oleh: Dr Fidela Dzatadini Wahyudi SSosio MSos, dosen Sosiologi Univeritas Cipta Wacana Malang
Reformasi ditulis dengan tinta perlawanan. Namun tubuh-tubuh perempuan yang dikorbankan dalam perjuangan meraih kemenangan ternyata hanya menjadi catatan yang tak pernah dicari, tak pernah diakui, bahkan dibungkam dan dilupakan.
Baca Juga : Napak Tilas Bung Karno: Mas Ibin dan Eri Cahyadi Guyub Tanamkan Nilai Kebangsaan untuk Generasi Penerus
Di balik tonggak kebebasan reformasi dan simbol kemenangan rakyat atas tirani, terdapat tubuh-tubuh perempuan yang terseret ke sudut tergelap sejarah. Perempuan-perempuan –yang sebagian besar berasal dari etnis Tionghoa—telah disiksa, diperkosa secara massal, bahkan dibunuh secara brutal di depan mata keluarga mereka. Ketika negara enggan mengakui kekerasan seksual yang terjadi secara sistematis terhadap para perempuan korban pada peristiwa 1998, maka negara ini bukan hanya gagal sebagai negara hukum, namun pengingkaran ini adalah bentuk kekerasan baru, pembungkaman dan pengkhianatan sejarah yang dilembagakan (institutionalized symbolic violence).
Tubuh Perempuan sebagai Medan Perang dan Luka Kolektif Bangsa
Tubuh perempuan yang telah menjadi korban kekerasan ternyata bukan hanya sekadar menjadi objek penyerangan, tapi juga dijadikan sebagai medan perang dan alat terror yang strategis untuk menyampaikan pesan. Dalam beberapa konflik sosial dan politik yang terjadi, tubuh perempuan sering menjadi ruang pertama yang akan diserang dan dihancurkan ketika kekuasaan ingin menunjukkan dominasinya. Tubuh perempuan dimaknai sebagai simbol kehormatan. Sehingga, ketika tubuh perempuan mengalami penyerangan dari musuh, maka sebenarnya musuh sedang memberikan pesan, bahwa kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan adalah upaya untuk menghancurkan bukan hanya sekadar tubuhnya, namun juga sedang menghancurkan komunitas, identitas, dan rasa aman bersama.
Ironisnya, tubuh perempuan yang telah dijadikan medan perang, kini masih dipaksa memikul beban diam. Setelah tubuh perempuan dijadikan objek kekerasan, mereka harus dibebani rasa malu, stigma, dan pembungkaman yang tidak bisa mereka pilih dan hindarkan. Lebih menyakitkan lagi, negara yang dulu mereka perjuangkan bersama untuk mencapai reformasi, justru menolak mengakui luka yang menyertainya, bahkan memilih untuk menyangkal realita kekerasan perempuan yang telah terjadi. Tidak ada perlindungan, tidak ada pendampungan, tidak ada pengakuan. Negara bukan menjadi ruang aman bagi perempuan korban, melainkan justru menjadi tembok penyangkal jeritan luka mereka.
Luka perempuan korban peristiwa 1998 ternyata tidak hanya berhenti di tubuh, namun menyebar menjadi luka bersama. Luka –pemerkosaan, penganiayaan, pembunuhan-- yang awalnya dirasakan oleh individu, berubah menjadi luka dan trauma kolektif ketika negara dan penguasa memilih untuk membungkam dan masyarakat melupakan. Luka tersebut menjalar ke ruang-ruang sosial, pada rasa tidak aman yang diwariskan, amarah yang dipendam, dan ketidaktahuan pada generasi yang tumbuh dari luka-luka tubuh yang tersakiti. Dalam diam, luka ini diabaikan hingga membusuk di balik wajah reformasi yang tampak bersih.
Luka Diabaikan, Sejarah Dipalsukan
Luka perempuan korban peristiwa 1998 terus terbuka karena tidak pernah mendapatkan ruang dalam narasi resmi negara. Trauma tersebut terus mengendap dalam bisu, penyangkalan dari penguasa, dan kebijakan negara yang tidak pernah mengungkap realita kebenarannya.
Wakil rakyat yang seharusnya menjadi pendengar pertama atas luka dan keluhan masyarakat, justru memilih untuk meragukan bahkan menghilangkan jejak pahitnya peristiwa tanpa ditangani dengan layak. Fadli Zon, Menteri Kebudayaan Kabinet Merah Putih yang seharusnya bertanggungjawab dalam melestarikan warisan budaya dan sejarah menunjukkan sikap enggan untuk mengakui luka kolektif perempuan korban 1998. Pada Juni 2024, ia menyebutkan, bahwa kasus pemerkosaan perempuan 1998 sebagai “narasi asing yang tidak terbukti”. Wiranto, yang pada saat itu adalah panglima ABRI tidak pernah mengucap permintaan maaf atau tanggung jawab moral. Padahal, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada 1998 sebenarnya sudah melaporkan bahwa terdapat kekerasan seksual terhadap para perempuan. Namun, hingga hari ini pun tidak ada tindak lanjut dalam bentuk proses hukum ataupun pernyataan resmi dari negara. Tidak ada reparasi, permintaan maaf negara, maupun kebijakan memorialisasi yang layak.
Baca Juga : Setahun DPO, Otak Pembunuhan di Gresik Akhirnya Tertangkap di Kalimantan
Diamnya negara bukan hanya tentang kegagalan politik, tapi juga bentuk kekerasan (simbolik) baru yang dilembagakan (institusionalized symbolic violence). Tanpa ada pengakuan dari penguasa dan negara, sesungguhnya negara telah mencederai prinsip keadilan itu sendiri. Dalam konteks ini, tindakan tersebut merupakan organized forgetting, yaitu strategi kuasa untuk melupakan atau –dalam konteks ini memalsukan sejarah– demi citra negara atau bangsa yang tampak bersih. Dengan perlakuan seperti ini, maka perempuan korban peristiwa 1998 tidak hanya menjadi korban kekerasan fisik, namun juga korban penghapusan sejarah. Mereka tidak hanya dilukai secara fisik oleh pelaku jalanan yang memerkosa dan membunuh, tapi juga oleh sistem yang memilih untuk menyingkirkan kisah mereka dari buku sejarah dan panggung politik. Pelupaan ini bukanlah ketidaksengajaan, tapi bentuk kekerasan kedua yang dilembagakan.
Jika luka terus disangkal, maka luka tidak pernah menjadi pelajaran, namun warisan yang kelam. Bangsa ini akan terus berjalan di atas sejarah yang timpang. Sejarah yang hanya menuliskan pemenang, tanpa mencatat kisah mereka yang dikorbankan. Kekerasan seksual terhadap perempuan khususnya pada etnis Tionghoa pada saat itu bukan sekadar episode kelam, namun justru menjadi bagian penting dari perjalanan sejarah bangsa.
Sejarah tidak membutuhkan kisah yang sempurna, namun membutuhkan kejujuran. Tindakan yang seharusnya dilakukan adalah keberanian untuk mengakui, bahwa reformasi atau kebebasan rakyat atas tirani tidak lahir dari panggung elite semata, tapi juga dari tubuh-tubuh perempuan yang saat itu diseret, diperkosa, dibakar, yang saat ini menunggu satu hal dasar dari negara: pengakuan.