free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Pemerintahan

700 Tahun Blitar: Mengenang Pertarungan Manusia dan Harimau dalam Rampogan Macan

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

04 - Aug - 2024, 17:45

Placeholder
Lukisan sketsa rampogan macan, kemungkinan di Alun-alun Blitar.(Foto: Istimewa)

JATIMTIMES - Blitar, yang akan merayakan ulang tahunnya yang ke-700 pada 5 Agustus 2024, memiliki sejarah panjang yang dipenuhi dengan berbagai tradisi dan peristiwa penting. Salah satu tradisi yang pernah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Blitar adalah Rampogan Macan, sebuah tradisi gladiator ala Jawa yang melibatkan pertarungan antara manusia dan harimau. 

Tradisi ini mencerminkan kekuatan, keberanian, dan kekuasaan, serta memiliki makna simbolis yang mendalam dalam budaya Jawa.

Rampogan Macan: Gladiator Ala Jawa

Baca Juga : Bedhol Pusaka Awali Rangkaian Puncak Peringatan Hari Jadi ke-700 Blitar

Rampokan macan, juga dikenal sebagai rampok macan atau rampog macan, adalah pertarungan kucing besar tradisional Jawa yang melibatkan harimau atau macan kumbang yang dilepaskan dari kotak kayu dan dikelilingi oleh para prajurit bersenjata tombak untuk mencegah mereka keluar dari lingkaran. 

Tradisi ini biasanya dilakukan menjelang akhir Ramadan sebagai simbol pemurnian dan penumpasan kejahatan. Jika harimau berhasil menerobos lingkaran, hal itu dianggap sebagai pertanda bencana kelaparan. Rampogan Macan punah pada awal abad ke-20, dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda melarangnya pada tahun 1905.

Di Blitar, tradisi ini berkembang menjadi acara besar yang digelar di alun-alun kota, mirip dengan gladiator di zaman Romawi. Harimau buruan dilepaskan dan dipertarungkan dengan ribuan orang yang memegang tombak. Tradisi ini menunjukkan kekuatan rakyat yang dapat mengalahkan kekuasaan penjajah yang dilambangkan oleh harimau atau macan.

Rampogan Macan di Masa Lalu

Menurut buku "Bakda Mawi Rampog" karya Raden Kartawibawa, tradisi ini telah ada sejak abad ke-17 di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram, bahkan mungkin sejak masa Kerajaan Singasari. Raden Kartawibawa, seorang ahli ilmu pertanian dan sejarawan asal Blitar, menjelaskan bahwa tradisi ini melibatkan ribuan pria bersenjatakan tombak yang membentuk barikade mengelilingi alun-alun. Harimau yang dilepaskan akan dipaksa untuk menghadapi tajamnya tombak-tombak tersebut.

Dalam bukunya, Kartawibawa menggambarkan bagaimana ribuan pria bersenjatakan tombak mengitari alun-alun membentuk barikade. Harimau yang dilepaskan dari kandangnya akan berusaha menerjang barikade, namun akan segera dihujam oleh tombak-tombak tajam. Pertunjukan ini sering kali dihadiri oleh pejabat Belanda dan tamu kehormatan lainnya, yang memperlihatkan kekuatan rakyat dalam menghadapi kekuasaan penjajah.

Robert Wessing dalam artikelnya "A Tiger in the Heart: The Javanese Rampok Macan" menyebutkan bahwa tradisi adu harimau telah ada sejak abad ke-17, dengan catatan tertulis yang berasal dari abad ke-18 dan ke-19. Tradisi ini lazim diselenggarakan di Keraton Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Pada tahun 1791, Rampogan Macan menjadi acara rutin ketika Raja Yogya atau Surakarta menerima tamu Eropa.

Awalnya, acara ini terbagi menjadi dua bagian: pertama, mengadu harimau dengan kerbau atau banteng, dan kedua, menghadapkan harimau dengan ratusan pria bersenjata tombak. Pertarungan antara kerbau dan harimau sering kali dimenangkan oleh kerbau, dengan harimau yang kalah akan mati dengan luka tusuk di bagian perutnya.

Dalam bukunya, Tim Hannigan menggambarkan bahwa pertarungan antara kerbau dan harimau berlangsung seru dan menegangkan. Ketika kedua hewan saling menunggu untuk menyerang, para pengawal akan menakut-nakuti harimau dengan api atau memukul kerbau dengan daun jelatang yang menyengat agar mereka melanjutkan pertarungan. Hiburan ini menjadi pilihan utama bagi pengunjung Eropa, meskipun mereka tidak memahami simbolisme di baliknya.

Rampogan Macan dalam Sejarah Kesultanan Yogyakarta: Antara Pertunjukan dan Simbol Perlawanan

Kesultanan Yogyakarta pernah beberapa kali menyelenggarakan Rampogan Macan, sebuah pertunjukan yang melibatkan pertarungan antara harimau dan kerbau. Salah satu peristiwa Rampogan Macan yang terekam dalam sejarah adalah saat perayaan Grebeg Maulud tahun 1783. Pertunjukan ini tidak hanya menjadi tontonan menarik, tetapi juga sarat dengan simbolisme politik dan budaya Jawa.

Pada tahun 1783, Yogyakarta mengalami sebuah insiden yang mengganggu hubungan antara Kerajaan dan Belanda. Peristiwa tersebut bermula saat seorang kapten kompi Dragoon VOC di Yogyakarta ditusuk oleh seorang perwira Sultan pada perayaan Grebeg Maulud bulan Februari. Meskipun kapten Belanda itu tidak meninggal, ia terluka parah. Sultan Hamengkubuwono I, yang juga dikenal sebagai Sultan Mangkubumi, menyelidiki insiden tersebut dan menyatakan bahwa itu hanyalah sebuah kecelakaan. Dia bahkan mengirim uang santunan kepada kapten tersebut guna mengobati lukanya, namun uang tersebut ditolak.

Para pejabat VOC menduga bahwa penusukan tersebut disengaja dan merupakan bagian dari konspirasi untuk menjatuhkan wibawa Belanda. Namun, untuk menjaga hubungan baik, Sultan memutuskan untuk menghukum mati perwira yang melakukan penusukan. Residen van Rhijn, yang saat itu berkunjung ke Yogyakarta, mencegah hukuman tersebut dan memohon agar perwira itu diampuni. Sultan menyetujui permintaan van Rhijn dan memerintahkan perwira tersebut untuk meminta maaf kepada kapten Belanda.

Untuk memulihkan hubungan baik antara Sultan dan van Rhijn, diadakanlah sebuah pesta besar di keraton Yogyakarta. Di depan istana, Sultan telah mempersiapkan sebuah tontonan besar: pertarungan harimau melawan kerbau. 

Pertunjukan ini diadakan di alun-alun selatan keraton Yogyakarta dan dihadiri oleh warga kota dan orang-orang dari desa yang berdatangan untuk menonton. Harimau-harimau Jawa yang dipertandingkan di keraton didapat dari Jelegong, sebuah desa di tepi Sungai Progo yang terkenal dengan para pemburu harimaunya.

Pertarungan antara harimau dan kerbau biasanya berlangsung lamban. Harimau menyerang kerbau bertubi-tubi, namun kerbau adalah hewan yang liat dan kuat. Serangan harimau memang melukai, tetapi tidak melumpuhkan kerbau. 

Jika pertarungan berlangsung lebih dari setengah jam, harimau biasanya kelelahan dan menepi ke pinggir untuk berlindung. Pada saat itu, harimau akan dibunuh dengan cara "rampog," yaitu pasukan bertombak akan memancingnya menyerang dan kemudian menusuknya ramai-ramai.

Dalam dunia simbolisme Jawa, pertarungan ini memiliki makna yang lebih dalam. Harimau yang gesit, mematikan, tetapi staminanya cepat turun dianggap sebagai perwujudan orang Belanda. Sementara kerbau yang lamban tetapi kuat mencerminkan orang Jawa: lemah lembut namun bertenaga. Pertarungan ini menggambarkan bahwa meskipun orang Jawa terlihat lamban, mereka pada akhirnya akan menang melawan orang Belanda yang cepat tetapi mudah lelah.

Tidak semua pejabat Belanda memahami simbolisme ini. Namun, Sir Thomas Stamford Raffles, seorang pejabat Inggris, mampu membaca makna di balik pertunjukan tersebut. Dalam bukunya, "The History of Java," Raffles menggambarkan rampog sebagai pertunjukan yang paling digemari orang Jawa dan sebagai alegori perlawanan Jawa terhadap Belanda. 

Baca Juga : Setelah Seleksi Panjang, Pameran Diversity in Frame Pasca Diklat Digelar UKM Panorama Fotografi Unisma

Menurut Raffles, kemenangan kerbau dalam pertarungan ini adalah harapan paling subtil yang dikehendaki orang Jawa, meskipun dalam kenyataan kerajaan-kerajaan Jawa selalu kalah melawan Belanda selama hampir dua abad.

Beberapa abad kemudian, simbolisme harimau masih memiliki tempat dalam budaya Jawa. Harimau Jawa yang dianggap telah punah sejak 1976 tiba-tiba muncul kembali dalam sebuah foto dari Taman Nasional Ujung Kulon, memperlihatkan seekor harimau yang diduga harimau Jawa sedang berjalan santai meninggalkan seekor banteng yang terkulai. 

Kehadiran harimau ini mengingatkan kembali pada masa ketika populasi harimau Jawa masih cukup banyak di hutan-hutan, seperti yang tergambar dalam catatan-catatan perburuan harimau dalam arsip-arsip kolonial.

Kisah rampogan dalam sejarah Yogyakarta bukan hanya tentang pertunjukan, tetapi juga tentang simbolisme perlawanan dan harapan orang Jawa terhadap kolonialisme. Pertarungan antara harimau dan kerbau adalah cerminan dari kekuatan dan ketabahan orang Jawa dalam menghadapi tantangan dari luar, dan menjadi bagian penting dari warisan budaya yang kaya dan kompleks.

 

Perpindahan Rampogan Macan ke Daerah Kabupaten

Pada tahun 1860-an, acara Rampogan Macan mulai bergeser dari pusat-pusat Kerajaan di Jawa Tengah ke daerah-daerah Kabupaten seperti Kediri, Tulungagung dan Blitar. Ketika tradisi ini bergeser ke daerah-daerah Kabupaten, pertarungan antara harimau dan kerbau dihilangkan, dan acara hanya terdiri dari menombak harimau secara beramai-ramai.

Rampogan macan di Tulungagung tak kalah seru dengan Blitar. Di tengah alun-alun Kabupaten Tulungagung, kandang macan sudah ditempatkan. Namun, untuk membuat hewan-hewan buas ini keluar dan terlihat ganas, orang-orang pemberani berdiri di atas kandang, menusukkan tombak agar hewan tersebut keluar. 

Menurut tradisi tutur lisan, hewan-hewan yang berada di kandang diberi air campuran cabai rawit agar tubuh mereka terasa panas dan mereka mengamuk. Pelaksanaan tradisi Rampogan dimulai pagi hari dengan para punggawa siap berbaris hingga tiga atau empat lapis, membawa tombak, keris, dan senjata lainnya untuk menunjukkan ketangkasan mereka menghadapi hewan liar. 

Di sebelah barat rumah kabupaten, ada bagian khusus untuk menempatkan harimau atau macan, yang dinamakan kandang macan. Tempat itu menjadi kandang para harimau dan macan sebelum mereka dilepas di tengah alun-alun.

Kini, tradisi Rampogan di Tulungagung telah tiada, begitu pula dengan kandang macan yang berubah posisi dan bentuknya. Tradisi Rampogan yang menjadi bagian dari sejarah dan budaya lokal Tulungagung dihapus pada tahun 1901 karena kekhawatiran akan punahnya harimau dan macan. 

Alun-Alun Tulungagung yang dulunya menjadi saksi kemegahan tradisi ini kini telah berubah fungsi, namun cerita dan kenangan tentang Rampogan tetap hidup sebagai bagian dari warisan budaya yang patut dihargai.

Hal yang menarik adalah pandangan ambigu masyarakat Jawa terhadap harimau. Di satu sisi, harimau dianggap sebagai simbol kekuatan dan keberanian, namun di sisi lain, harimau juga dianggap sebagai ancaman bagi masyarakat. Tradisi Rampogan Macan mencerminkan dualitas ini, di mana harimau dilihat sebagai simbol kekuasaan penjajah yang harus ditaklukkan.

Dampak Tradisi Rampogan Macan

Keberadaan tradisi Rampogan Macan secara langsung menyebabkan populasi harimau Jawa menyusut drastis. Setiap hari, puluhan harimau diburu dan dibunuh dengan bengis. Beberapa harimau diawetkan lalu dijual kepada saudagar, sementara yang lainnya dikuliti karena motif rambutnya yang unik. Harimau yang masih kecil atau belum dewasa biasanya dipelihara dan digunakan untuk rampogan macan di masa depan.

Di Blitar, tradisi ini ditinggalkan pada akhir abad ke-19 ketika harimau Jawa benar-benar punah. Jika tradisi ini tidak dilakukan secara besar-besaran, mungkin populasi harimau Jawa masih ada hingga sekarang. Tradisi Rampogan Macan telah menjadi bagian dari sejarah yang menggambarkan hubungan antara manusia dan alam, serta bagaimana budaya dan tradisi dapat berdampak pada keberlanjutan spesies tertentu.

Blitar, dengan sejarah panjangnya yang akan memasuki usia ke-700, memiliki banyak tradisi yang mencerminkan kekuatan, keberanian, dan kekuasaan. Salah satunya adalah Rampogan Macan, sebuah tradisi gladiator ala Jawa yang melibatkan pertarungan antara manusia dan harimau. Tradisi ini tidak hanya menjadi simbol pemurnian dan penumpasan kejahatan, tetapi juga menunjukkan kekuatan rakyat dalam menghadapi kekuasaan penjajah.

Rampogan Macan telah punah pada awal abad ke-20, namun warisannya masih dapat dilihat dalam catatan sejarah dan buku-buku yang mengisahkan tradisi ini. Sejarah Rampogan Macan mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, serta bagaimana budaya dan tradisi dapat berdampak pada kelestarian spesies tertentu. Dengan memahami sejarah ini, kita dapat belajar untuk lebih menghargai dan melindungi warisan alam yang ada di sekitar kita.


Topik

Pemerintahan Hari Jadi ke-700 Blitar Kabupaten Blitar Pemkab Blitar rampogan macan



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Sri Kurnia Mahiruni