free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Seni dan Budaya

Piringan Hitam di Masa Keemasan hingga Mulai Jadi Kelangenan

Penulis : Tubagus Achmad - Editor : Nurlayla Ratri

17 - Feb - 2020, 19:03

Placeholder
Piringan hitam beserta alat produksinya di Lokananta, Solo, Jawa Tengah. (Foto: Istimewa)

Ada yang menarik dari tren permusikan tanah air. Di tengah perangkat serba digital, perangkat musik analog seperti piringan hitam masih tetap punya tempat. Bahkan, kini vinyl atau piringan hitam ini makin banyak dicari. 

Yang mengoleksi piringan hitam pun tak sekadar orang-orang tua, tetapi juga generasi milenial. Selain untuk kelangenan, piringan hitam juga dinilai menjadi barang koleksi yang artsi, nyentrik, dan juga "tidak pasaran". 

Piringan hitam sempat memiliki masa kejayaan di Indonesia. Awal mula industri musik masuk di Indonesia, menurut beberapa pendapat, bertepatan dengan era pendudukan Belanda sekitar abad ke-20. 

"Di Indonesia, rekam-merekam musik diyakini sudah ada di Batavia dan Surabaya pada masa pendudukan Belanda. Gramafon Columbia serta peralatan studio rekaman yang dibawa ke Hindia Belanda awal abad ke-20, bisa dikatakan sebagai cikal bakal lahirnya industri musik Indonesia," ungkap Theodore KS dalam bukunya yang berjudul Rock n Roll Industri Musik Indonesia, Dari Analog ke Digital.

Ini bisa disimak pada catatan 'Columbia Electric Recording' sekitar tahun 1920-an dengan beberapa rekaman suara. Misalnya 'Opname Paling Baroe', 'Terbikin di Tanah Djawa', 'Importeur K.K.Knies', 'Soerabaia', 'Weltevreden'.

Juga rekaman berisi lagu ataupun musik dari kelompok gamelan, orkes keroncong, wayang golek, wayang orang, dan opera. Misalnya Loedroek (Soerabaia), Krontjong Orkest C.W. Schaegen (Malang), Gamelan Ketoek Tiloe (Bandoeng), Opera Tjiong Hwa (Buitenzorg), Gamelan Mangkoe Negoro VII (Solo), Gamelan Soeling Ketjapi (Tjiandjoer), Ambonsch Fluitorkest (Malang), Harmonieom Orkest (Soerabaia), Kerontjong Orkest Nachtegaal (Solo), Vioolsolo S Abdoelah (Soerabaia), Wajang Golek Dalang Ardjo (Bandoeng), Wajang Orang Saritono (Soerabaia), Strijkorkest dari Toewan F.H Belonni (Bandoeng), Gamelan Kendang Pentja Atjeng (Bandoeng), Gamelan Pentja Istri Adjeng Tji Lempeni (Bandoeng), Harmonium Orkest Simpoelan Moehatma (Soerabaia). 

Jika berbicara industri musik Indonesia, tak lengkap rasanya jika tak menyebutkan Sujoso Karsono sebagai Bapak Perintis Industri Musik Indonesia. 

"Industri musik Indonesia dirintis Sujoso Karsono (18 Juli 1921 - 26 Oktober 1984) yang akrab dipanggil Mas Yos. Berbekal kecintaannya pada musik sejak masih berdinas di kemiliteran, dia mendirikan The Indonesian Music Company Limited tanggal 17 Mei 1951 yang dikenal dengan label Irama," tutur Theodore KS dalam bukunya.

Sebuah lagu yang tak lekang waktu dan hampir semua lintas generasi pernah dan sempat mengetahuinya adalah lagu dari Ellya Khadam - Boneka dari India. 

"Boneka dari India karya Ellya Khadam, (23 Oktober 1938 - 2 November 2009) tahun 1957 direkam OM Kelana Ria dengan dukungan Husein Bawafie (akordeon), Mat Syabi (mandolin), disamping Adikarso yang memainkan marakas. Elemem India dalam lagu ini lahir dari berbagai usulan musisi OM Kelana Ria, termasuk dari Ellya Khadam sebagai pencipta lagu," tambahnya dalam bukunya.

Masa kejayaan produksi piringan hitam (PH) dapat dilihat sejak dirintis mulai tahun 1950-an yang mulai terkikis di tahun 1970-an. Saat itu, dipicu banyaknya produksi kaset pita bajakan yang mulai beredar di pasar gelap. 

Padahal, produksi piringan hitam banyak melahirkan produsen-produsen pencetak vinyl kenamaan Tanah Air. Sebut saja Irama, Remaco, Dimita, Lokananta dan Metropolitan.

Produsen Piringan Hitam (PH) Irama yang paling awal bangkrut. "Sekitar 1960-an piringan hitam yang diproduksi oleh Irama pada masa jayanya (1962 - 1964) terjual sekitar 30.000 PH dalam satu bulan. Tetapi keadaan cepat berubah pada tahun 1966 penjualannya merosot hingga 10.000 PH per bulan," sebutnya. 

"Irama akhirnya 'gulung tikar' pada awal tahun 1967 karena penjualannya hanya 2.000 PH per bulan. Di samping merosotnya penjualan, tingginya pajak penjualan dan pajak barang mewah sebesar 34%, serta potongan 30% untuk penyalur atau agen," tambah Theodore KS dalam bukunya.

Cikal bakal Musica Studio's yang sukses sampai sekarang, adalah berkat Amin Tjengli sang pemilik Perusahaan PH Metropolitan yang mendirikan Musica Studio's sebagai kelanjutan perusahaan PH-nya itu. 

"Sebelum tutup usia 22 Juli 1979 dalam umurnya yang ke-50 tahun di Amerika Serikat, Amin Tjengli mendirikan Musica Studio's Oktober 1972 sebagai kelanjutan dari perusahaan PH Metropolitan," tambah Theodore KS dalam bukunya.

Banyak sekali musisi atau grup musik yang dulu pernah mengeluarkan rilisan fisik berupa piringan hitam. Sebut saja Eka Sapta, Bing Slamet, Waljinah, Sam Saimun, Dara Puspita, Koes Plus, Ernie Djohan, Gumarang, Zaenal Combo, Oslan Husein, Bubi Chen, Elly Kasim, Titiek Puspa, Pattie Bersaudara, Lilis Suryani dan banyak lagi musisi atau grup musik yang mengeluarkan debut albumnya dalam format piringan hitam.

 


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya malang berita-malang Piringan-Hitam Industri-Musik-Indonesia Gramafon-Columbia Harmonium-Orkest-Simpoelan-Moehatma



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Tubagus Achmad

Editor

Nurlayla Ratri