JATIMTIMES - Dalam perjalanan sejarah Indonesia, tokoh-tokoh lokal sering menjadi pilar yang menopang peradaban di tengah gejolak sosial, politik, dan kolonialisme. Salah satu tokoh yang layak mendapat tempat istimewa dalam narasi sejarah adalah Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Warsoekoesoemo, Bupati Blitar kedua, yang masa pemerintahannya meninggalkan jejak mendalam bagi Kabupaten Blitar.
Sebagai bagian dari trah aristokrasi Jawa yang memiliki hubungan erat dengan Keraton Mataram dan Kerajaan Gowa, KPH Warsoekoesoemo lahir dengan nasab yang mulia. Ibunya, Raden Ayu Djojosentiko, adalah putri Raden Tumenggung Sosrodirejo, Bupati Berbek kedua (1832–1843), yang dikenal sebagai tokoh visioner di wilayahnya. Garis keturunannya bahkan bisa dilacak hingga Karaeng Nobo dari Kerajaan Gowa, memperlihatkan pengaruh kultural yang melampaui batas geografis Jawa.
Blitar: Kabupaten Muda di Tengah Skandal
Baca Juga : Gugatan Ditolak MK, KPU Kota Blitar Segera Tetapkan Mas Ibin-Mbak Elim sebagai Pemenang Pilkada
KPH Warsoekoesoemo diangkat menjadi Bupati Blitar pada 3 Mei 1869, menggantikan Raden Adipati Ronggo Hadi Negoro, yang pemerintahannya diwarnai skandal korupsi besar. Sebagai kabupaten muda yang baru lepas dari kerangka Keraton Surakarta dan berada di bawah kendali Hindia Belanda sejak 1830, Blitar menghadapi tantangan besar, baik dari sisi pemerintahan maupun infrastruktur.
Duet antara KPH Warsoekoesoemo dengan Patih Djojodigdo, bangsawan cerdas dari keturunan Keraton Mataram dan menantu Bupati Berbek Pringgodigdo, menjadi fondasi baru bagi kebangkitan Blitar. Keduanya memadukan pengalaman tradisional Jawa dengan strategi administratif modern yang dikehendaki pemerintah kolonial. Djojodigdo, yang dilantik pada 8 September 1877, dikenal sebagai sosok berpengaruh, ahli bela diri, dan dikisahkan memiliki kemampuan supranatural yang melegenda hingga kini.
Pembangunan Infrastruktur Strategis
Warsoekoesoemo memahami pentingnya infrastruktur dalam pembangunan wilayah. Salah satu karya besarnya adalah pembangunan Pendopo Ronggo Hadi Negoro, yang dimulai pada 1875. Pendopo ini bukan hanya rumah dinas, melainkan juga pusat pemerintahan yang menjadi simbol otoritas lokal.
Ia juga memulai revitalisasi Alun-Alun Blitar, menjadikannya pusat aktivitas masyarakat dan simbol keteraturan wilayah. Lebih jauh lagi, KPH Warsoekoesoemo berhasil mendorong pembangunan jalur kereta api dan peresmian Stasiun Blitar pada 16 Juni 1884. Jalur kereta api ini membuka akses Blitar ke daerah lain, meningkatkan perdagangan dan mobilitas masyarakat.
Kolaborasi dengan Kolonial: Strategi Bertahan dan Berkembang
Kepemimpinan Warsoekoesoemo menunjukkan kemampuannya membaca situasi zaman. Ia memahami bahwa perlawanan frontal terhadap pemerintah kolonial hanya akan berujung pada kehancuran. Bersama Djojodigdo, ia memilih berkolaborasi dengan kolonial demi pembangunan dan kesejahteraan rakyat Blitar.
Kolaborasi ini sering kali dianggap kontroversial, terutama karena masih kuatnya trauma Perang Diponegoro di kalangan masyarakat Jawa. Namun, Warsoekoesoemo berhasil mengubah stigma tersebut dengan menunjukkan hasil nyata: pembangunan fisik, penguatan tata kelola pemerintahan, dan stabilitas politik.
Nasab Kebangsawanan dan Warisan Keturunan
Sebagai tokoh aristokrat, Warsoekoesoemo memiliki dua istri: KRA Sriwoelan, putri Bupati Srengat, dan KRA Nataningroem dari Puro Mangkunegaran. Dari pernikahan ini, ia memiliki dua putra yang kelak menjadi Bupati Blitar, yaitu KPH Sosrohadinegoro dan KPH Warsohadiningrat.
KPH Sosrohadinegoro dikenal sebagai perintis pembentukan Gemeente Blitar (cikal bakal Kota Blitar) pada 1 April 1906. Sementara KPH Warsohadiningrat memimpin Blitar melewati masa sulit, termasuk bencana lahar Gunung Kelud tahun 1919 yang menewaskan lebih dari 1.000 jiwa.
Patih Djojodigdo: Pendamping Setia yang Legendaris
Patih Djojodigdo tidak hanya menjadi tangan kanan Warsoekoesoemo, tetapi juga tokoh yang dihormati masyarakat Blitar hingga kini. Ia dikenang dalam cerita rakyat sebagai sosok sakti mandraguna, bahkan dikisahkan memiliki ajian Pancasona. Makamnya, yang terletak di Jalan Melati, Blitar, sering diziarahi sebagai tempat keramat yang disebut “Makam Gantung.”
Tradisi mistik ini menunjukkan betapa eratnya masyarakat Jawa dengan unsur spiritual dalam memaknai sejarah. Selain itu, nama Djojodigdo juga sering dikaitkan dengan rampogan macan, tradisi gladiator Jawa yang populer pada abad ke-18 dan 19, di mana manusia beradu dengan harimau Jawa di Alun-Alun Blitar.
Jejak Keluarga dari Berbek ke Blitar
Baca Juga : Stok Aman, Distribusi Elpiji 3 Kg di Kota Blitar Diklaim Lancar
Warsoekoesoemo membawa warisan kearifan dari leluhurnya di Berbek. Kakeknya, Raden Tumenggung Sosrodirejo, adalah tokoh penting di Kabupaten Berbek yang memimpin selama periode transisi 1832–1843. Ia berperan dalam integrasi wilayah Berbek, Nganjuk, dan Kertosono di bawah Pemerintahan Hindia Belanda.
Nasab keluarganya yang panjang hingga ke Kerajaan Gowa memperlihatkan jalinan sejarah yang luas antara Jawa dan kawasan Nusantara lainnya. Keterkaitan ini memberikan dimensi kultural yang unik pada kepemimpinan Warsoekoesoemo, menjadikannya tokoh yang tidak hanya berakar pada tradisi lokal, tetapi juga bagian dari sejarah Nusantara yang lebih luas.
Sosrodirejo lahir dari keluarga bangsawan terpandang. Ia adalah adik dari Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sosrokusumo, bupati pertama Berbek yang dikenal dengan julukan Kanjeng Jimat. KRT Sosrokusumo adalah figur dihormati, bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai tokoh spiritual. Setelah wafatnya KRT Sosrokusumo pada tahun 1832, Sosrodirejo naik menggantikan kakaknya.
Akhir Hayat dan Warisan Abadi
KPH Warsoekoesoemo wafat pada 19 September 1896, setelah memimpin Blitar selama 27 tahun. Masa pemerintahannya menjadi tonggak penting dalam sejarah Blitar, terutama karena kemampuannya mengubah kabupaten baru yang dilanda krisis menjadi wilayah yang stabil dan berkembang.
Jejaknya tidak hanya terlihat pada bangunan fisik seperti pendopo, alun-alun, dan stasiun kereta api, tetapi juga pada warisan administratif dan kebudayaan yang terus dikenang hingga kini. KPH Warsoekoesoemo dan Patih Djojodigdo layak disebut sebagai “Bapak Pembangunan Blitar,” yang keberhasilannya menjadi inspirasi bagi generasi penerus.
Kesimpulan: Membaca Ulang Sejarah Lokal
Sejarah KPH Warsoekoesoemo mengajarkan kita pentingnya membaca ulang sejarah lokal dengan sudut pandang yang lebih kritis dan mendalam. Dalam konteks kolonialisme, kepemimpinannya mencerminkan strategi adaptasi yang cerdas tanpa kehilangan identitas budaya.
Kisah ini juga mengingatkan kita bahwa pembangunan tidak hanya soal fisik, tetapi juga tentang membangun kepercayaan, harmoni, dan solidaritas. Warsoekoesoemo adalah simbol dari bagaimana pemimpin lokal dapat menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, antara kearifan lokal dan tuntutan zaman.
Blitar hari ini adalah warisan dari visi dan kerja kerasnya—sebuah pelajaran abadi tentang kepemimpinan yang melampaui batas waktu.