Pertempuran Plered: Kegagalan Telak Pasukan Pangeran Diponegoro Hadapi Tentara Belanda
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Dede Nana
08 - Sep - 2024, 02:34
JATIMTIMES - Sejarah Plered adalah kisah epik tentang perjuangan dan keberanian. Dari masa keemasan sebagai pusat kekuasaan Kerajaan Mataram Islam di bawah Sunan Amangkurat I hingga menjadi arena pertempuran dalam Perang Jawa di abad ke-19, Plered menyimpan cerita dramatis yang mewarnai lembaran sejarah Indonesia.
Pada tahun 1826, Keraton Plered menjadi pusat pertempuran sengit antara pasukan Pangeran Diponegoro dan pasukan kolonial Belanda. Perang ini menandai babak penting dalam Perang Jawa, dengan Plered sebagai saksi bisu dari pergolakan yang mengubah jalannya sejarah Jawa.
Baca Juga : Kabupaten Malang Terima Penghargaan Wahana Tata Nugraha 2024 Keenam Kalinya
Kebangkitan dan Kejatuhan Plered
Keraton Plered yang dibangun oleh Amangkurat I, pernah menjadi pusat megah dari kekuasaan Mataram. Terletak di kawasan strategis, Plered dilengkapi dengan benteng setinggi tujuh meter dan panjang 1,5 kilometer yang memberikan perlindungan dari serangan luar.
Namun, kebesaran ini berakhir ketika pemberontakan Trunojoyo menggempur keraton tersebut pada tahun 1677, memaksa perpindahan ibu kota ke Kartasura. Meskipun kehilangan status sebagai pusat pemerintahan, Plered tetap menjadi simbol kekuatan dengan dinding-dindingnya yang kokoh.
Pada 11 November 1785, di lingkungan keraton Yogyakarta, lahirlah seorang pangeran yang kelak akan menjadi simbol perlawanan rakyat Jawa terhadap penindasan kolonial Belanda. Raden Mas Ontowiryo, yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Diponegoro, adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono III dan selirnya, Raden Ayu Mangkarawati. Masa kecil Diponegoro dihabiskan dalam suasana yang kental dengan nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan Jawa.
Sejak usia muda, Diponegoro menunjukkan ketertarikan yang mendalam terhadap agama Islam. Ia dibesarkan dengan ajaran-ajaran Islam yang kuat, yang membentuk kepribadiannya menjadi seorang muslim yang taat oleh neneknya, Ratu Ageng Tegalrejo.
Dalam suasana keraton yang penuh dengan ritual dan spiritualitas, Diponegoro mendalami ajaran agama dengan tekun dan mengembangkan ketaatannya kepada Allah. Ketaatan ini tidak hanya tercermin dalam kehidupannya sehari-hari tetapi juga menjadi landasan moral dalam perjuangannya kelak.
Pada tahun 1825, ketegangan antara pemerintah Hindia Belanda dan rakyat Jawa mencapai puncaknya...