free web hit counter
Jatim Times Network
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Gabung Channel WhatsApp
Serba Serbi

Serangan Fajar di Demung: Ketika Karaeng Galesong Hancurkan Armada Mataram

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

28 - Jun - 2025, 17:40

Placeholder
Lukisan bergaya realis menggambarkan Raden Trunajaya (kiri) dan Karaeng Galesong (kanan), dua tokoh kunci pemberontakan terbesar terhadap Kesultanan Mataram (1674–1680). (Foto: created by JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pada suatu fajar di pertengahan tahun 1676, di tepian Demung yang sunyi namun strategis di pesisir timur Jawa, tercatat sebuah tragedi militer terbesar yang pernah dialami oleh armada laut Mataram. Sejarah mencatatnya dalam tinta merah darah dan bara kebakaran: serangan mendadak Karaeng Galesong dan laskar Makassar yang menggulung pasukan gabungan Mataram dan sekutu Eropa dalam kehancuran nyaris total. 

Peristiwa ini merupakan fragmen penting dalam kronik panjang konflik pemberontakan Trunajaya dan mencerminkan keretakan mendalam dalam tubuh militer dan politik Mataram pada dekade terakhir abad ke-17.

Baca Juga : Jalur Malang-Lumajang Tertimbun Longsor

Berdasarkan sumber-sumber primer seperti Babad Blambangan Pesisiran jilid XI (hlm. 68–72), Meinsma Babad, dan Serat Kandha, serangan Karaeng Galesong merupakan respons strategis terhadap upaya Mataram yang, sejak Maret 1676, tengah menyusun armada besar. Berdasarkan Daghregister VOC (16 April dan 18 April 1676), diketahui bahwa Sunan Amangkurat I merestui pengiriman armada besar dari Jepara dan pesisir utara untuk menghadang gerak pemberontak Trunajaya dan sekutunya, Karaeng Galesong. 

Armada ini terdiri dari tidak kurang dari 40 perahu layar, diperkuat oleh pasukan dari Jepara, Surabaya, Semarang, serta kontingen Eropa dari Kompeni Belanda, Ambon, dan Ternate. Pemimpinnya antara lain adalah Raden Prawirataruna, Pangeran Wirabumi, dan Tumenggung Suramenggala.

Namun, sejak awal ekspedisi, tanda-tanda keretakan internal dan kelemahan koordinasi telah nyata. Kiai Rangga Sidayu bersikap plin-plan, dan para panglima Jawa terbukti kurang disiplin dan lamban dalam mempersiapkan perahu maupun strategi. Kegusaran Couper, residen VOC, bahkan memuncak dalam teguran tajamnya: “Apa lagi yang ditunggu, Tuan? Apakah Tuan ingin kami mintakan perintah kedua dari Sunan?”

Puncak tragedi terjadi ketika Raden Prawirataruna, tanpa menunggu koordinasi penuh dengan pasukan sekutu, mendarat lebih dahulu di pantai Demung. Menurut Serat Kandha (hlm. 1017–1020), ia memimpin prajurit Mataram yang telah bersenjata api, namun jumlahnya tidak besar. Sementara itu, laskar Makassar di bawah komando Karaeng Galesong telah siap siaga di garis belakang. Melihat momen ideal, pasukan Makassar menyerang secara tiba-tiba.

Dalam hitungan jam, pertempuran berubah menjadi pembantaian. Pasukan Mataram kocar-kacir. Wirabumi dan Suramenggala terluka. Meski Prawirataruna mencoba melancarkan serangan balasan dengan 40 orang tersisa, kekuatan laskar Makassar yang ditopang oleh sekutu pesisir terlalu kuat. Dalam kekacauan mundur ke pantai, perahu-perahu terbalik, para prajurit berebut naik, dan banyak yang tenggelam.

Pidato heroik Prawirataruna untuk menyelamatkan sisa pasukannya sia-sia. Laskar Makassar terus mengejar mereka dengan lembing pendek dan parang lebar. Akhirnya, Raden Prawirataruna pun tewas, seluruh keluarganya dibunuh. Jenazahnya dengan susah payah dibawa ke kapal dan dimakamkan di Mataram, memicu duka dan kemarahan besar di istana.

Tak lama berselang, serangan kedua terjadi di Paiton. Kali ini, armada Suramenggala dan Singawangsa memilih merapat ke muara sungai demi menghindari ganasnya ombak. Pasukan Mataram mendarat, namun awak kapal tetap di perahu. Tanpa disangka, perahu-perahu jukung Makassar muncul dan, dengan taktik tipu daya, membakar semua perahu Jawa yang terdampar karena air surut.

Para awak yang panik tak mampu memadamkan api. Perbekalan, meriam, dan pakaian terbakar habis. Perahu-perahu didorong ke laut namun gagal. Akhirnya, mereka melarikan diri ke darat, tetapi pasukan Makassar telah menunggu. Dalam pertempuran darat, tombak Jawa kalah oleh strategi dan senjata Makassar. Suramenggala dan Surawangsa tidak mampu mengendalikan prajuritnya. Semua lari menyelamatkan diri.

Setelah api padam, armada Mancanegara datang mengevakuasi sisa pasukan. Mereka memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram, melainkan berputar ke Surabaya dan Jepara. Ketakutan akan murka Raja Amangkurat I lebih besar dari keberanian mereka kembali dengan tangan kosong.

Kekalahan di Demung dan Paiton menjadi tamparan keras bagi Mataram. Dalam laporan Couper, disebutkan bahwa ekspedisi gabungan itu terlalu lamban, tidak ada koordinasi, serta penuh saling curiga antara panglima Jawa dan VOC. 

Kelemahan struktural ini menggambarkan keroposnya kekuasaan Amangkurat I menjelang akhir masa pemerintahannya. Dalam kondisi terjepit, ia bahkan kehilangan banyak abdi istana karena dikerahkan ke ekspedisi yang gagal ini. Beberapa laporan menyebutkan bahwa putra-putra Amangkurat I harus melayani ayahandanya sendiri di istana.

Sementara itu, kemenangan Karaeng Galesong di Demung menjadi simbol ketangguhan diaspora Makassar di Jawa. Dengan senjata sederhana, strategi gerilya laut, dan aliansi politik cerdas dengan Trunajaya, mereka mampu menghancurkan kekuatan maritim Mataram. Kemenangan ini juga meneguhkan posisi Karaeng Galesong sebagai laskar laut utama di perairan timur Jawa.

Sejarah mencatat, baik dalam Babad Blambangan Pesisiran maupun arsip VOC, bahwa kekalahan ini bukan hanya soal kalah perang, melainkan kegagalan politik dan kepemimpinan. Serangan fajar di Demung menjadi metafora runtuhnya pretensi kekuasaan maritim Mataram dan keretakan internal para bangsawan serta panglima.

Di sisi lain, peristiwa ini juga menunjukkan bahwa perlawanan lokal seperti yang digalang Karaeng Galesong bukan sekadar pelarian pasca kekalahan di Gowa, melainkan transformasi menjadi kekuatan maritim otonom yang mampu mendikte jalannya sejarah pesisir utara dan timur Jawa selama dekade-dekade penuh pergolakan di abad ke-17.

Baca Juga : KKM, Ruang Belajar Sejati: Mahasiswa UIN Malang Dilepas untuk Mengabdi ke Pelosok Negeri

Sebagaimana dicatat Meinsma dan Serat Kandha, serta disinggung dalam laporan Daghregister, tragedi Demung membuka mata banyak pihak bahwa kekuasaan di Jawa tidak semonolitik seperti yang dikehendaki oleh Raja-Raja Mataram. Serangan itu adalah awal dari banyak kekalahan lain yang akan dialami Mataram sebelum akhirnya kerajaan ini benar-benar kehilangan supremasi atas wilayah pesisirnya.

Serangan fajar di Demung adalah pembuka babak baru sejarah kekuasaan maritim di Nusantara: kekuasaan yang tidak lagi didikte oleh pusat, melainkan ditentukan oleh kelincahan, strategi laut, dan keteguhan perlawanan yang disulut oleh dendam sejarah dan kehausan akan kebebasan.

Api yang Membakar Plered: Historiografi Pemberontakan Trunajaya–Galesong (1674–1680)

Dalam denyut sejarah Jawa - Madura abad ke-17, nama Raden Trunajaya menjulang bukan semata sebagai pemberontak, melainkan penjelmaan dendam genealogis, spiritual, dan politik yang menembus sekat kerajaan Jawa. Berdasarkan penelusuran genealogis penulis, Trunajaya ditautkan sebagai keturunan Kiai Demang Plakaran, penyebar Islam Arosbaya, yang jalurnya menembus trah Majapahit-Islam melalui Aria Damar, penguasa Palembang, dan Prabu Brawijaya V. Silsilah ini menegaskan bahwa dalam darahnya berdenyut warisan Majapahit-Islam sekaligus luka penaklukan Mataram atas Madura.

Ekspedisi Sultan Agung pada 1624 menghancurkan Arosbaya, membunuh Pangeran Tengah, kakek Trunajaya, menaklukkan garis Cakraningrat I. Dalam tafsir penulis, luka inilah yang meruap menjadi bara perlawanan. Meski Cakraningrat I memilih bertahan di lingkar kuasa Mataram, benih kebencian hidup di generasi Trunajaya—anak Demang Malayakusuma—yang menolak tunduk di bawah bayang-bayang Kesultanan Mataram yang mengekang kebebasan bangsawan pesisir.

Trunajaya bertumbuh dalam atmosfer pascakolonial ketika Madura dijadikan satelit kekuasaan Mataram. Ia mengasah kepiawaian diplomasi, membangun jaringan spiritual melalui perkawinan dengan putri Raden Kajoran—ulama karismatik Kedu. Dalam Daghregister, Kajoran disebut “fanaticus” yang menentang Amangkurat I. Kajoran bukan hanya mertua, tetapi pendamping ideologis yang menghalalkan perang melawan raja zalim. Inilah fondasi jihad politik Trunajaya, menegaskan bagaimana spiritualitas bertemu ambisi duniawi.

Persatuan ini diperluas ke Sulawesi. Karaeng Galesong, bangsawan Gowa yang menolak tunduk pada Perjanjian Bongaya (1667), datang ke Jawa membawa sekitar 800 eksil Makassar. Ia dan pengikutnya adalah sisa pejuang yang menolak kehilangan martabat Makassar di perantauan. Pernikahan keponakan Trunajaya dengan Galesong mengikat aliansi lintas etnis: Madura, Jawa pesisir, Makassar, Bugis, hingga Melayu. Koalisi inilah yang sering dianggap sejarawan modern sebagai salah satu persekutuan anti-hegemoni terbesar di Jawa abad ke-17.

Sejarah mencatat, pada akhir 1675, pasukan Trunajaya–Galesong mulai bergerak dari Demung, markas pesisir timur Madura. Gresik, Pasuruan, Pajarakan, Gerongan dibakar habis. Daghregister VOC Januari 1676 menulis: “Surabaya porak-poranda, penduduk lari massal, jalur niaga utara Jawa lumpuh.” Serangan ini melumpuhkan ekonomi Mataram, memaksa pusat kekuasaan bergulat menahan gempuran di banyak front.

Juni 1677 menjadi momen klimaks. Pasukan koalisi sekitar 2.100 orang, 150 perahu perang, menyerbu Plered—ibu kota Mataram. Amangkurat I terpaksa melarikan diri ke barat, diiringi Pangeran Adipati Anom. Menurut Babad, raja tua wafat di Tegal Arum dalam pelarian menuju Batavia, lalu dimakamkan di Tegal Wangi. Runtuhnya Plered tak hanya merubuhkan tembok istana, tetapi meruntuhkan marwah dinasti Panembahan Senapati yang selama puluhan tahun digdaya.

Namun, bara perlawanan terancam padam dari dalam. Karaeng Galesong merasa dianaktirikan, lalu mendirikan basis sendiri di Kakaper (1678). Ironi menimpa koalisi: VOC bersama sekutu Bugis menggempur Kakaper pada Oktober 1679. Galesong melarikan diri, tetapi wafat pada November 1679—dalam beberapa versi disebut karena sakit, meski ada pula yang menduga pembunuhan politik.

Trunajaya, yang bertahan di Pegunungan Kediri, dikepung pasukan gabungan Mataram–VOC. Pada 25 Desember 1679, ia ditangkap. Eksekusi pada 2 Januari 1680 di Payak, disaksikan langsung Amangkurat II, merupakan ritual simbolik: raja baru menegaskan kembalinya legitimasi, meski ironisnya, bergantung pada bayonet VOC. Inilah yang dicatat penulis sebagai “kontra narasi kemerdekaan”—raja Jawa yang terpaksa menukar kedaulatan dengan stabilitas, membuka gerbang bagi cengkeraman kolonial.

Dalam catatan Belanda, Trunajaya dicap “bandiet.” Namun dalam memori lisan Madura dan Gowa, Trunajaya tetap “Kiai”—pahlawan yang menolak tunduk pada ketidakadilan. Pemberontakan ini menandai babak baru: lahirnya solidaritas lintas etnis melawan penghisapan pusat kuasa feodal dan kompeni. Api yang membakar Plered adalah api yang membakar sekat raja-raja, menyingkap bahwa dalam kebisuan rakyat, dendam dan iman kerap menyalakan sejarah.

Perolehan Medali Porprov Jatim IX 2025

Update: -

No Kota / Kabupaten Emas Perak Perunggu Poin
Total - - - -

Topik

Serba Serbi mataram raden trunajaya karaeng galesong demung sejarah jawa



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana

--- Iklan Sponsor ---