JATIMTIMES - Dalam sejarah Nusantara, Ratu Mas Surabaya adalah sosok perempuan yang tak hanya memainkan peran penting di lingkup istana, tetapi juga sebagai penggerak perubahan sosial-ekonomi.
Ia adalah istri pertama dari Sinuwun Amangkurat I, Raja Mataram yang memerintah pada 1645-1677. Kisah hidupnya, mulai dari asal-usul hingga kontribusinya sebagai permaisuri, mencerminkan sinergi antara kebangsawanan, spiritualitas, dan kepemimpinan.
Baca Juga : Strategi Sukses Kelola Keuangan di 2025, Kuncinya Disiplin
Garwa Prameswari dan Wadah Wiji Sejati
Sebagai seorang garwa prameswari, Ratu Mas Surabaya bukan hanya pendamping raja tetapi juga simbol kekuatan moral dan intelektual. Dalam sistem monarki Jawa, peran permaisuri tidak sekadar estetika; ia menjadi penjaga stabilitas keluarga kerajaan dan pengaruh positif bagi rakyat.
Ratu Mas Surabaya, dengan nama kecil Raden Ajeng Siti Komariah, adalah gambaran ideal perempuan Jawa: cantik, cerdas, dan berbudi luhur. Kecantikannya sering diibaratkan dengan Dewi Ratih, sementara sifatnya yang ramah dan murah hati membuatnya dicintai oleh rakyat.
Asal-Usul: Darah Biru dari Bang Wetan
Ratu Mas Surabaya adalah putri Pangeran Pekik, Bupati Surabaya yang termasyhur sebagai keturunan Sunan Ampel. Ibunya, Ratu Pandansari, merupakan adik Sultan Agung, raja besar Mataram yang memerintah 1613-1645.
Dengan demikian, Ratu Mas Surabaya merupakan bagian dari trah mulia yang menurunkan raja-raja besar Nusantara.
Pangeran Pekik, putra Jayalengkara—raja terakhir Surabaya yang ditaklukkan oleh Sultan Agung—memastikan bahwa anak-anaknya dibesarkan dalam lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai keislaman dan kejawaan. Dalam tradisi keluarga ini, harmoni, kebajikan, dan pengabdian kepada masyarakat menjadi prinsip utama.
Ratu Wetan yang Inovatif
Lahir dan besar di Surabaya, Ratu Mas Surabaya dijuluki sebagai "Ratu Wetan" karena asal-usulnya dari timur Jawa. Ia dikenal tidak hanya sebagai permaisuri tetapi juga pengusaha ulung.
Beberapa bidang yang ia kelola meliputi Pelabuhan Tanjung Perak, pabrik garam di Kalianget, Madura, hingga pengolahan minyak di Sumenep.
Kemampuan manajerialnya menciptakan lapangan kerja yang luas, mendukung stabilitas ekonomi Mataram, dan memuaskan kebutuhan rakyat. Sosoknya menjadi teladan bagi perempuan Jawa dalam berperan aktif di luar lingkungan domestik.
Istri dan Ibu yang Setia
Ratu Mas Surabaya menikah dengan Amangkurat I pada 1644, setahun sebelum sang suami naik takhta. Dari pernikahan ini lahirlah Raden Mas Rahmat Abdullah, yang nantinya dikenal sebagai Amangkurat II atau Amangkurat Amral.
Sebagai ibu, Ratu Mas Surabaya memastikan pendidikan anaknya tidak hanya dalam tata kelola kerajaan tetapi juga dalam kebajikan dan rasa hormat kepada sesama.
Raden Mas Rahmat Abdullah yang lahir dengan julukan "Cak Ning" merupakan representasi dari harmoni budaya Surabaya dan Mataram. Sebagai seorang putra mahkota, ia dididik untuk memahami dinamika politik dan ekonomi, termasuk mendampingi Amangkurat I dalam proyek-proyek besar seperti pembangunan Bendungan Kali Serayu di Banyumas.
Amangkurat II: Pewaris Ratu Mas Surabaya dan Peralihan Dinasti Mataram ke Kartasura
Amangkurat II, atau lebih dikenal sebagai Sunan Amral, adalah sosok yang membawa perubahan besar dalam sejarah Kesultanan Mataram. Ia naik takhta pada 1677 setelah wafatnya Amangkurat I, ayahnya, dan menghadapi tantangan politik yang luar biasa.
Berbeda dari pendahulunya yang memusatkan kekuasaan di Plered, Amangkurat II memindahkan ibu kota ke Kartasura, menandai babak baru dalam sejarah Mataram.
Namun, di balik peralihan ini, terdapat berbagai intrik politik, pemberontakan, dan permainan kekuasaan antara bangsawan Mataram dan kolonial VOC.
Lahir dari Ratu Mas Surabaya, seorang putri bangsawan dari keturunan Sunan Ampel dan Pangeran Pekik, Amangkurat II membawa pengaruh dari darah pesisir yang kuat, meskipun ia kemudian dikenal sebagai penguasa yang lemah dan mudah dipengaruhi.
Lahir dengan nama Raden Mas Rahmat, Amangkurat II dibesarkan di lingkungan bangsawan Surabaya setelah ibunya meninggal. Ia mendapatkan pendidikan dari kakeknya, Pangeran Pekik, seorang bangsawan yang memiliki hubungan erat dengan Sunan Ampel.
Namun, hubungannya dengan ayahnya, Amangkurat I, penuh ketegangan. Ketika muncul isu bahwa gelar putra mahkota akan diberikan kepada Pangeran Singasari, adiknya, Raden Mas Rahmat memberontak pada tahun 1661. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan, tetapi hubungan antara ayah dan anak semakin renggang.
Ketegangan semakin memuncak ketika Raden Mas Rahmat jatuh hati pada Rara Oyi, seorang gadis yang juga diinginkan oleh ayahnya sebagai selir. Dengan bantuan Pangeran Pekik, ia berhasil menikahi Rara Oyi, tetapi hal ini memicu kemarahan besar Amangkurat I. Pangeran Pekik dan keluarganya dibantai, sementara Raden Mas Rahmat dipaksa membunuh istrinya sendiri sebagai bentuk hukuman.
Pada masa akhir pemerintahan Amangkurat I, Kesultanan Mataram berada dalam kekacauan akibat Pemberontakan Trunajaya (1674–1679). Ketidakmampuan Amangkurat I menanggulangi pemberontakan ini membuatnya mencari bantuan VOC. Namun, sebelum situasi bisa dikendalikan, ia melarikan diri ke Tegalwangi dan wafat di sana pada tahun 1677.
Raden Mas Rahmat kemudian naik takhta sebagai Amangkurat II, tetapi posisinya lemah. Ia tidak memiliki dukungan kuat dari bangsawan Mataram, sementara VOC yang membantunya menangani Trunajaya menuntut bayaran mahal. Amangkurat II terpaksa berutang sebesar 2,5 juta gulden kepada VOC, yang semakin memperburuk posisi politiknya.
Setelah berhasil merebut kembali Mataram dari Trunajaya pada 1679, Amangkurat II memutuskan untuk tidak lagi menggunakan Keraton Plered sebagai pusat pemerintahan. Ia memilih membangun ibu kota baru di Kartasura, sebuah wilayah yang lebih strategis dan mudah dipertahankan. Pembangunan Kartasura dimulai pada 1680, dan dalam beberapa tahun, keraton baru itu menjadi pusat kekuasaan Mataram.
Baca Juga : Mengenal Metode Pemakaman Tree Burial yang Diwasiatkan Barbie Hsu
Namun, langkah ini tidak diterima semua pihak. Pangeran Puger, adiknya, yang sebelumnya tinggal di Kajenar, menolak mengakui kepemimpinan Amangkurat II. Muncul desas-desus bahwa Amangkurat II bukanlah Raden Mas Rahmat yang asli, melainkan seorang anak dari Cornelis Speelman yang menyamar. Isu ini memicu perlawanan Pangeran Puger di Keraton Plered.
Perang saudara antara Pangeran Puger dan Amangkurat II pecah pada 1680. Setahun kemudian, pada 28 November 1681, Pangeran Puger menyerah setelah Kartasura berhasil menaklukkan Plered. Namun, konflik internal ini semakin melemahkan posisi Amangkurat II.
Sebagai raja yang naik takhta berkat bantuan VOC, Amangkurat II awalnya sangat bergantung pada perusahaan dagang Belanda tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai berupaya melepaskan diri dari pengaruh VOC.
Pada tahun 1685, ia melindungi seorang buronan VOC bernama Untung Suropati, yang kemudian menjadi pemimpin pemberontakan melawan VOC. Awalnya, Amangkurat II berpura-pura membantu VOC menangkap Untung Suropati, tetapi ia justru menjebak pasukan Belanda yang dipimpin Kapten François Tack. Dalam pertempuran di Kartasura pada Februari 1686, pasukan Untung Suropati berhasil membantai pasukan VOC, termasuk Kapten Tack.
Amangkurat II kemudian memberi Untung Suropati kekuasaan atas Pasuruan dan mendukung pemberontakan melawan Belanda di Jawa Timur. Namun, upayanya ini tidak berlangsung lama. VOC akhirnya mengetahui pengkhianatannya setelah menemukan surat-suratnya kepada penguasa Cirebon, Johor, Palembang, dan Inggris, yang berisi ajakan untuk melawan VOC.
Meskipun berusaha mengurangi ketergantungan pada VOC, Amangkurat II tetap terjebak dalam tekanan ekonomi akibat hutang perang. VOC menuntut pembayaran hutang sebesar 2,5 juta gulden, yang membuat Mataram semakin terjerat dalam cengkeraman kolonial.
Selain itu, pemerintahan Amangkurat II dikenal lemah dan tidak stabil. Ia sering dipengaruhi oleh penasihat yang tidak kompeten, sementara Pangeran Puger, adiknya, justru lebih aktif dalam urusan pemerintahan. Akibatnya, Mataram di bawah kepemimpinannya tidak memiliki kestabilan politik yang kuat.
Amangkurat II wafat pada tahun 1703, meninggalkan kerajaan dalam kondisi tidak stabil. Putranya, Raden Mas Sutikna, naik takhta sebagai Amangkurat III, tetapi segera menghadapi perlawanan dari Pangeran Puger, yang mengklaim hak atas takhta Kartasura.
Perebutan kekuasaan ini membuka jalan bagi intervensi VOC yang semakin dalam di Mataram. Pada akhirnya, VOC justru mendukung Pangeran Puger, yang kemudian naik takhta sebagai Pakubuwana I, menandai awal dari kemunduran dinasti Mataram sebagai kerajaan yang independen.
Amangkurat II adalah raja yang hidup dalam masa transisi besar dalam sejarah Mataram. Ia mewarisi kerajaan yang sedang runtuh akibat pemberontakan dan kebijakan keliru ayahnya. Dengan bantuan VOC, ia berhasil merebut kembali kekuasaannya, tetapi dengan harga yang sangat mahal.
Sebagai raja, ia mencoba memainkan politik keseimbangan antara bangsawan Jawa dan VOC, tetapi akhirnya gagal mempertahankan kedaulatan Mataram. Sikapnya yang mendua terhadap VOC, serta kelemahan dalam mengambil keputusan, membuat pemerintahannya penuh gejolak.
Warisan terbesar Amangkurat II adalah pendirian Kartasura sebagai ibu kota baru, tetapi ia juga bertanggung jawab atas melemahnya kekuasaan Mataram yang semakin tunduk pada VOC. Di balik segala intrik dan pengkhianatan, sejarah mencatatnya sebagai raja yang mencoba melawan, tetapi kalah dalam permainan kekuasaan di tanah Jawa.
Ratu Mas Surabaya: Simbol Kesetiaan dan Kebajikan
Hubungan Ratu Mas Surabaya dengan istri kedua Amangkurat I, Kanjeng Ratu Kencana, menjadi cermin keharmonisan. Kedua permaisuri ini dikenal hidup rukun, saling menghormati, dan berbudi luhur. Amangkurat I, yang terkenal tegas dan penuh ambisi, merasa tenang dengan kehadiran dua perempuan hebat ini di sisinya.
Pada 1652, Ratu Mas Surabaya wafat di usia muda, meninggalkan anaknya yang masih berusia enam tahun. Ia dimakamkan di Pajimatan Girilaya, Imogiri, Yogyakarta—tempat peristirahatan terakhir para bangsawan Mataram.
Meski wafat sebelum menyaksikan anaknya naik takhta, Ratu Mas Surabaya meninggalkan warisan yang abadi. Anak lelakinya, Amangkurat II, memindahkan ibu kota Mataram dari Plered ke Kartasura pada 1677. Dengan dukungan penuh dari para saudagar Surabaya, Madura, dan Makassar, Amangkurat II membawa kerajaan Mataram menuju era kosmopolit yang lebih maju. Kartasura menjadi pusat diplomasi, perdagangan, dan kebudayaan internasional.
Teladan bagi Perempuan Nusantara
Ratu Mas Surabaya tidak hanya dipuji sebagai permaisuri tetapi juga sebagai tokoh teladan bagi perempuan Nusantara. Dalam "Babad Surabangi" dan "Sawunggaling" yang ditulis pada 1702, ia digambarkan sebagai "bintang dari tlatah Bang Wetan." Kota Surabaya pun layak berbangga karena telah melahirkan seorang putri terbaik yang turut membangun dinasti besar di tanah Jawa.
Kisah Ratu Mas Surabaya adalah cerminan bagaimana perempuan dalam sejarah Jawa mampu memainkan peran strategis baik di dalam istana maupun di luar lingkup domestik. Kebijaksanaannya sebagai permaisuri, kecakapannya sebagai pengelola usaha, dan kasih sayangnya sebagai ibu adalah bukti nyata bahwa perempuan memiliki andil besar dalam membentuk sejarah.
Sebagai pelita dari Timur, Ratu Mas Surabaya adalah simbol perpaduan antara kekuatan tradisi dan modernitas. Warisannya tetap hidup di hati rakyat dan mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai sosok yang menginspirasi lintas zaman.