INDONESIATIMES - Penampilan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Sidang Tahunan MPR RI Senin (16/8/2021) kembali menjadi sorotan. Jokowi memang selalu mengenakan pakaian atau baju adat di setiap tahunnya untuk menghadiri sidang tahunan MPR RI.
Di tahun 2021 ini, Jokowi diketahui memilih mengenakan baju adat suku Baduy. Sayangnya, Jokowi justru mendapat kritikan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Baca Juga : PAD Kota Malang Tahun 2022 Ditarget Rp 1,05 Triliun, DPRD Dorong Pemkot Optimalkan Sinergi Antar Sektor
Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN Rukka Sombolinggi menilai jika pakaian adat yang kerap dipakai Jokowi dalam pidato tahunan itu tak lebih dari sekedar pemanis. Menurutnya, tindakan Jokowi selama ini justru tidak berpihak kepada masyarakat adat.
"Presiden ini, (penggunaan) baju adat hanya seperti dijadikan bungkus gula-gula (pemanis) saja," kata Rukka.
Ia juga menyebut sejumlah janji Jokowi kepada masyarakat adat tidak terwujud. Beberapa diantaranya seperti RUU Masyarakat Adat, pembentukan satgas masyarakat adat, hingga beberapa janji lain seperti tertuang dalam Nawa Cita.
Menurut Rukka, alih-alih mememuhi janjinya, Jokowi malah mendukung pengesahan UU tentang Mineral dan Batubara hingga UU Cipta Kerja. Lebih lanjut, Rukka menegaskan aturan itu nyatanya merugikan masyarakat adat.
Kebijakan Jokowi, tambah Rukka, juga bertentangan dengan sikap luhur masyarakat adat yang menghormati bumi dan sesama manusia. Rukka juga mengatakan selama Jokowi berkuasa praktik perampasan tanah adat masih kerap terjadi.
Tak cuma itu, pelayanan kesehatan selama pandemi Covid-19, seperti vaksinasi, juga belum menyentuh sepenuhnya kelompok masyarakat adat. Menurutnya, keputusan Jokowi yang kerap mengenakan baju adat di setiap tahunnya dalam Sidang Tahunan MPR RI tidak pernah tercermin pada setiap kebijakannya.
Bukan hanya soal pakaian, pidato Jokowi dalam pidato kenegaraan juga mendapat kritikan dari pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo. Ia menyebut jika sejumlah pernyataan Jokowi dalam pidato kenegaraan hari ini tadi jauh dari kenyataan.
Dalam pidatonya, Jokowi sempat menyinggung beberapa hal seperti keselamatan rakyat yang utama, kritik yang membangun penting, hingga menyampaikan apresiasi kepada DPR karena telah bersama-sama mengesahkan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
"Di era Jokowi ini entah kenapa antara harapan dan kenyataan timpang gitu loh," ujar Wasisto.
Wasisto lantas menyebut pernyataan Jokowi menyelamatkan rakyat merupakan hukum tertinggi bernegara baru dalam tataran konsep. Menurutnya, pemerintahan Jokowi masih belum menjalankan hal tersebut.
Baca Juga : Geger, Kambing Bermata Satu Lahir di Blitar, Disebut Mirip Dajjal
Hal itu, kata Wasisto, tergambar melalui tindakan pemerintah dalam menanggulangi pandemi virus Covid-19. Menurutnya, pemerintah sejak awal pandemi lebih memilih pendekatan politis dalam mengatasi virus asal Wuhan, China tersebut.
"Dari awal persepsi yang dibangun politis. Kalau negara lain aspek sains dikedepankan kalau kita politik," tandasnya.
Bahkan, Wasisto menyebut sejauh ini pemerintah lebih mengedepankan saran-saran dari elite politik ketimbang para ahli kesehatan. Sikap itu berdampak pada penyebaran virus yang tak terkendali hingga vaksinasi Covid-19 yang hingga kini tak sesuai target awal.
Lebih lanjut, Wasisto menyebut pernyataan Jokowi yang tak sesuai dengan kenyataan yakni terkait kritik. Dalam pidatonya, Jokowi menyebut kritik yang membangun itu penting.
Namun, kata Wasisto, kebebasan masyarakat untuk menyampaikan kritik justru menurun sepanjang era kepemimpinan Jokowi. Bahkan, ia menyebut pemerintahan saat ini cenderung antikritik.
"Semuanya dipersepsikan dalam satu pemahaman bahwa kritik itu bentuk penghinaan. Kritik tidak dimaknai sebagai tanda sayang terhadap pemerintah tapi justru dinilai simbol perlawanan terhadap negara," tuturnya.
Wasisto lantas menduga mungkin kritik yang dimaksud adalah Ia juga bertanya-tanya soal apreasiasi Jokowi kepada DPR karena telah mengesahkan 'Omnibus Law' UU Cipta Kerja.
Ia kesulitan menemukan manfaat dari disahkannya UU tersebut. Bahkan, Wasisto menduga Jokowi mengapresiasi karena dengan Omnibus Law tenaga kerja bisa diserap banyak namun dengan upah yang murah.
"Karena kalau dilihat dari desain awalnya tentang Omnibus Law menaikan ekonomi dengan praktiknya itu jomplang," katanya.