JATIMTIMES - Sejarah Plered adalah kisah epik tentang perjuangan dan keberanian. Dari masa keemasan sebagai pusat kekuasaan Kerajaan Mataram Islam di bawah Sunan Amangkurat I hingga menjadi arena pertempuran dalam Perang Jawa di abad ke-19, Plered menyimpan cerita dramatis yang mewarnai lembaran sejarah Indonesia.
Pada tahun 1826, Keraton Plered menjadi pusat pertempuran sengit antara pasukan Pangeran Diponegoro dan pasukan kolonial Belanda. Perang ini menandai babak penting dalam Perang Jawa, dengan Plered sebagai saksi bisu dari pergolakan yang mengubah jalannya sejarah Jawa.
Baca Juga : Kabupaten Malang Terima Penghargaan Wahana Tata Nugraha 2024 Keenam Kalinya
Kebangkitan dan Kejatuhan Plered
Keraton Plered yang dibangun oleh Amangkurat I, pernah menjadi pusat megah dari kekuasaan Mataram. Terletak di kawasan strategis, Plered dilengkapi dengan benteng setinggi tujuh meter dan panjang 1,5 kilometer yang memberikan perlindungan dari serangan luar.
Namun, kebesaran ini berakhir ketika pemberontakan Trunojoyo menggempur keraton tersebut pada tahun 1677, memaksa perpindahan ibu kota ke Kartasura. Meskipun kehilangan status sebagai pusat pemerintahan, Plered tetap menjadi simbol kekuatan dengan dinding-dindingnya yang kokoh.
Pada 11 November 1785, di lingkungan keraton Yogyakarta, lahirlah seorang pangeran yang kelak akan menjadi simbol perlawanan rakyat Jawa terhadap penindasan kolonial Belanda. Raden Mas Ontowiryo, yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Diponegoro, adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono III dan selirnya, Raden Ayu Mangkarawati. Masa kecil Diponegoro dihabiskan dalam suasana yang kental dengan nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan Jawa.
Sejak usia muda, Diponegoro menunjukkan ketertarikan yang mendalam terhadap agama Islam. Ia dibesarkan dengan ajaran-ajaran Islam yang kuat, yang membentuk kepribadiannya menjadi seorang muslim yang taat oleh neneknya, Ratu Ageng Tegalrejo.
Dalam suasana keraton yang penuh dengan ritual dan spiritualitas, Diponegoro mendalami ajaran agama dengan tekun dan mengembangkan ketaatannya kepada Allah. Ketaatan ini tidak hanya tercermin dalam kehidupannya sehari-hari tetapi juga menjadi landasan moral dalam perjuangannya kelak.
Pada tahun 1825, ketegangan antara pemerintah Hindia Belanda dan rakyat Jawa mencapai puncaknya. Pangeran Diponegoro, yang sudah lama merasa tidak puas dengan penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh Belanda, memutuskan untuk memimpin perlawanan besar yang dikenal sebagai Perang Diponegoro atau Perang Jawa. Dengan tekad yang kuat dan dukungan dari berbagai elemen masyarakat Jawa, ia mengangkat senjata dan memulai perlawanan dari Tegalrejo.
Tegalrejo, tempat kelahirannya, dipilih sebagai titik awal perlawanan karena lokasinya yang strategis dan kenangan masa kecilnya yang kuat di sana. Di tempat ini, Diponegoro mengumpulkan kekuatan dari para petani, ulama, dan bangsawan yang merasa tertindas oleh kebijakan kolonial Belanda. Bersama-sama, mereka membentuk pasukan yang bertekad untuk melawan kekuatan kolonial dengan segala cara yang mereka miliki.
Setelah memulai perlawanan dari Tegalrejo, Pangeran Diponegoro memilih Plered sebagai pusat logistik dan pangkalan militer. Pemilihan Plered bukan tanpa alasan; lokasi ini menawarkan keuntungan strategis dengan topografinya yang mendukung operasi militer dan kemampuan untuk menahan serangan musuh. Plered menjadi tempat di mana pasukan Diponegoro memperkuat pertahanan mereka, mengatur persenjataan, dan membangun jebakan-jebakan yang rumit untuk menghadapi tentara Belanda.
Di Plered, Diponegoro merencanakan serangan-serangan terhadap konvoi-konvoi Belanda dan mengatur logistik yang menjadi tulang punggung perlawanan mereka. Setiap inci tanah di Plered dipersiapkan untuk menghadapi pertempuran, dan setiap prajurit dilatih untuk bertempur dengan keberanian dan ketabahan. Plered tidak hanya menjadi benteng pertahanan tetapi juga simbol dari tekad kuat Diponegoro dan rakyatnya untuk melawan penjajahan hingga akhir.
Pertempuran Pertama di Plered (April 1826)
Pada April 1826, Jenderal Van Geen memimpin pasukan Belanda untuk menyerang Plered. Meskipun Diponegoro tidak terlibat langsung, ia menginstruksikan pasukannya untuk mundur ke barat, memungkinkan Van Geen memasuki Plered dan merebut persenjataan serta ternak.
Namun, Van Geen tidak memiliki cukup kekuatan untuk mempertahankan benteng yang baru direbut, dan akhirnya kembali ke Yogyakarta. Setelah mundurnya Belanda, Diponegoro merebut kembali Plered dan memperkuat pertahanan dengan taktik yang lebih canggih.
Pasukan Jenderal Van Geen, terdiri dari 300 infanteri, 400 penombak, 90 kavaleri, dan beberapa artileri ringan, mulai diserang dari kejauhan ketika mendekati Pleret. Pemberontak menembak dari atas tembok setelah menarik tangga mereka ke dalam.
Van Geen merespons dengan tembakan meriam, memaksa pemberontak mundur sejenak. Pasukan kavaleri kemudian diperintahkan untuk menghalangi pelarian musuh menuju Kali Opak. Namun, jalan masuk yang sempit dan barikade kayu membuat infanteri harus membongkar penghalang satu per satu untuk bisa menguasai bagian dalam keraton. Setelah pertempuran sengit, ratusan pemberontak tewas, dan keraton pun akhirnya berhasil direbut oleh Belanda, meskipun dengan korban di pihak mereka.
Pertempuran Kedua di Plered (Juni 1826)
Belanda tidak tinggal diam dan pada Juni 1826, mereka merencanakan serangan besar kedua ke Plered. Dipimpin oleh Kolonel Cochius, konvoi militer yang terdiri dari 4.200 serdadu dan didukung oleh Legiun Mangkunegaran, bergerak menuju Plered. Pertempuran pecah pada pukul setengah sepuluh pagi dengan tembakan artileri yang menghujani benteng Plered. Meskipun tembok Plered berhasil diledakkan sebagian, perlawanan sengit dari pasukan Diponegoro menyebabkan pertempuran yang berkepanjangan dan brutal.
Pertahanan Plered dirancang untuk memanfaatkan setiap keunggulan taktis. Pasukan Diponegoro memanfaatkan panggung bambu di dalam tembok untuk menembak dari posisi tinggi. Jalan masuk berliku dan sempit ke dalam benteng memberikan keuntungan defensif yang besar. Belanda menghadapi kesulitan besar dalam menembus barikade dan benteng yang dipertahankan dengan gigih oleh pasukan Diponegoro. Pada akhirnya, meskipun berhasil menerobos benteng, Belanda mengalami kerugian besar dalam usaha mereka untuk merebut kembali Plered.
Drama Pertempuran di Keraton Plered: Keberanian dan Ketegangan
Fajar mulai menyingsing di langit Plered pada pagi yang penuh ketegangan, 9 Juni 1826. Kabut tipis menyelimuti benteng tua yang berdiri dengan kokoh, seakan masih terjaga dari masa kejayaan Sultan Agung. Di balik dinding-dinding yang ditumbuhi tanaman merambat itu, pasukan Pangeran Diponegoro bersiap menghadapi ancaman besar yang datang dari kejauhan. Bendera dan panji-panji mereka berkibar gagah, menandakan kesiapan untuk bertempur hingga titik darah penghabisan.
Tepat pukul 05.00 pagi, seiring dengan kicauan burung yang mulai terdengar, Kolonel Cochius memimpin serangan besar-besaran dari markas mereka di Yogyakarta. Pasukan besar itu terbagi dalam dua kolone besar, dengan kekuatan tambahan dari pasukan Legiun Mangkunegaran. Mereka bergerak cepat melalui jalan setapak yang berliku, membawa semangat untuk merebut kembali Plered dari tangan pemberontak. Sekitar pukul 08.30, mereka tiba di depan keraton tua yang masih berdiri dengan angkuh, siap untuk menggempur benteng terakhir dari pertahanan Diponegoro.
Cochius telah menyusun rencana serangan yang cermat. Pasukan dibagi untuk menyerang dari tiga arah, dengan tujuan mengepung dan menghancurkan pertahanan musuh. Mayor Le Bron de Vexela memimpin serangan utama dari arah barat, menggunakan tangga untuk memanjat tembok yang tinggi dan tebal. Sementara itu, Mayor Elout bertugas menutup sisi utara dan timur, mencegah musuh melarikan diri atau mendapatkan bala bantuan.
Baca Juga : Siapa Zaenab Si Doel? Wanita yang Mundur dari Timses Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024
Di sisi lain, pasukan Legiun Mangkunegaran diinstruksikan untuk menyerang dari arah timur dan selatan, memastikan tidak ada celah bagi pasukan Diponegoro untuk melarikan diri.
Pada pukul 09.00 pagi, pasukan telah mengambil posisi. Letnan De Fruy dan tim pionir bergerak mendekati tembok barat dengan hati-hati, membawa dua gentong besar bubuk mesiu. Meskipun diserang dengan tembakan dan lemparan batu dari atas tembok, mereka berhasil menempatkan gentong mesiu di bawah tembok. Namun, usaha pertama mereka untuk menyalakan sumbu gagal, memaksa mereka untuk mundur dan merencanakan ulang strategi mereka di bawah hujan tembakan musuh.
Ketika sumbu dinyalakan kembali, ledakan hebat mengguncang pagi yang tenang itu. Suara gemuruh memenuhi udara saat sebagian tembok tebal runtuh, menciptakan celah besar di pertahanan Plered. Ledakan ini membuka jalan bagi pasukan Le Bron de Vexela yang langsung memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menyerbu masuk ke dalam benteng. Dengan tembok yang berhasil dirobohkan, pasukan Belanda segera memasuki keraton, menghadapi perlawanan sengit dari para prajurit Diponegoro yang bertempur dengan gagah berani dari balik barikade.
Pertempuran di dalam keraton Plered berlangsung dengan brutal dan tanpa ampun. Pasukan Diponegoro yang berada di posisi yang lebih tinggi memberikan perlawanan sengit, menembaki pasukan Belanda yang berusaha memanjat tembok dan memasuki kompleks keraton. Setiap sudut keraton menjadi medan pertempuran sengit, dengan prajurit yang bertarung dalam jarak dekat menggunakan senjata apa pun yang mereka miliki.
Pasukan Belanda, meskipun kewalahan oleh intensitas perlawanan, terus maju dengan disiplin dan semangat tinggi. Mereka menggunakan keunggulan taktis mereka untuk memukul mundur pasukan pemberontak, sedikit demi sedikit mendesak mereka ke dalam benteng. Para prajurit dari Legiun Mangkunegaran yang datang dari sisi lain juga memberikan tekanan tambahan, memaksa pasukan Diponegoro untuk bertahan dengan penuh keberanian.
Akhir dari Pertempuran: Plered yang Hancur
Setelah pertempuran yang berlangsung selama tiga jam penuh darah dan keberanian, pasukan Belanda akhirnya berhasil merebut Plered. Namun, kemenangan ini diraih dengan harga yang mahal. Banyak prajurit Belanda yang tewas dan terluka dalam usaha mereka untuk menembus pertahanan yang kokoh dan gigih. Di pihak pasukan Diponegoro, lebih dari seribu prajurit gugur, menunjukkan dedikasi dan keberanian mereka dalam mempertahankan benteng terakhir mereka.
Plered, dengan temboknya yang kini hancur dan bekas-bekas pertempuran yang masih tampak di setiap sudut, menjadi saksi bisu dari keberanian dan perjuangan yang luar biasa. Meskipun akhirnya jatuh ke tangan musuh, semangat dan tekad para prajurit Diponegoro tetap hidup, menjadi inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya.
Pertempuran di Keraton Pleret tidak hanya menjadi simbol kegigihan pasukan Pangeran Diponegoro, tetapi juga menunjukkan betapa sulitnya mempertahankan dan merebut benteng tua ini. Pertahanan yang kuat dan perlawanan sengit dari para pemberontak menggambarkan semangat mereka dalam mempertahankan tanah air. Namun, dengan strategi dan kekuatan militer yang lebih unggul, pasukan Belanda akhirnya berhasil menguasai Pleret, meskipun dengan korban yang tidak sedikit di pihak mereka.
Setelah pertempuran yang berlangsung selama tiga jam, pasukan Belanda akhirnya berhasil merebut Plered. Namun, kemenangan ini diraih dengan harga yang mahal. Banyak pasukan Belanda yang tewas dan terluka dalam usaha mereka untuk menembus pertahanan Plered. Di pihak pasukan Diponegoro, lebih dari seribu prajurit gugur, mempertahankan benteng dengan segenap jiwa raga mereka. Kekalahan ini memaksa Diponegoro untuk memindahkan basis operasinya ke barat, meninggalkan Plered yang kini berada di tangan Belanda.
Kedua pertempuran di Plered memiliki dampak yang signifikan bagi sejarah Jawa. Plered yang megah akhirnya hancur total setelah serangan kedua, menandai akhir dari masa kejayaannya sebagai benteng pertahanan. Sekitar 75 tahun kemudian, puing-puing Keraton Plered digunakan untuk mendirikan Pabrik Gula Kedaton Plered. Ironisnya, pabrik ini juga hancur dalam Perang Agresi Militer Belanda kedua pada tahun 1948, menambah babak tragis dalam sejarah Plered.
Legiun Mangkunegaran memainkan peran penting dalam serangan kedua ke Plered. Pasukan ini, yang dipimpin oleh KGPAA Mangkunegara II, mendukung upaya Belanda dengan kekuatan militer mereka. Meskipun bertempur di bawah bendera kolonial, Legiun Mangkunegaran memperlihatkan disiplin dan keberanian yang luar biasa dalam menghadapi perlawanan sengit dari pasukan Diponegoro. Keterlibatan mereka dalam pertempuran ini menunjukkan kompleksitas aliansi dan konflik di Jawa pada masa itu.
Sejarah Plered adalah cerminan dari perjalanan panjang dan kompleks Jawa. Dari masa keemasan keemasan dan kejatuhan Amangkurat I hingga menjadi medan pertempuran dalam perjuangan melawan penjajah, Plered menunjukkan betapa pentingnya lokasi ini dalam sejarah Jawa. Bentengnya yang kokoh dan dinding tebalnya adalah simbol dari masa lalu yang penuh dengan peristiwa besar dan keberanian yang luar biasa.
Pertempuran di Keraton Plered adalah salah satu babak penting dalam sejarah perjuangan bangsawan dan rakyat Jawa melawan penjajah Belanda. Kisah tentang keberanian dan keteguhan pasukan Diponegoro dalam mempertahankan Plered, meskipun menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar, adalah cermin dari semangat perlawanan yang tidak pernah padam. Plered, meskipun kini hanya tinggal reruntuhan, tetap menjadi simbol dari kekuatan dan keberanian dalam menghadapi tantangan yang besar.
Peninggalan dari pertempuran ini bukan hanya reruntuhan tembok dan puing-puing, tetapi juga nilai-nilai keberanian dan keteguhan yang terus dikenang dalam sejarah bangsa Indonesia. Di tengah hiruk-pikuk modernisasi, cerita tentang Plered mengingatkan kita akan pentingnya mempertahankan semangat dan integritas dalam setiap perjuangan yang kita hadapi.