JATIMTIMES - Di lembah sunyi selatan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tersembunyi di balik pepohonan yang lebat, ada pesarean Banyusumurup.
Makam ini menyimpan kenangan kelam dari sejarah Kesultanan Mataram. Tempat yang seharusnya menjadi simbol ketenangan dan kedamaian malah menjadi monumen kekejaman dan pembalasan dendam yang mencerminkan sisi tergelap dari kekuasaan Mataram.
Baca Juga : Viral Maskawin Sapi di Ponorogo, Ini Menurut Hukum Islam
Pesarean ini menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi mereka yang dianggap telah berdosa besar atau berkhianat terhadap kerajaan.
Tragedi di Kartasura: Pembantaian Keluarga Keraton
Ilustrasi yang dibuat oleh J.H. Maronier dalam bukunya "Pictures of the Tropics" menggambarkan sebuah peristiwa tragis di istana Mataram Kartasura pada awal abad ke-18. Susuhunan Amangkurat III, yang juga dikenal sebagai Amangkurat Mas, menyaksikan eksekusi brutal terhadap permaisurinya, Raden Ayu Lembah, dan kekasih gelapnya, Raden Sukro.
Raden Ayu Lembah adalah putri Pangeran Puger, yang kelak dikenal sebagai Sunan Pakubuwono I. Dia dibunuh oleh saudaranya sendiri dengan seutas kain jarik yang melilit lehernya. Bersama dengan para embannya, Lembah dilemparkan tanpa busana ke kandang harimau di kaputren istana, untuk menjadi santapan harimau-harimau Jawa. Gambaran ini menunjukkan wajah bengis Amangkurat III, yang tampak puas dengan keputusannya itu.
Namun, Babad Tanah Jawi memberikan versi yang lebih penuh haru. Ayahnya sendiri, Pangeran Puger, memerintahkan pembunuhan tersebut setelah mengetahui bahwa putrinya telah berselingkuh dengan Raden Sukro. Dalam kisah ini, Amangkurat III, yang saat itu masih menjadi Adipati Anom (putra mahkota), mengadu kepada Puger bahwa istrinya telah lari dan berselingkuh.
Puger yang marah kemudian memerintahkan eksekusi tersebut. Raden Ayu Lembah akhirnya menerima kematiannya dengan tenang setelah persiapan yang penuh doa dan air mata.
Setelah kematiannya, tubuh Raden Ayu Lembah dibawa dan dikuburkan di pesarean Banyusumurup, tempat yang tidak pernah dihormati oleh para bangsawan Mataram dan penerusnya di Yogyakarta dan Surakarta.
Banyusumurup: Pemakaman Khusus Para "Pendosa" Mataram
Pesarean Banyusumurup tidak pernah tercatat secara resmi kapan mulai dibangun atau digunakan sebagai tempat pemakaman. Berbeda dengan pemakaman raja-raja di Imogiri dan Giriloyo yang memiliki sejarah pembangunannya sendiri. Babad Alit mencatat bahwa "semua yang dimakamkan di sana adalah orang-orang yang telah berbuat dosa terhadap raja" (R. Prawira Winarsa dan Raden Ngabei Jayeng Pranata, 1921: 34). Ini menjadikan Banyusumurup sebagai pemakaman khusus atau pesarean mirunggan bagi mereka yang dianggap pembangkang atau pengkhianat oleh kerajaan.
Kisah Tragis Para Pemberontak Mataram
De Graaf dalam "Puncak Kekuasaan Mataram" mencatat kisah Raden Aryo Wirokusumo, seorang anggota keluarga besar Mondorakan, yang akhirnya dimakamkan di Banyusumurup. Meskipun keluarga Mondorakan memiliki jasa besar bagi Mataram, Raden Aryo Wirokusumo dan beberapa anggota keluarga lainnya dicurigai terlibat dalam pemberontakan dan akhirnya dihukum mati oleh Sultan Agung.
Kasus yang paling mencolok adalah pembantaian keluarga Pangeran Pekik oleh Susuhunan Amangkurat Agung. Pangeran Pekik, yang merupakan mertua Susuhunan dan kakek dari Amangkurat II, dihukum mati bersama keluarganya karena dicurigai memimpin komplotan pembunuhan terhadap Susuhunan. Lebih dari 60 orang dari keluarga Pekik terbunuh dan jasad mereka dikirim ke Banyusumurup.
Pembantaian ini mencerminkan paranoia Amangkurat Agung yang terus memburu siapa saja yang dianggap berpotensi mengancam kekuasaannya. Bahkan, pada akhir 1669, paman Susuhunan sendiri, Pangeran Silarong, dibunuh karena dianggap mencoba merebut kekuasaan. Jasadnya pun dikuburkan di Banyusumurup.
Pemberontakan yang Tak Pernah Padam
Baca Juga : Cara Mengetahui Data Pribadi Digunakan untuk Pinjol atau Tidak
Setelah keraton Plered jatuh ke tangan aliansi Trunajaya-keluarga Kajoran pada 1677, perlawanan terhadap Amangkurat II terus berlanjut. Orang-orang Kajoran, yang dipimpin oleh Raden Kartonadi dan Raden Kartonegoro, terus melakukan perlawanan hingga mereka akhirnya terbunuh pada 1683. Jasad mereka, bersama dengan para pemimpin pemberontak lainnya, dimakamkan di Banyusumurup.
Keberadaan makam ini menandai akhir dari mereka yang dianggap sebagai "musuh" kerajaan. Juru kunci Banyusumurup bahkan tercatat berhubungan dengan Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa, mempertegas tempat ini sebagai simbol pembangkangan terhadap kekuasaan.
Upaya Pemulihan Nama Baik
Namun, sejarah tidak selalu berlaku kejam. Pada masa kekuasaan Sultan Hamengkubuwono II, beberapa pejabat tinggi keraton yang dibunuh dan dikuburkan di Banyusumurup akhirnya dipindahkan dan dipulihkan nama baiknya. Raden Adipati Danurejo II dan ayahnya, Raden Tumenggung Danukusumo I, keduanya dipulihkan dan jasad mereka dipindahkan dari Banyusumurup ke pemakaman keluarga di Melangi.
Yang paling mencolok adalah kisah Raden Ronggo Prawirodirdjo III, bupati Wedono Madiun, yang memberontak melawan Sultan Hamengkubuwono II. Setelah terbunuh dalam pertempuran, jasadnya dipertontonkan di muka umum sebelum dikuburkan di Banyusumurup.
Namun, pada tahun 1957, jasad Raden Ronggo dipindahkan oleh Sultan Hamengkubuwono IX dari Banyusumurup ke Gunung Bancak, menyatukannya kembali dengan istrinya yang tercinta, Gusti Kanjeng Ratu Maduretno.
Banyusumurup: Monumen Pembalasan dan Kekejaman
Banyusumurup tidak hanya menjadi tempat bagi mereka yang dianggap telah berkhianat atau berdosa terhadap kerajaan. Tempat ini juga mencerminkan kekejaman penguasa Mataram dan penerusnya, terutama Kesultanan Yogyakarta, terhadap mereka yang tidak diinginkan.
Di tengah keindahan alamnya, Banyusumurup menyimpan cerita-cerita tragis tentang bagaimana kekuasaan bisa menjadi tiran terhadap siapa saja yang dianggap sebagai ancaman. Meskipun demikian, tempat ini juga menjadi saksi bagaimana beberapa dari mereka yang dikuburkan di sana akhirnya mendapatkan pemulihan nama baik setelah kematian mereka.
Cahaya di Balik Kegelapan
Nama Banyusumurup yang berarti "air yang bercahaya" tampaknya ironis jika dibandingkan dengan sejarah kelamnya. Namun, di balik semua kegelapan dan kekejaman yang terjadi, terdapat upaya untuk mengembalikan kehormatan dan keadilan bagi mereka yang dikuburkan di sana. Banyusumurup menjadi simbol bagaimana keadilan pada akhirnya bisa ditegakkan, meskipun setelah melalui jalan yang panjang dan penuh penderitaan.
Bagi mereka yang ingin memahami sisi gelap dari sejarah Mataram, Pasareyan Banyusumurup menawarkan cerita yang tak tertandingi. Ini adalah tempat di mana kisah cinta yang terlarang, pemberontakan, dan pengkhianatan semuanya bermuara, memberikan kita pelajaran tentang kekuatan, keadilan, dan kemanusiaan.