JATIMTIMES – Di antara lembaran sejarah yang sering terabaikan, nama Pangeran Timur berdiri sebagai sosok penting dalam sejarah Jawa. Dikenal pula sebagai Panembahan Rangga Jumena atau Panembahan Madiun I, ia merupakan salah satu keturunan langsung dari Dinasti Demak dan Pajang yang menjadi leluhur penguasa Madiun serta memiliki keterkaitan erat dengan dinasti Mataram Islam.
Jejaknya tidak hanya membentuk struktur politik di wilayah Madiun, tetapi juga meninggalkan warisan yang merentang hingga ke Blitar dan Kartasura.
Garis Keturunan: Pewaris Darah Sultan Demak
Baca Juga : Evaluasi Kinerja 2024: Unisba Blitar Mantapkan Langkah Menuju Kampus Berdaya Saing
Pangeran Timur lahir dengan nama Pangeran Maskumambang, putra bungsu dari Sultan Trenggono, raja Kesultanan Demak, dengan Kanjeng Ratu Pembayun, putri dari Sunan Kalijaga. Sebagai keturunan dari garis trah Walisongo dan Kesultanan Demak, Pangeran Timur memiliki kedudukan istimewa dalam lingkaran elite politik Jawa.
Ia menikah dengan putri Pangeran Sekar Sedo Lepen, seorang tokoh yang berkaitan erat dengan sejarah Pajang, dan istrinya dikenal sebagai Ratu Timur. Dari pernikahan ini, lahir beberapa tokoh yang kelak memainkan peran penting dalam dinamika politik Jawa, termasuk Raden Ayu Retno Dumilah, perempuan yang kelak menjadi permaisuri Panembahan Senopati, pendiri Kesultanan Mataram Islam.
Selain dari Ratu Timur, Pangeran Timur juga memiliki keturunan dari garwa pangrembe (istri selir), yang memperluas garis keturunannya hingga ke berbagai wilayah kekuasaan di Jawa.
Dari pernikahan Pangeran Timur dengan Ratu Timoer, lahirlah keturunan-keturunan yang berperan besar dalam sejarah Jawa. Di antaranya adalah Raden Ayu Retno Dumilah yang menikah dengan Panembahan Senopati, pendiri Kesultanan Mataram. Selain itu, ada juga Raden Mas Lontang Hirawan, Raden Balap, Panembahan Hawuryan, Raden Ajeng Sulah, Raden Haryo Sumantri, dan Raden Haryo Kanoman, yang turut memperkuat pengaruh keluarga Pangeran Timur di tanah Jawa.
Dari pernikahannya dengan Garwa Pangrembe, Pangeran Timur menurunkan lebih banyak keturunan yang juga berperan penting dalam memperluas jaringan kekuasaan keluarga. Mereka antara lain Raden Ayu Semi ing Kalinyamat, Raden Ayu Pengulu, Pangeran Adipati Atmowijaya, Raden Ayu Winongan, Raden Mas Kaputran, Raden Ayu Pandam, Panembahan Hawuryan, Raden Ayu Pasangi, Raden Mas Tangsang Hurawan, Raden Mangkurat Wiryawan ing Madiun, Raden Ayu Pamegatan, Raden Kakap, dan Raden Haryo Paningron. Masing-masing dari mereka memiliki kontribusi yang signifikan dalam perjalanan politik dan sosial di wilayah Madiun dan sekitarnya.
Dinamika Politik: Madiun dalam Bayang-Bayang Pajang dan Mataram
Pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya di Pajang, Pangeran Timur diangkat menjadi Bupati Madiun dengan gelar Panembahan Mas. Penunjukan ini berkaitan erat dengan hubungan keluarganya, karena kakaknya, Kanjeng Ratu Mas Cempaka, adalah permaisuri utama Sultan Hadiwijaya.
Saat Pajang mengalami kemunduran, Madiun menjadi wilayah yang diperebutkan antara kekuatan yang tersisa dari Pajang dan kekuatan yang sedang tumbuh, yaitu Kesultanan Mataram yang dipimpin oleh Panembahan Senopati. Madiun, yang berada di jalur strategis, menjadi salah satu daerah yang ingin dikuasai Mataram dalam ekspansinya ke wilayah barat.
Perlawanan rakyat Madiun terhadap Mataram kemudian melahirkan tradisi seni yang bertahan hingga kini, yaitu tarian “Bedhah Madiun”, yang menggambarkan perlawanan sengit terhadap kekuatan baru tersebut. Namun, strategi politik dan pernikahan menjadi alat utama dalam meredam konflik ini.
Aliansi Politik: Pernikahan Retno Dumilah dan Panembahan Senopati
Sebagai bagian dari upaya Mataram untuk menundukkan Madiun, Panembahan Senopati menikahi Raden Ayu Retno Dumilah, putri sulung Pangeran Timur. Pernikahan ini bukan sekadar ikatan keluarga, tetapi juga strategi untuk mengamankan kesetiaan Madiun kepada Mataram.
Dari pernikahan tersebut lahirlah Panembahan Juminah, yang kelak menikah dengan Ratu Mas Adi, putri Pangeran Benowo dari Keraton Pajang dan ibu dari Sultan Agung, raja ketiga Kesultanan Mataram.
Pada abad ke-17, di bawah naungan Kesultanan Mataram, sebuah keluarga bangsawan di Madiun memainkan peran penting dalam sejarah Jawa. Panembahan Senopati, pendiri kerajaan Mataram, dengan cerdik memanfaatkan hubungan keluarga untuk memperkuat kekuasaannya. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan memberikan gelar kebangsawanan yang mencerminkan wilayah dan kekuatan. Gelar "Pangeran Blitar" menjadi salah satu gelar yang paling signifikan dalam sejarah keluarga ini.
Pemberian gelar "Pangeran Blitar" memiliki makna lebih dari sekadar simbol status sosial. Gelar ini menandakan keberadaan dinasti Mataram di wilayah Jawa Timur dan menjadi warisan yang turun-temurun dipegang oleh keturunan dari Pangeran Timur, penguasa Madiun yang juga merupakan leluhur dari Raden Ayu Retno Dumilah, istri Panembahan Senopati. Melalui pernikahan ini, Madiun menjadi bagian integral dari kerajaan Mataram, memperluas pengaruh Senopati yang akhirnya mendominasi hampir seluruh Jawa.
Retno Dumilah, putri Pangeran Timur, menikah dengan Panembahan Senopati dan memiliki tiga putra: Raden Mas Julig, Raden Bagus, dan Raden Mas Keniten. Raden Bagus, yang lebih dikenal dengan gelar Pangeran Blitar, adalah sosok yang memainkan peran paling penting di antara ketiga putra tersebut. Pangeran Blitar (Juminah) merupakan tokoh kunci yang meneruskan pengaruh keluarganya di Madiun dan menjadi simbol penting dalam sejarah Kesultanan Mataram. Penunjukan Raden Bagus sebagai Adipati Madiun menjadi titik awal bagi keturunan Pangeran Blitar dalam memerintah wilayah tersebut.
Selain Pangeran Blitar, tokoh-tokoh seperti Pangeran Ario Blitar dan Ratu Mas Blitar juga menjadi bagian dari garis keturunan yang memainkan peran penting dalam politik dan sejarah Mataram. Ratu Mas Blitar, putri dari Pangeran Balitar Tumapel, adalah permaisuri dari Sunan Pakubuwono I dan menurunkan penguasa-penguasa besar di Surakarta dan Yogyakarta.
Dinasti Blitar dan Pengaruhnya dalam Sejarah Mataram
Setelah pernikahan Panembahan Senopati dan Retno Dumilah, Madiun menjadi semakin terikat dengan Kesultanan Mataram. Gelar "Pangeran Blitar" terus diteruskan dalam keturunan mereka, termasuk Adipati Balitar dan Pangeran Balitar Tumapel yang memimpin Madiun pada abad ke-17. Nama "Blitar" tidak hanya merujuk pada sebuah wilayah, tetapi juga menjadi simbol kebangsawanan yang memiliki koneksi erat dengan sejarah Mataram.
Madiun, di bawah kendali keluarga ini, menjadi salah satu wilayah yang penting dalam peta politik Mataram. Pada masa pemerintahan Pangeran Blitar dan keturunannya, Madiun menjadi pusat pengaruh dan kekuasaan yang tidak dapat dipandang sebelah mata oleh penguasa Jawa lainnya. Bahkan, dalam Perjanjian Giyanti tahun 1755, yang membagi Kesultanan Mataram menjadi dua bagian, pengaruh keluarga Pangeran Blitar tetap terasa kuat di wilayah Madiun.
Pemberian gelar "Pangeran Blitar" oleh Panembahan Senopati memiliki tujuan strategis yang mendalam. H.J. De Graaf, seorang sejarawan ternama, mengungkapkan bahwa pemberian gelar ini tidak hanya berkaitan dengan penguatan posisi keluarga dalam struktur pemerintahan Mataram, tetapi juga berfungsi sebagai pernyataan klaim atas wilayah-wilayah yang memiliki nilai simbolis dan historis. Gelar ini melambangkan kekuatan dan keberlanjutan pemerintahan Mataram di seluruh Jawa.
Baca Juga : Mengapa Valentine Identik dengan Cokelat? Ini Sejarahnya
Seiring berjalannya waktu, gelar "Pangeran Blitar" tidak hanya menjadi tanda kebangsawanan, tetapi juga mencerminkan hubungan erat antara keluarga kerajaan Mataram dengan wilayah-wilayah strategis di Jawa Timur. Madiun dan Blitar menjadi dua wilayah yang terhubung erat dengan keluarga kerajaan Mataram melalui pemberian gelar-gelar kebangsawanan yang menandakan status tinggi.
Panembahan Juminah: Pangeran Blitar Pertama
Salah satu tokoh yang paling terkenal dengan gelar Pangeran Blitar adalah Panembahan Juminah. Sebagai putra Retno Dumilah dan Panembahan Senopati, Juminah bukan hanya menjadi penerus tahta di Madiun, tetapi juga menjadi simbol dari kekuatan politik Mataram di Jawa Timur. Sebagai bupati Madiun pertama yang menyandang gelar Pangeran Blitar, Panembahan Juminah memainkan peran penting dalam memperkuat posisi Mataram di wilayah tersebut.
Pada masa pemerintahannya, Juminah terlibat dalam berbagai pertempuran penting, termasuk perang melawan Tuban pada tahun 1619 dan serangan ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629. Meskipun gagal dalam beberapa serangan, Juminah tetap dihormati oleh Sultan Agung, yang memerintahkan pembangunan makam untuknya di Giriloyo. Sebagai bentuk penghormatan, Juminah dimakamkan di tempat tersebut bersama Ratu Mas Hadi, istri Sultan Agung.
Pangeran Blitar dan Perjuangan Mataram
Pangeran Blitar era Kasunanan Kartasura juga memiliki peran yang tidak kalah penting dalam perjuangan melawan kekuasaan luar Mataram. Salah satu contoh adalah keterlibatannya dalam Perang Suksesi Jawa II (1719-1723), yang dipicu oleh konflik internal dalam keluarga Mataram. Pangeran Blitar, bersama Pangeran Purbaya, memimpin pemberontakan melawan Sunan Amangkurat IV, saudara mereka. Meskipun pemberontakan ini gagal, semangat perjuangan Pangeran Blitar menginspirasi banyak tokoh lain dalam sejarah perjuangan Mataram.
Dalam perkembangan berikutnya, semangat perjuangan Pangeran Blitar terus hidup melalui keturunannya, termasuk Pangeran Sambernyawa, yang menjadi salah satu pahlawan besar dalam perjuangan anti-kolonial di Jawa.
Raden Mas Said, yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang dipenuhi dengan kisah-kisah keberanian dan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Mataram.
Warisan dan Pengaruh Keturunan Pangeran Blitar
Warisan Pangeran Blitar tidak hanya berakhir pada dirinya sendiri. Pengaruhnya terus berlanjut melalui keturunan yang memainkan peran penting dalam sejarah politik dan sosial Jawa. Pangeran Sambernyawa, sebagai keturunan langsung dari Pangeran Blitar, menjadi tokoh penting dalam sejarah perjuangan Indonesia, terutama dalam konteks perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Semangat perlawanan yang diwariskan oleh Pangeran Blitar menjadi inspirasi bagi perjuangan para pahlawan Indonesia lainnya.
Melalui pernikahan politik, hubungan darah, dan pengaruh yang meluas di kalangan kerajaan-kerajaan di Jawa, keluarga Pangeran Blitar membentuk jaringan kekuasaan yang tidak hanya penting bagi Kesultanan Mataram, tetapi juga bagi sejarah Indonesia secara keseluruhan. Nama "Blitar" yang melekat pada gelar kebangsawanan menjadi bukti dari pengaruh dan kebesaran keluarga ini dalam sejarah Jawa.
Jejak Panembahan Senopati dan Retno Dumilah, melalui keturunan yang menyandang gelar Pangeran Blitar, memberikan dampak yang sangat besar terhadap perkembangan politik dan sejarah Mataram. Dari Panembahan Juminah hingga Pangeran Blitar yang terlibat dalam Perang Suksesi Jawa, keluarga ini memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas dan pengaruh Kesultanan Mataram di Jawa Timur. Warisan mereka, yang mencakup semangat perjuangan dan kebangsawanan, terus dikenang hingga hari ini, tidak hanya di Blitar, tetapi di seluruh tanah Jawa.
Akhir Hidup dan Warisan Pangeran Timur
Pangeran Timur mengakhiri hayatnya di Madiun dan dimakamkan di Kuncen, Kota Madiun, yang hingga kini tetap dihormati sebagai tempat bersejarah di tanah Jawa. Warisan Pangeran Timur tidak hanya terletak pada garis keturunannya yang tersebar di berbagai kerajaan, tetapi juga pada strategi politik dan pernikahan yang menjadi fondasi dalam pembentukan kekuasaan di Jawa.
Dari Demak ke Madiun, dari Pajang ke Mataram, dan akhirnya ke Madiun, jejaknya menjadi benang merah yang merangkai sejarah para pemimpin Jawa. Keturunan Pangeran Timur melalui jalur Pangeran Blitar telah menorehkan sejarah panjang dalam dinamika kekuasaan di Jawa, menandakan bahwa tak hanya individu, tetapi juga keturunannya, memiliki peran penting dalam jalannya sejarah.
Namun, meski warisan ini masih terasa dalam kisah kekuasaan, tak jarang peran individu seperti Pangeran Timur terkubur dalam bayang-bayang catatan sejarah yang lebih besar. Sejarah sering kali mengabaikan detil-detil penting dalam perjalanan panjang kekuasaan, hanya untuk mengingat kembali tokoh-tokoh tersebut ketika momentum tertentu memanggil. Pangeran Timur, meski tidak terhubung langsung dengan kekuasaan yang ada, tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari jejak sejarah yang mencatat bagaimana kekuasaan dibangun, dipertahankan, dan diwariskan.