JATIMTIMES - Sepuluh organisasi non-pemerintah atau LSM pro-Palestina membawa negara Belanda ke pengadilan pada hari Jumat (22/11), mendesak penghentian ekspor senjata ke Israel dan perdagangan dengan pemukiman Israel di wilayah Palestina yang diduduki.
Mereka menuduh pemerintah Belanda gagal mencegah apa yang mereka sebut sebagai genosida di Gaza, dengan mengacu pada Konvensi Genosida 1948 yang dibentuk setelah Holocaust.
Menurut penggugat, Belanda, sebagai sekutu setia Israel dan penandatangan Konvensi Genosida 1948, memiliki kewajiban hukum untuk mengambil semua tindakan yang wajar untuk menghentikan pelanggaran hukum internasional di Gaza dan Tepi Barat.
"Hari ini, para penggugat hadir di sini untuk meminta pertanggungjawaban negara Belanda atas kegagalan mereka mematuhi hukum internasional dengan tidak melakukan intervensi terhadap pelanggaran hak-hak rakyat Palestina yang dilakukan oleh negara Israel," kata Wout Albers, seorang pengacara yang mewakili koalisi tersebut, di pengadilan perdata di Den Haag pada hari Jumat.
“Israel bersalah atas genosida dan apartheid dan menggunakan senjata Belanda untuk berperang” tambahnya.
Penggugat ini merupakan gabungan dari beberapa organisasi yang berasal dari Belanda dan Palestina. Organisasi-organisasi ini fokus pada perjuangan membela hak asasi manusia di kawasan Palestina, dengan tiga kelompok yang berbasis di Palestina.
Mereka mengutip tingginya jumlah korban sipil yang terbunuh dan terluka serta kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mendukung klaim bahwa genosida tengah terjadi. Ahmed Abofoul, penasihat hukum Al Haq, salah satu LSM yang mengajukan gugatan, mengatakan bahwa 80 kerabatnya, termasuk banyak anak-anak, telah terbunuh.
"Ini tidak seperti yang pernah kami lihat sebelumnya sebagai orang yang menangani pelanggaran hak asasi manusia,"ujarnya di pengadilan sebagaimana dikutip dari Reuters.
Israel dengan keras membantah tuduhan genosida dalam operasinya di Gaza, yang dimulai setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Israel menyatakan bahwa serangannya hanya menargetkan Hamas dan kelompok bersenjata lain yang dianggap mengancam keberadaannya dan bersembunyi di antara warga sipil.
Saat membuka kasus di pengadilan Den Haag, hakim Sonja Hoekstra mencatat bahwa keseriusan situasi di Gaza dan status Tepi Barat tidak dibantah oleh negara Belanda.
"Hari ini adalah tentang mencari tahu apa saja yang berlaku secara hukum dan apa yang dapat diharapkan dari Negara, apakah Negara dapat diharapkan untuk berbuat lebih banyak, atau bertindak secara berbeda dari tindakannya saat ini," tambahnya.
Baca Juga : Masuk Papan Atas, Arema FC Alami Tren Positif
Ia juga mengakui bahwa ini merupakan ‘kasus yang sensitif’ dan disebut sebagai ‘perdebatan hukum secara keseluruhan’.
Pengacara negara Belanda, Reimer Veldhuis, meminta hakim menolak tuntutan LSM, dengan alasan bahwa kebijakan luar negeri terhadap Israel berada di luar kewenangan pengadilan. Ia menegaskan bahwa Belanda telah menerapkan hukum Eropa yang berlaku untuk ekspor senjata dan tidak memberikan lisensi yang berkontribusi pada aktivitas militer Israel di Gaza atau Tepi Barat.
"Negara Belanda tidak berkontribusi terhadap serangan Israel di Jalur Gaza atau mempertahankan pemukiman di wilayah Palestina yang diduduki," ujar Veldhuis.
Pada Kamis, ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, dan komandan militer Hamas Mohammed Deif atas dugaan ‘kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan’ di Gaza.
Sebelumnya, pengadilan Belanda memerintahkan pemerintah untuk memblokir ekspor suku cadang F-35 ke Israel karena pelanggaran hukum internasional, meskipun pemerintah mengajukan banding. Belanda menanggapi surat perintah ICC dengan menghormati independensinya dan menunda kunjungan Menteri Luar Negeri Caspar Veldkamp ke Israel.
Pengadilan akan memutuskan tuntutan LSM pro-Palestina pada tanggal 13 Desember, kata hakim saat penutupan sidang satu hari pada hari Jumat.