JATIMTIMES - Eks anggota Jamaah Islamiyah (JI) dari wilayah Jabodetabek berpartisipasi dalam kegiatan sosialisasi pembubaran organisasi, di Gedung Muzdalifah, Asrama Haji Embarkasi Bekasi, pada Minggu (8/9/2024). Sejumlah 400 orang yang ambil bagian dalam kegiatan tersebut juga mengikrarkan kesetiaan mereka kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari keputusan pendiri dan pimpinan JI yang secara resmi membubarkan organisasi pada 30 Juni 2024. Menurut Abdullah Anshori, yang dikenal juga sebagai Abu Fatih dan sebelumnya menjabat sebagai Ketua II Jamaah Islamiyah, deklarasi di Bekasi ini adalah bagian dari rangkaian acara serupa yang telah diadakan di berbagai wilayah Indonesia. Ini adalah acara ke-32 dari rangkaian sosialisasi pembubaran yang digelar di seluruh Indonesia.
Baca Juga : Ingin Ulangi Prestasi 2022, Jatim Targetkan Juara Umum MTQ Nasional XXX Samarinda 2024
Abu Fatih menyatakan bahwa setelah organisasi dibubarkan, mereka menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah untuk langkah selanjutnya. Baginya, yang terpenting adalah JI tidak lagi eksis sebagai kelompok, sehingga segala potensi yang berisiko membahayakan negara dan masyarakat dapat dihindari.
Dia juga menegaskan bahwa kegiatan deklarasi untuk kembali kepada NKRI ini akan terus dilakukan agar seluruh mantan anggota dan simpatisan JI tidak lagi terlibat dalam tindakan terorisme.
Seiring dengan telah berlangsungnya acara tersebut, pencarian terkait Jamaah Islamiyah trending di Google, hingga Senin (9/9/2024). Banyak orang yang ingin mengetahui asal-usul dan sejarah organisasi ini.
Sejarah Jamaah Islamiyah
Jamaah Islamiyah (JI) adalah sebuah kelompok ekstremis dengan latar belakang Islam yang bermula di Indonesia. Melansir dari Center for International Security and Cooperation (CISAC) Stanford University, organisasi ini merupakan pecahan dari Darul Islam (DI), sebuah kelompok radikal yang mulai terorganisir pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an.
Pendiri Jamaah Islamiyah adalah Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir, dua tokoh keturunan Arab Yaman yang memiliki sejarah sebagai aktivis gerakan Islam. Selama era Orde Baru, keduanya melarikan diri ke Malaysia untuk menghindari pengawasan pemerintah. Di Malaysia, mereka mulai membangun kelompok Islamis yang kemudian memfasilitasi perjalanan bagi umat Islam Asia Tenggara yang ingin berperang di Afghanistan melawan Soviet.
Pada pertengahan 1990-an, banyak anggota Jamaah Islamiyah yang dilatih di Afghanistan dan organisasi ini dilaporkan mendapatkan bantuan dari Al-Qaeda. Selain itu, JI juga memiliki hubungan erat dengan Front Pembebasan Islam Moro di Filipina, di mana mereka berhasil mendirikan kamp pelatihan militer.
Setelah reformasi politik di Indonesia pada 1998, Jamaah Islamiyah kembali beroperasi di tanah air. Namun, tidak lama kemudian, Abdullah Sungkar meninggal dunia. Meskipun demikian, organisasi ini tetap melanjutkan aktivitasnya.
Pada Desember 2000, Jamaah Islamiyah melakukan serangkaian pengeboman di gereja-gereja di Indonesia yang menewaskan 18 orang. Selain itu, mereka juga bertanggung jawab atas beberapa serangan bom di Manila, Filipina, yang menewaskan 22 orang.
Meskipun negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina aktif menangkap anggota JI di wilayah mereka, pemerintah Indonesia pada saat itu belum mengambil tindakan tegas. Para ahli berpendapat bahwa pemerintah Indonesia belum menganggap serius ancaman terorisme Islam di dalam negeri.
Baca Juga : Gus Sakti Kena Getah Yasmin Nur yang Jumawa Bisa Penjarakan Orang dengan Operasi Khusus
Baru setelah peristiwa Bom Bali tahun 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang, pemerintah Indonesia mulai mengambil langkah serius untuk menindak kelompok tersebut. Namun, Jamaah Islamiyah masih melakukan beberapa serangan bom besar lainnya, seperti di Hotel JW Marriott pada 2003, Kedutaan Besar Australia pada 2004, dan serangan kedua di Bali pada 2005.
Serangan-serangan ini diduga dirancang oleh Noordin Mohammad Top, salah satu pemimpin penting JI yang kemudian tewas dalam baku tembak dengan pihak berwenang pada 2009. Setelah itu, kekuatan operasional Jamaah Islamiyah semakin melemah karena upaya penegakan hukum yang intensif.
Pada pertengahan 2000-an, lebih dari 400 anggota dan pemimpin senior JI ditangkap oleh pemerintah di Asia Tenggara. Sebagai tanggapan atas pelemahan organisasi, Abu Bakar Baasyir mendirikan kelompok baru yang bernama Jemaah Ansharut Tauhid pada 2008.
Namun, pada 2011, Baasyir kembali ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun atas keterlibatannya dalam mengoperasikan kamp pelatihan militer di Aceh.
Meskipun kekuatan Jamaah Islamiyah menurun, organisasi ini masih melakukan serangan bom besar di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, pada Juli 2009. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas JI relatif menurun dan kelompok tersebut tidak lagi seaktif sebelumnya, meskipun tetap menjadi ancaman potensial.
Belakangan ini, Densus 88 menangkap tokoh MUI sekaligus Ketua Umum Partai Dakwah Republik Indonesia (PDRI), Farid Ahmad Okbah, yang diduga memiliki keterkaitan dengan jaringan terorisme Jamaah Islamiyah. Penangkapan ini menunjukkan bahwa meskipun JI sudah melemah, jaringan dan pengaruhnya belum sepenuhnya hilang.
Dengan adanya deklarasi pembubaran Jamaah Islamiyah dan kembalinya para mantan anggotanya kepada NKRI, diharapkan kelompok ini tidak lagi menjadi ancaman bagi stabilitas dan keamanan negara.