free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Pendidikan

Dekan FH Unisma Soroti RUU KUHAP, Berpotensi Ganggu Sistem Peradilan Pidana

Penulis : Irsya Richa - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

26 - Jan - 2025, 18:00

Placeholder
Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA), Dr. Arfan Kaimuddin, SH, MH. (Foto: Istimewa)

JATIMTIMES - Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berpotensi menimbulkan persoalan baru dalam kewenangan kepolisian dan kejaksaan. 

Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA), Dr. Arfan Kaimuddin, SH, MH menyoroti adanya tumpang tindih kewenangan yang berpotensi bisa mengganggu sisterm peradilan pidana di Indonesia.

Baca Juga : Rencana Pembatasan Usia Pengguna Medsos, Ini Kata Pakar Komunikasi UB

Salah satu pasal yang disoroti, yakni Pasal 12 Ayat 11 RUU KUHAP, yang mengatur bahwa jika dalam waktu 14 hari laporan masyarakat tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian, masyarakat dapat langsung mengajukan laporan kepada kejaksaan. Arfan mengatakan, ketentuan ini berisiko menimbulkan dualisme kewenangan antara penyidik kepolisian dan kejaksaan.

“Kewenangan penyidikan adalah bagian integral dari sistem peradilan pidana yang diatur secara tegas dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP. Jika kejaksaan diperbolehkan untuk langsung memproses laporan tanpa melalui mekanisme penyidikan polisi, ini dapat menciptakan ketidakharmonisan dalam proses hukum,” ungkap Arfan (Minggu, 26/1/2025).

Arfan juga menegaskan, pembagian kewenangan antara penyidik dan jaksa penuntut umum didasarkan pada asas specialty dan separation of powers. Setiap lembaga memiliki peran dan fungsi yang spesifik untuk menjaga akuntabilitas serta mencegah intervensi yang tidak semestinya.

Dampak negatif Pasal 12 Ayat 11 terhadap asas due process of law, dalam sistem hukum pidana, penyidikan merupakan tahap awal yang sangat sensitif dan harus dijalankan dengan prosedur ketat.

“Jika penuntut umum langsung terlibat dalam proses penyidikan, hak-hak tersangka bisa terancam karena proses hukum yang ideal mengharuskan adanya pembagian kewenangan yang jelas,” tambah pria Kelahiran Kota Ambon ini.

Selain ituketentuan ini dapat membebani kejaksaan dengan tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab penyidik. Fungsi utama kejaksaan adalah memproses perkara berdasarkan hasil penyidikan, bukan melakukan investigasi awal.

Dalam analisisnya, Arfan juga mengkritik Pasal 111 Ayat 2 RUU KUHAP yang memberikan kewenangan kepada penuntut umum dapat mengajukan permohonan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang seharusnya hal demikian merupakan kewenangan kepolisian. Hal ini akan melemahkan sistem peradilan pidana yang sudah terintegrasi dengan baik selama ini.

“Jaksa dan polisi adalah bagian dari rantai penegakan hukum yang harus bekerja secara kolaboratif, bukan saling menilai atau mengintervensi. Ketentuan ini berpotensi menciptakan konflik kepentingan yang serius,” tegas Arfan.

Baca Juga : Ketua Umum IPHI Apresiasi Langkah Bareskrim Polri Bebaskan Julia Santoso

Arfan yang meraih gelar Doktor di Universitas Brawijaya Tahun 2018 ini, juga menyoroti dampak perluasan kewenangan kejaksaan yang diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 dan UU Nomor 11 Tahun 2021. Salah satu kewenangan yang dianggap bermasalah adalah fungsi intelijen kejaksaan, seperti pengawasan multimedia dan menciptakan kondisi yang mendukung pembangunan.

“Kejaksaan didesain untuk menegakkan hukum, bukan untuk melaksanakan tugas pembangunan atau pengawasan multimedia yang sifatnya abstrak,” kata Arfan.

Dengan adanya perluasan kewenangan kejaksaan ini dapat menimbulkan tumpang tindih dengan institusi lain seperti Kepolisian, TNI, dan BIN, serta mengaburkan fungsi utama kejaksaan sebagai penegak hukum.

Menurutnya, legislator perlu mempertimbangkan kembali ketentuan-ketentuan yang berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum dalam RUU KUHAP.

“Pendekatan dalam sistem peradilan pidana dititikberatkan pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, bukan justru memberikan ruang yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara aparat penegak hukum," tutup Arfan.


Topik

Pendidikan Undang-Undang RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP Fakultas Hukum unisma



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Irsya Richa

Editor

Sri Kurnia Mahiruni