JATIMTIMES - Aplikasi ojek online Zendo yang bermitra dengan Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU) menjadi bahan perbincangan hangat belakangan ini. Meski dianggap sebagai alternatif Islami di tengah persaingan aplikasi transportasi online, muncul kritik terhadap Zendo terkait regulasi ketat bagi para mitra drivernya.
Namun, Sekjen SUMU, M. Ghufron Mustaqim, menjelaskan bahwa aturan yang beredar di media sosial itu merupakan hasil pengalaman panjang di lapangan. “Adapun tentang syarat dan ketentuan bagi tim dan driver Zendo yang tersebar di publik, itu adalah bagian dari hasil perahan 9 tahun merespons kondisi riil lapangan (tipu-tipu, motivasi kerja, standar pelayanan dan sebagainya) yang hanya bisa dipahami apabila kita menggeluti lapangan,” ujar Ghufron.
Ia menambahkan, memahami aturan Zendo tidak cukup hanya dengan analisis di balik meja. “Simpati terbentuk dari pergulatan sehari-hari dengan segala dinamika permasalahan lapangan. Tidak bisa dipahami hanya dengan duduk di meja, menghadap laptop menjelajah dunia maya. Kita harus berkeringat dan berdarah tak kenal lelah di lapangan seperti Mbak Lutfy untuk benar-benar mafhum,” tambahnya.
Poster yang menjadi sorotan publik, menurut Ghufron, bukanlah karya profesional, melainkan buatan masyarakat biasa yang merupakan tim Zendo. “Bahasa dalam poster tersebut adalah bahasa awam para tim Zendo yang bukan jebolan perguruan tinggi. Bukan pula dibuat oleh copywriter profesional bergaji puluhan juta. Itu poster buatan rakyat akar rumput, berbahasa akar rumput dengan segala keterbatasannya,” jelas Ghufron.
Menanggapi polemik ini, peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) Arif Novianto yang sebelumnya memberikan kritik, juga memberikan tiga saran. Tujuannya agar Zendo bisa meningkatkan hubungan kemitraan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi para drivernya.
"Bisa contoh perusahaan kurir yg hanya beroperasi di 3 kota ini. Krna menerapkan kerja shift & tak ada fleksibilitas, klasifikasi drivernya adalah buruh (gaji UMR, BPJS, dll), bukan MITRA," jelas Arif, dikutip akun X pribadinya @arifnovianto_id.
Contoh ojek online yang dimaksud Arif layak dicontoh Zendo. (Foto: X)
Arif juga menegaskan jika Zendo tetap pada konsep kemitraan, esensinya harus diwujudkan. "Jika memang ingin hubungannya kemitraan, maka perlu dipenuhi hak-hak driver sebagai mitra, yaitu posisi yang setara, tidak ada yang memerintah dan diperintah, pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk mufakat, dan lain-lain," jelasnya.
Menurut Arif, hak driver sebagai mitra juga belum bisa direalisasikan dengan baik oleh perusahan ojek online lainnya. "Hal yang juga tidak bisa dijalankan oleh Gojek dan Grab," tambahnya.
Sementara itu, jika modal menjadi kendala utama, Arif menyarankan agar Zendo untuk beralih ke model koperasi. Dalam sistem ini, driver tidak hanya menjadi pekerja, tetapi juga pemilik platform. Dengan begitu, pengelolaan akan lebih transparan, dan pendiri Zendo tidak perlu bekerja terlalu keras seperti saat ini.
"Driver tak hanya sebagai pekerja, tapi sebagai pemilik platform. Sehingga pendiri Zendo tak perlu lagi kerja sampai 24 jam," jelasnya.
Menurut Arif, aturan ketat yang diterapkan Zendo dinilai oleh banyak pihak sebagai bentuk eksploitasi yang bertentangan dengan prinsip kemitraan. Jika Zendo tetap menggunakan sistem saat ini, maka diperlukan evaluasi mendalam agar aturan tersebut tidak melanggar esensi kemitraan dan tetap menghormati hak para driver.
"Pertanyaannya, apakah Zendo & Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU) akan mengikuti saran saya yang mana? Atau tetap beroperasi dengan aturan seperti sekarang yang eksploitatif dan melanggar esensi kemitraan? Respon Muhammadiyah sendiri, sampai sekarang, merasa regulasi di Zendo bukan masalah," pungkas Arif.