JATIMTIMES - Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) masih menjadi sorotan berbagai kalangan. Bahkan menjadi pembahasan khusus dalam seminar nasional bertajuk “Sinkronisasi dan Harmonisasi RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP” di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Seminar ini untuk memperdalam polemik hukum, terutama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Seminar nasional ini juga menjadi ruang diskusi yang produktif antara akademisi, praktisi, dan pemangku kebijakan.
Baca Juga : Tingkatkan Kualitas Sektor Kesehatan, DPRD dan PWI Gresik Gelar Diskusi Sinkronisasi Pelayanan Jamkesmas
Dekan Fakultas Hukum UMM Prof Dr Tongat SH MHum menekankan pentingnya RUU KUHAP sebagai acuan utama dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Tentunya hal ini agar tidak terjadi tumpang tindih. Terlebih, sinkronisasi KUHAP nantinya harus menjadi rujukan semua aturan tentang penegakan hukum di masing masing lembaga penegak hukum. Mulai kepolisian, kejaksaan, kehakiman, hingga advokat.
Distribusi kewenangan masing-masing lembaga hukum harus diperjelas supaya tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan. Misalnya, terkait dengan pelaporan tindak pidana yang selama ini menjadi kewenangan kepolisian.
“Kalau itu juga diberikan ke kejaksaan berpotensi menimbulkan ketidakjelasan atau samar,” imbuh Tongat.
Idealnya, RUU KUHAP diselesaikan terlebih dahulu sebelum membahas undang-undang sektoral lainnya, seperti RUU Kejaksaan.
“Namun, kenyataannya, kita sudah membahas dan mengesahkan RUU Kejaksaan, sementara RUU KUHAP masih belum jelas kapan akan selesai. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakharmonisan dalam sistem hukum kita,” ucap Tongat.
Sementara itu, dosen Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura Prof Dr Deni SB Yuherawan SH MS. menambahkan, ada berbagai aspek yang menjadi perhatian dalam RUU Kejaksaan.
Pihaknya menilai kejaksaan telah melakukan overlapping terhadap kewenangan penyelidikan, yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan. Pasal 30 ayat (2) dan (3) UU Kejaksaan memberikan kewenangan atribusi kepada kejaksaan dalam bidang perdata, tata usaha negara, serta ketertiban dan ketenteraman umum.
“Namun, tidak ada kewenangan atributif bagi kejaksaan untuk melakukan penyidikan,” terang Deni.
Baca Juga : Program Makan Bergizi Gratis di Kota Blitar Butuh Anggaran Rp21 Miliar
Kemudian pada pasal 26 dan 27 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), penyidikan dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, yakni KUHAP. “Berdasarkan KUHAP sebagai lex generalis, penyidikan dilakukan oleh kepolisian, sedangkan kejaksaan bertugas sebagai penuntut dan pelaksana putusan pengadilan. Tidak ada perintah eksplisit dalam UU Tipikor yang memberikan kewenangan kepada jaksa untuk menyidik tindak pidana korupsi,” kata Deni
Lebih lanjut, Deni menguraikan Pasal 10A ayat (1) UU KPK memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengambil alih penyidikan yang dilakukan oleh polisi atau jaksa. Namun, hal ini tidak serta-merta memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk menyidik tindak pidana korupsi.
Tak hanya itu. Seminar ini juga mengungkapkan pentingnya harmonisasi dan kesetaraan dalam pembentukan undang-undang, termasuk RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP. Ketidakharmonisan ini, menurut para narasumber, dapat menimbulkan potensi tumpang tindih kewenangan dan ketidakpastian hukum.
Deni juga menyoroti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 28/PUU-V/2007 terkait judicial review Pasal 30 UU Kejaksaan. Putusan tersebut tidak sampai pada pokok perkara mengenai kewenangan jaksa untuk menyidik, karena para pemohon dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).
“Konstruksi hukum kita saat ini membutuhkan kajian mendalam agar tidak terjadi kerancuan. RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP harus disinkronkan untuk menjamin kepastian hukum dan mendukung reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia,” tutup Deni.