mengalami kerusakan parah, dan situasi politik yang tidak stabil memaksa Sunan Pakubuwana II memindahkan ibu kota ke Surakarta pada tahun 1745. Keputusan ini menandai akhir dari era kejayaan Kartasura sebagai pusat kekuasaan Mataram.

Setelah pindahnya ibu kota, Kartasura perlahan-lahan ditinggalkan dan berubah menjadi area terbengkalai. Hutan mulai menutupi bekas kraton, dan berbagai satwa liar, termasuk rusa menjangan, berkembang biak di area tersebut. 

Kartasura yang dahulu penuh dengan kehidupan pada akhirnya berubah menjadi hutan belantara, seolah terlupakan oleh waktu.Nasib Keraton Kartasura seakan terkubur bersama dengan riwayatnya, menjadi saksi bisu dari pergolakan politik dan dinamika kekuasaan di tanah Jawa. 

Saat ini, Keraton Kartasura hanya tersisa petilasannya, namun keberadaannya tetap dipertahankan dan dihormati, terutama karena warisan penting yang dimiliki oleh kerajaan Surakarta.

Transformasi ini mencerminkan dinamika politik yang bergejolak pada masa itu. Perpindahan ibu kota yang dilakukan oleh Pakubuwana II setelah peristiwa Geger Pecinan pada 1742 menjadi titik balik bagi Keraton Kartasura. Setelah perpindahan ini, Kartasura kehilangan perannya sebagai pusat kekuasaan dan lambat laun ditinggalkan. Di tengah keheningan hutan, Keraton Kartasura berubah menjadi tempat yang misterius dan sunyi, jauh dari kemegahan masa lalunya.

Pemugaran Oleh Pakubuwana IV

Pada tahun 1811, hampir tujuh dekade setelah Kartasura ditinggalkan, Sri Susuhunan Pakubuwana IV memutuskan untuk mengunjungi petilasan Keraton Kartasura. Kunjungan ini memiliki makna simbolis yang mendalam, karena Pakubuwana IV berniat menghidupkan kembali tempat yang bersejarah ini. Dalam kunjungannya, ia memerintahkan para abdi dalem dari Keraton Surakarta untuk membersihkan hutan lebat yang telah tumbuh di atas reruntuhan Keraton Kartasura.

Proses pemugaran ini tidak hanya bertujuan untuk menghilangkan pepohonan, tetapi juga untuk mengembalikan marwah dari bekas keraton tersebut. Sebagai bagian dari upaya ini, Pakubuwana IV juga memerintahkan pemindahan menjangan yang tinggal di hutan Keraton Kartasura ke Hutan Krapyak. Hutan yang sebelumnya menjadi rumah bagi hewan-hewan tersebut kemudian dinamakan "Kandang Menjangan."

Pemugaran ini merupakan upaya untuk menghidupkan kembali memori sejarah yang pernah terpendam di tempat itu. Setelah pembersihan selesai, Pakubuwana IV berkenan untuk bermeditasi di atas gundukan tanah yang dahulu merupakan ruang utama dan pribadi Raja Kartasura. Sebagai tanda penghormatan, ia memerintahkan pemasangan sepasang bongkahan batu sebagai simbol bahwa di tempat tersebut dahulu berdiri ruang penting yang pernah digunakan oleh Raja Kartasura.

Tempat Suci dan Makam Kerabat Raja

Setelah meditasi dan pemugaran, Keraton Kartasura kembali dihormati sebagai situs bersejarah. Pada tahun 1816, ketika salah seorang abdi dalem bernama Mas Ngabehi Sukareja wafat, Sri Susuhunan Pakubuwana IV memerintahkan agar jenazahnya dimakamkan di petilasan Keraton Kartasura. Perintah ini menandai dimulainya tradisi baru, di mana Kartasura digunakan sebagai tempat pemakaman kerabat kerajaan dan keluarga Susuhunan.

Kompleks pemakaman di petilasan Keraton Kartasura kini menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi sejumlah tokoh penting dari keraton Surakarta. Nama-nama yang dimakamkan di sini mencakup para abdi dalem dan kerabat kerajaan yang memiliki peran signifikan dalam sejarah kerajaan Mataram. 

Baca Juga : Kisah Inspiratif Inge, Pendongeng yang Menghidupkan Imajinasi Anak dan Tanamkan Hal Baik dalam Setiap Cerita

Di antaranya adalah Mas Ngabehi Sukareja, tokoh penting yang pertama dimakamkan di situs ini pada tahun 1816. Selain itu, terdapat pula G.P.H. Panular, Ki Dalang Nyoto Carito, dan K.P. Pandji Suryaningrat, putra dari Sunan Pakubuwana V, serta K.P.P. Cakradiningrat, putra K.P.P. Suryaningrat dari permaisuri B.R.Ay Suryaningrat, putri Sunan Pakubuwana VII. 

Beberapa tokoh lain yang dimakamkan di kompleks ini termasuk Garwa Ampil Sunan Pakubuwana VII, B.R.Ay Sedah Mirah, yang merupakan selir dan istri kesayangan Pakubuwana IX, serta para garwa ampil lainnya dari Sunan Pakubuwana IX. Nama-nama lain yang turut dimakamkan di sini adalah Pangeran Mloyokusumo, K.P. Pandji Mloyomiluhur, dan K.P.H. Adinegoro, yang seluruhnya merupakan bagian dari keluarga dan kerabat terdekat raja. 

Kehadiran makam-makam ini menandakan pentingnya Kartasura sebagai situs pemakaman yang dihormati, melestarikan jejak para bangsawan dan tokoh-tokoh berpengaruh dalam sejarah kerajaan Surakarta.

Dengan dimakamkannya tokoh-tokoh penting ini, petilasan Keraton Kartasura menjadi situs yang sakral, tempat keluarga kerajaan dan kerabat dekat disemayamkan. Penggunaan Kartasura sebagai tempat pemakaman juga menunjukkan bahwa meskipun keraton ini telah ditinggalkan sebagai pusat kekuasaan, ia tetap memiliki makna spiritual dan historis yang kuat bagi para penerusnya.

Masjid Hastana: Simbol Religi di Situs Bersejarah

Selain menjadi tempat pemakaman, pada masa pemerintahan Pakubuwana X, sebuah masjid dibangun di petilasan Keraton Kartasura. Masjid ini kemudian dikenal dengan nama Masjid Hastana. Keberadaan masjid ini menambah dimensi religius pada situs bersejarah tersebut, menjadikannya tidak hanya sebagai tempat yang dihormati karena masa lalunya, tetapi juga sebagai pusat kegiatan spiritual.

Masjid Hastana menjadi simbol kebangkitan spiritual di bekas Keraton Kartasura. Sebagai tempat yang dulu menjadi pusat kekuasaan, kini Kartasura juga berfungsi sebagai tempat ibadah dan perenungan. Keberadaan masjid ini menunjukkan kesinambungan tradisi keagamaan di dalam struktur kekuasaan kerajaan Mataram, yang selalu menggabungkan aspek religius dengan politik.

Kartasura Kini: Menghormati Masa Lalu, Merawat Kenangan

Saat ini, petilasan Keraton Kartasura berdiri sebagai monumen yang menghormati sejarah panjang dan kompleks dari kerajaan Mataram. Meskipun tidak lagi berfungsi sebagai pusat pemerintahan, Kartasura tetap memiliki arti penting dalam memori kolektif masyarakat Jawa, terutama bagi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang menjadi penerus langsung dari kerajaan Mataram.

Peninggalan berupa bongkahan batu yang dipasang oleh Pakubuwana IV sebagai tanda bekas ruang utama Raja, serta lantai batu alam yang dipasang pada masa Pakubuwana XII, menjadi saksi bisu dari sejarah Kartasura. Selain itu, kompleks pemakaman yang terus dipelihara juga menjadi bukti bahwa Kartasura tidak dilupakan. Bahkan, tradisi ziarah ke makam-makam kerabat raja masih terus dilakukan, menunjukkan bagaimana situs ini tetap memiliki makna spiritual yang mendalam.

Kartasura, dengan segala keterbatasan dan transformasinya, tetap menjadi simbol dari perjalanan sejarah yang panjang dan berliku. Dari pusat kekuasaan yang megah, menjadi hutan belantara, hingga kini kembali dihormati sebagai petilasan yang sarat makna, Kartasura telah melalui berbagai fase yang mencerminkan dinamika politik, sosial, dan budaya di tanah Jawa.

Meskipun fisik Keraton Kartasura telah lama hilang, warisan yang ditinggalkannya tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Jawa. Pemugaran dan pemeliharaan petilasan oleh para penerus Susuhunan merupakan bukti bahwa Kartasura tidak pernah benar-benar dilupakan. Situs ini menjadi pengingat bahwa kekuasaan dan sejarah memiliki siklus yang terus berulang, dan bahwa masa lalu selalu memiliki tempat di hati masyarakat yang menghargai sejarahnya.

Keraton Kartasura kini bukan hanya sekadar situs bersejarah, tetapi juga simbol kebangkitan dan pelestarian tradisi yang melampaui waktu. Dari hutan belantara hingga menjadi tempat ziarah dan perenungan spiritual, Kartasura tetap berdiri sebagai saksi dari riwayat panjang kerajaan Mataram, yang terus hidup dalam cerita dan ingatan generasi penerusnya.

 

 


Topik

Serba Serbi keraton kartasura sunan amangkurat ii kerajaan mataram



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana