JATIMTIMES - Ketika berbicara tentang Kediri, sebagian besar orang mungkin langsung teringat pada nama besar Gudang Garam, perusahaan rokok yang menjadi ikon kota ini.
Namun, jauh sebelum nama tersebut dikenal luas, ada sosok lain yang turut memberikan kontribusi besar terhadap kebudayaan Jawa, khususnya melalui sastra. Dia adalah Tan Khoen Swie, seorang penerbit buku yang tidak hanya berbisnis, tetapi juga merawat dan menyebarkan kekayaan budaya Jawa melalui literasi.
Baca Juga : Tips Umur Panjang ala Dokter Hans Tranda, Ternyata Cukup Gunakan Rumus 4J
Kisahnya merupakan bukti bahwa Kediri bukan hanya dikenal karena rokok, tetapi juga berkat kontribusi intelektual yang begitu berharga.
Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan terbesar Indonesia, pernah menulis: “Kamu boleh pintar setinggi langit, tapi kalau kamu tidak menulis, maka kamu akan hilang dari ingatan masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Ungkapan tersebut menggambarkan pentingnya menulis untuk menjaga ingatan, sejarah, dan warisan budaya.
Namun, menulis saja tidak cukup. Tulisan-tulisan itu harus diterbitkan dan disebarluaskan agar dapat mencapai khalayak yang lebih luas, dan di sinilah peran penerbit menjadi penting. Pada masa kolonial Hindia Belanda, penerbitan buku bukanlah hal yang mudah, apalagi bersaing dengan Penerbit Balai Pustaka yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah kolonial. Namun, seorang Tionghoa bernama Tan Khoen Swie memberanikan diri untuk terjun ke dunia penerbitan, tidak dengan kata-kata sok nasionalis, tetapi dengan tindakan nyata.
Awal Perjalanan: Dari Wonogiri Hingga Kediri
Tan Khoen Swie lahir di Wonogiri pada tahun 1884. Konon, masa kecilnya dihabiskan di kota kelahirannya dengan bekerja sebagai tukang rakit yang membantu penyeberangan di Sungai Bengawan Solo. Kehidupan sederhana di tepian sungai menjadi bagian awal dari perjalanan panjang seorang Tan Khoen Swie sebelum akhirnya menemukan takdirnya sebagai penerbit besar di Kediri. Seiring waktu, ia mulai mengembara ke berbagai kota, belajar banyak hal, termasuk menguasai bahasa Hakka, bahasa yang umum digunakan oleh komunitas Tionghoa di berbagai kota di Hindia Belanda.
Dari pengembaraan tersebut, ia bertemu dengan Liem Gio Nio, seorang gadis dari Surabaya yang kemudian menjadi istrinya. Dari pernikahan ini, Tan Khoen Swie dikaruniai tiga anak. Namun, hidupnya tidak berhenti sebagai seorang suami dan ayah. Minatnya yang mendalam terhadap kebudayaan Jawa semakin berkembang saat ia menetap di Kediri. Kota yang kemudian menjadi panggung besar bagi dedikasi Tan Khoen Swie terhadap kebudayaan Jawa.
Berakar dalam Kebudayaan Jawa
Setibanya di Kediri, Tan Khoen Swie mulai mendalami kebudayaan Jawa dengan begitu intens. Ia belajar bahasa Jawa hingga fasih, tidak hanya bahasa sehari-hari (ngoko), tetapi juga bahasa Jawa halus (krama inggil) yang biasa digunakan di kalangan bangsawan dan keraton. Tidak hanya itu, Tan Khoen Swie juga belajar membaca dan menulis aksara Jawa, sebuah kemampuan yang langka di kalangan masyarakat Tionghoa pada masa itu. Ketertarikannya terhadap kebudayaan Jawa tidak hanya terbatas pada bahasa. Ia juga mempelajari seni wayang, serta berbagai aspek spiritual dan kebatinan Jawa, termasuk ilmu Kejawen.
Praktik meditasi, puasa, vegetarianisme, serta minatnya yang tinggi pada hal-hal gaib, menjadikan Tan Khoen Swie sebagai figur yang unik. Di balik penampilannya yang sederhana, ia memiliki kedalaman spiritual yang menghubungkannya dengan tradisi kebatinan Jawa yang kental. Kebatinan ini juga menginspirasi langkahnya dalam merawat dan menghidupkan kebudayaan Jawa melalui tulisan dan penerbitan.
Mendirikan Boekhandel Tan Khoen Swie
Pada tahun 1915, Tan Khoen Swie mendirikan Boekhandel Tan Khoen Swie di Jalan Dhaha, Kediri. Rumah sekaligus tokonya ini menjadi tempat bagi Tan Khoen Swie untuk mulai mengembangkan bisnis penerbitan yang fokus pada buku-buku berbahasa dan berhuruf Jawa, serta berbahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Latin. Penerbitannya ini berdiri tiga tahun sebelum Balai Pustaka didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, sebuah pencapaian yang menunjukkan keberanian dan tekad Tan Khoen Swie untuk mandiri dalam memajukan literasi di tanah Jawa.
Buku-buku yang diterbitkan oleh Boekhandel Tan Khoen Swie mencakup berbagai topik, mulai dari masakan, pertanian, filsafat, pendidikan, sejarah, agama, sastra, hingga topik-topik yang pada zamannya dianggap tabu seperti teknik berhubungan suami istri. Dengan demikian, Tan Khoen Swie berperan penting dalam menyebarkan pengetahuan dan filsafat Jawa yang sebelumnya hanya terbatas di lingkungan keraton dan bangsawan, kini dapat diakses oleh masyarakat luas.
Karya-Karya Monumental
Tan Khoen Swie adalah sosok yang tak bisa dilepaskan dari sejarah sastra dan filsafat Jawa. Melalui penerbitannya, Boekhandel Tan Khoen Swie, ia berhasil mempopulerkan sejumlah karya sastra legendaris yang hingga kini masih dikenal luas di kalangan masyarakat Jawa dan Indonesia. Tan Khoen Swie bukan hanya sekadar seorang pengusaha penerbit, tetapi juga seorang pelestari dan penyebar nilai-nilai kebudayaan yang ia yakini harus diakses oleh lebih banyak orang.
Di antara karya-karya penting yang diterbitkan oleh Boekhandel Tan Khoen Swie, terdapat beberapa judul yang terus menjadi referensi penting dalam pemahaman sastra dan filsafat Jawa. Salah satu karya yang paling terkenal adalah Primbon Jayabaya, sebuah naskah yang ditulis oleh Ronggowarsito dan berisi ramalan-ramalan tentang masa depan Jawa, termasuk visi tentang datangnya masa "kalabendu," yaitu masa kegelapan dan kehancuran, yang kemudian diikuti dengan era kemakmuran.
Selain itu, Tan Khoen Swie juga menerbitkan Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV, yang dianggap sebagai karya monumental dalam sastra Jawa. Wedhatama mengandung nasihat moral dan spiritual yang menggambarkan pandangan hidup ideal seorang Jawa. Buku ini mengajarkan pentingnya ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, dan keutamaan dalam kehidupan sehari-hari.
Tak kalah penting, penerbitan Serat Kalatidha, juga karya Ronggowarsito, memberikan kontribusi besar dalam melestarikan pemikiran mendalam mengenai zaman penuh ketidakpastian. Kalatidha menggambarkan keresahan seorang Ronggowarsito terhadap perubahan zaman yang ia saksikan, dimana nilai-nilai luhur mulai memudar di tengah kehidupan modern.
Baca Juga : Sering Lupa? Awas Terkena Penyakit Alzheimer, Ini Penjelasannya
Selain itu, Serat Gatholoco dan Serat Dharmogandul juga turut dipopulerkan melalui penerbitan Tan Khoen Swie. Kedua karya ini dikenal memiliki nuansa satir dan kritik sosial yang tajam terhadap kondisi masyarakat dan pemerintahan pada zamannya. Gatholoco misalnya, menggambarkan seorang tokoh yang dianggap kontroversial dalam pemikirannya, tetapi dengan cara yang mengajak pembaca untuk berpikir kritis mengenai norma-norma yang ada.
Sementara itu, Serat Nitimani seringkali disebut sebagai Kamasutra versi Jawa. Buku ini tidak hanya membahas tentang hubungan suami istri secara fisik, tetapi juga mengandung filosofi mendalam mengenai keharmonisan dalam hubungan, baik secara lahiriah maupun batiniah. Buku ini, meskipun kadang dianggap tabu, tetap menjadi salah satu kontribusi penting Tan Khoen Swie dalam membawa pemikiran-pemikiran filosofis Jawa kepada masyarakat luas.
Satu lagi yang tak kalah penting adalah Serat Babad Kediri, yang mengisahkan sejarah dan asal-usul Kediri sebagai sebuah kerajaan penting dalam sejarah Jawa. Babad ini memberikan catatan sejarah dan mitologi yang mendalam tentang perjalanan Kerajaan Kediri, serta pengaruhnya dalam perkembangan budaya Jawa.
Dengan menerbitkan karya-karya ini, Tan Khoen Swie telah berperan sebagai penjaga warisan sastra dan filsafat Jawa. Dia mengubah tradisi lisan dan tulisan yang sebelumnya terbatas pada lingkungan istana, menjadi lebih mudah diakses oleh masyarakat umum. Tak hanya itu, ia juga menempatkan dirinya sebagai tokoh penting dalam upaya menjaga identitas kebudayaan Jawa di tengah perubahan zaman, baik pada masa kolonial maupun pasca-kemerdekaan.
Warisan Tan Khoen Swie tidak hanya sekedar buku-buku yang diterbitkannya, tetapi juga semangatnya untuk menjaga dan menyebarluaskan kearifan lokal melalui media cetak. Hingga kini, karya-karya yang ia terbitkan terus menjadi rujukan penting bagi mereka yang ingin memahami kedalaman pemikiran dan kebudayaan Jawa.
Karya-karya ini tidak hanya menjadi bagian penting dari warisan budaya Jawa, tetapi juga menjadi bukti kontribusi besar Tan Khoen Swie dalam merawat kekayaan intelektual Jawa. Ia mengubah tulisan-tulisan Jawa yang sebelumnya hanya tersebar di kalangan terbatas, menjadi buku yang bisa diakses oleh semua kalangan masyarakat, dari rakyat jelata hingga kaum terpelajar.
Nasionalisme dan Keindonesiaan
Selain berkecimpung dalam dunia penerbitan, Tan Khoen Swie juga menunjukkan sikap nasionalismenya melalui berbagai tindakan. Ia memimpin perkumpulan Kioe Kok Thwan, organisasi Tionghoa di Kediri yang melawan kolonial Belanda pada tahun 1935. Berbeda dengan kebanyakan masyarakat Tionghoa pada masanya yang mengubah nama mereka menjadi nama Indonesia, Tan Khoen Swie tetap mempertahankan nama aslinya. Bagi Tan, menjadi orang Indonesia tidak harus menanggalkan identitas asli, dan ia bangga menunjukkan bahwa seseorang bisa tetap menjadi Tionghoa sambil tetap setia pada Indonesia dan kebudayaan Jawa.
Penerbitan buku-buku dengan tema nasionalisme juga menjadi bagian dari kontribusi Tan Khoen Swie terhadap perjuangan melawan kolonialisme. Ia menerbitkan buku-buku seperti Atoeran dari Hal Melakoeken Hak Perkoempoelan dan Persidangan Dalem Hindia-Nederland karya R. Boediharjo (1932), dan Tjinta Kebaktian Pada Tanah Air (1941). Buku-buku ini mencerminkan semangat perlawanan terhadap kolonialisme dan kecintaan pada tanah air.
Warisan yang Tak Terlupakan
Tan Khoen Swie meninggal di Kediri pada tahun 1953. Setelah kematiannya, penerbitan Boekhandel Tan Khoen Swie diteruskan oleh anaknya, Tan Biang Liong. Namun, perjalanan bisnis penerbitan ini tidak selalu mulus. Pada suatu ketika, Tan Biang Liong harus dipenjara selama tiga bulan karena menerbitkan buku Aji Asmorogomo, sebuah buku tentang teknik berhubungan seksual untuk mendapatkan keturunan, yang dilengkapi dengan ilustrasi. Kasus ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penerbitan tersebut akhirnya berhenti beroperasi pada tahun 1963, dengan Tan Biang Liong memutuskan untuk fokus pada bisnis lain.
Meski begitu, warisan Tan Khoen Swie dalam dunia literasi dan kebudayaan Jawa tetap hidup hingga saat ini. Namanya masih dihormati di kalangan intelektual Jawa sebagai salah satu tokoh yang berperan besar dalam mempopulerkan dan melestarikan kebudayaan Jawa melalui buku-buku yang ia terbitkan. Tan Khoen Swie adalah bukti bahwa dedikasi terhadap kebudayaan bisa menjadi kontribusi besar bagi bangsa, tanpa harus meninggalkan identitas diri.
Mengenang Sang Penerbit
Kediri bukan hanya tentang Gudang Garam. Kediri adalah kota yang memiliki jejak sejarah panjang, termasuk jejak seorang Tan Khoen Swie yang telah mengubah lanskap literasi Jawa. Saat kita membaca buku, terutama karya-karya sastra Jawa klasik, ingatlah bahwa ada seorang penerbit bernama Tan Khoen Swie yang telah membuka jalan bagi lahirnya banyak karya tersebut.
Tan Khoen Swie belum pernah menerima penghargaan resmi dari pemerintah Republik Indonesia atas jasa-jasanya. Namun, warisan yang ia tinggalkan dalam dunia sastra dan kebudayaan Jawa adalah penghargaan terbesar yang bisa diberikan oleh masyarakat—penghargaan dalam bentuk ingatan dan apresiasi yang tak akan lekang oleh waktu.