JATIMTIMES - Silsilah Ki Lemah Duwur diawali dengan datangnya dua orang keturunan raja Majapahit terakhir, yakni Prabu Brawijaya, yang bernama Lembu Petteng dan Menak Senoyo di Madura pada abad XV.
Lembu Petteng memiliki keturunan bernama Nyi Ageng Budo yang kemudian menikah dengan keturunan Menak Senoyo yang bernama Aryo Pucuk. Dari perkawinan itu, lahirlah putra bernama Ki Demung.
Baca Juga : Terpilih Ketua Percasi Jatim, Achmad Fauzi Gelar Lomba Catur Mulai dari Tingkat Desa
Ki Demung kemudian berangkat berkelana ke arah barat atas izin dan restu dari kedua orang tuanya. Dia sampailah di daerah Plakaran, Arosbaya.
Di tempat baru itu, Ki Demung kemudian membangun perkampungan baru yang diberi nama Kotta Anyar (Ata'anyar). Selanjutnya, di kampung tersebut Ki Demung mempersunting kembang desa yakni Ni Sumekar.
Dari perkawinan itu, lahirlah keturunan yang bernama Ki Pragalbo yang selanjutnya menjadi penguasa di daerah Plakaran dan dikenal sebagai Pangeran Islam Onggu'.
Julukan Pangeran Islam Onggu' itu diberikan kepada Ki Pragalbo karena ketika menjelang wafatnya, ia telah memeluk agama Islam yang dituntun langsung oleh putranya yang bernama Ki Pratanu dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan saat itu juga, Ki Pragalbo sempat menganggukkan kepalanya -dalam bahasa Madura onggu'- sebagai pertanda beliau setuju memeluk agama Islam.
Selanjutnya Pangeran Onggu' wafat pada 1531 Masehi dan dikebumikan di Makam Agung Plakaran, Arosbaya.
Namun sebelum wafat, pada tahun 1528, Ki Pragalbo sempat menobatkan putranya, Ki Pratanu, menjadi pangeran adipati (putra mahkota) yang ditandai dengan prasasti berbunyi "Sirno Pendowo Kertaning Negeri". Tulisan tersebut memiliki makna Sirno yakni 0, Pendowo berarti 5, Kertas berarti 4, Negeri berarti 1 yang berarti tahun 1450 Caka. Bila dijadikan tahun Masehi, ditambah 78 tahun, menjadi tahun 1528 Masehi.
Setelah ayahnya wafat, Ki Pratanu langsung menggantikan kedudukannya. Selanjutnya, keraton atau pusat pemerintahannya dipindah dari Plakaran ke daerah Arosbaya. Keraton itu berdiri di bidang tanah yang tinggi sehingga dijuluki Keraton Ki Lemah Duwur. Sementara Ki Pratanu sendiri dikenal sebagi Penambahan Ki Lemah Duwur.
Era Pemerintahan Ki Lemah Duwur
Pada masa pemerintahan Ki Lemah Duwur pada tahun 1528, Islamisasi di wilayah Madura Barat berjalan dengan baik.
Hubungan dengan pusat penyebaran agama Islam antara Arosbaya dengan Surabaya (Ampel), Gresik, dan Tuban semakin lancar, baik Islamisasi di Madura Barat maupun hubungan perniagaan dengan para pedagang Islam yang berlebur di Arosbaya, sehingga Arosbaya maju pesat.
Selanjutnya, Ki Lemah Duwur menjalin relasi yang lebih luas lagi dengan Kerajaan Panjang di Jawa Tengah. Dia dianggap orang-orang penting di antara raja-raja di Jawa Timur.
Hubungan antara Ki Lemah Duwur dengan Raja Panjang semakin dipererat dengan perkawinan trima, dengan salah seorang putri Panjang.
Baca Juga : Hukum Merokok Menurut 4 Madzhab
Prestasi yang dicapai Ki Lemah Duwur dengan srategi memindahkan keratonnya ke Arosbaya sebagai daerah maritim membuktikan bahwa beliau seorang pemimpin yang memiliki cakrawala pemikiran luas untuk mencapai kemakmuran seta kemajuan rakyatnya.
Sementara dalam segi pengembangan agama Islam di wilayah barat, beliau juga merupakan seorang tokoh yang sangat besar perannya. Pada masa pemerintahannya, beliau membangun masjid pertama di Arosbaya serta tekun menjaga rakyatnya untuk memeluk agama Islam, termasuk upaya mengislamkan ayahnya sendiri ketika masih hidup sampai mejelang wafatnya.
Dengan begitu, Ki Lemah Duwur yang mengawali masa pemeritahannya di Madura Barat (Arosbaya) pada tahun 1531 adalah momentum yang paling tepat sebagai acuan untuk menentukan tahun hari jadi Bangkalan.
Penobatan Ki Lemah Duwur
Sebelum penobatan Ki Lemah Duwur, diselenggarakan terlebih dahulu seminar pada tanggal 12 Maret 1991 yang kemudian tanggal bulan dan tahun tersebut menjadi titik awal hari jadi Bangkalan.
Selanjutnya pada Kamis 16 April 1992, para tim seminar, narasumber dan juga unsur perguruan tinggi beserta anggota DPRD Kabupaten Bangkalan menetapkan bahwa tahun 1531 ditetapkan sebagai hari jadi Bangkalan. Sementara untuk penentu hari, tanggal dan bulan tim masih menemukan kesulitan memperoleh kepastiannya.
Usai berbagai cara dilalui, akhirnya seorang pakar, yakni Des Moh. Romli, kepala suaka peninggalan sejarah dan purbakala Provinsi Jawa Timur yang bekerja sama dengan Drs Inajati Adriasianti, fosen arkeologi Islam pada Fakultas Sastra Universitas Gadja Mada Yogyakarta menghitung bahwa tahun 1531 Masehi sama dengan tahun 938 Hijriyah. Lalu mereka mencocokkan kebiasaan raja-raja Islam di Pulau Jawa bahwa penobatan seorang raja (pejabat) selalu ditetapkan pada setiap tanggal 12 Robiul Awal sejak zaman raja-raja Oanjang. Lalu dilanjut dengan menentukan tanggal 12 bulan Robiul Awal pada kalender tahun 983 Hijriyah di dalam buku table berbahasa Jerman yang berisi “MUHAMMADANISCHENUNDCHRISSTLICHEN EITRECHNUNG “ yang di susun oleh Fardinand Wunstenfiel. Buku itu menjelaskan bahwa pada tanggal 12 Robiul Awal 938 Hijriyah bertepatan pada tanggal 24 Oktober 1531 Masehi, harinya Selasa.
Kajian di atas sebagai penentu hari jadi Bangkalan yang kemudian diakui secara historis, ilmiah, dan agamis, yang kemudian ditetapkan dengan Surat Keputusan DPRD Kabupaten Bangkalan Nomor: 6 Tanggal 19 April 1992 dan Surat Keputusan Bupati Bangkalan Nomor: 145 tanggal 3v September 1992 dan Durat Keputusan Bupati Bangkalan Nkmor: 145 Tanggal 3 Septembar 1992 tentang hari jadinya Bangkalan yang jatuh pada 24 Oktober 1531 Masehi.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, maka ditentukan hari Jadi Bangkalan diperingati setiap 24 Oktober.