JATIMTIMES - Respons prematur yang dilakukan aparat penegak hukum (APH) terkait “surat cinta” atau aduan sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Kabupaten Tulungagung membuat sejumlah kepala desa mengaku resah.
Bahkan, atas keresahan ini, menggelinding wacana menolak dana desa (DD). Sebab, kades takut jika dikelola justru akan timbul masalah.
Baca Juga : Pernikahan Ditunda, Tunangan Eliezer: Masih Menemani dan Tetap Akan Menunggu
Kepala Desa Jarakan, Kecamatan Gondang, Suad Bagiyo membenarkan adanya wacana yang berkembang di antara sejumlah kades. Yakni takut mengelola dana desa untuk tahun ini.
"Benar, kalau memang dana desa yang dilaksanakan kemudian dicari-cari kesalahan, lalu pertaruhannya hukuman, maka ada baiknya wacana menolak dana desa (DD) ini," kata Suad, Kamis (26/1/2023).
Menurut Suad, sebelum ada DD, pembangunan di tiap desa sudah jalan meski tidak secepat saat ini. "Dulu tanpa DD, kita bisa jalan. Pembangunan, apa pun hasilnya, juga bisa dirasakan masyarakat," ujarnya.
Namun, kemudian setelah muncul DD dan pembangunan begitu pesat, justru kepala desa banyak yang menghadapi masalah hukum.
"Persoalannya, kepala desa dan perangkat ini bukan ahli mengelola keuangan seperti yang terjadi di instansi lain," imbuhnya.
Kemudian, jumlah tenaga pendamping, DPMD dan Inspektorat tidak memadai untuk melakukan tugasnya mengontrol dan mengawasi penggunaan DD di 257 desa di Kabupaten Tulungagung.
"Akhirnya, begitu dilaksanakan dengan tafsir dan perhitungan versi panitia di tingkat desa, kemudian dilaporkan oleh lawan politik atau LSM dan diteliti oleh APH, baru tiba-tiba dikatakan ada kesalahan," ungkap Suad.
Kalau kesalahan itu atas rekomendasi aparat pengawas internal pemerintah (APIP), maka kesalahan atau kelebihan bayar yang mungkin terjadi justru direkomendasikan dibetulkan. Atau jika ada kerugian, diminta mengembalikan ke kas negara.
Baca Juga : Dishub Kota Malang Ultimatum Jukir yang Salahi Aturan Bisa Dipidanakan
"Nah, di sini yang terjadi APIP belum turun, tiba-tiba ada pemeriksaan dari pihak berwajib. Dasarnya, laporan atau aduan yang para kepala desa tidak jelas siapa dan apa motifnya," tambahnya.
Kemudian, kalau dalam pemeriksaan itu hanya didasarkan pada objek yang diadukan, pemdes tidak akan banyak keberatan. Namun, kemudian tiba-tiba petugas yang memeriksa ini minta salinan tahun anggaran yang sudah berlalu yang belum diperiksa oleh inspektorat dengan alasan kekurangan auditor.
"Begitu diminta LPJ tahun sebelumnya yang mungkin sudah kelewat dua atau tiga tahun, biasanya ditemukan masalah dan sudah keluar dari substansi aduan," paparnya.
Suad berharap, pemerintah daerah meningkatkan kinerja fungsi DPMD dan APIP agar jika ada kesalahan bisa langsung dicegah atau dibenarkan agar pihak desa tidak sampai terseret hukum.
Atas dasar ini, kepala desa yang tidak ada niat korupsi kemudian terseret masalah hukum, akhirnya membuat wacana menolak DD dari pemerintah. "Biar hanya alokasi dana desa (ADD) saja yang digunakan untuk operasional dan memberi insentif perangkat desa yang kita kelola," terangnya.
Sebelumnya, keresahan ini disampaikan seluruh kades di Boyolangu. Menurut Asosiasi Kepala Desa (AKD) Kecamatan Boyolangu, respons prematur APH disebut sebagai tindakan yang justru tidak sesuai UU Desa.