free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Penguasa Kabupaten Srengat: Dari Era Nila Suwarna hingga Penghapusan Tahun 1834

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

05 - Jul - 2024, 21:25

Placeholder
Makam Wedana pertama Srengat Ndoro Tejo di kawasan Gunung Pegat, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar.(Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

 JATIMTIMES - Kabupaten Srengat, yang terletak di Jawa Timur, memiliki sejarah panjang yang kaya dengan berbagai peristiwa penting dan tokoh-tokoh berpengaruh. Dari masa transisi Majapahit ke Demak hingga periode kolonial Belanda, Srengat telah menjadi saksi berbagai dinamika politik, sosial, dan budaya. 

Artikel ini akan menelusuri sejarah Kabupaten Srengat dari tahun 1540 hingga penghapusannya pada tahun 1834, melalui tokoh-tokoh bupatinya dan peristiwa-peristiwa signifikan yang terjadi selama periode tersebut.

Awal Mula: Transisi dari Majapahit ke Demak

Baca Juga : Fakta dan Mitos Pantangan Malam Satu Suro

Pada awal abad ke-16, Jawa Timur sedang berada dalam masa transisi dari era Kerajaan Majapahit ke Kesultanan Demak. Pada periode ini, Adipati Nila Suwarna (juga dikenal sebagai Adipati Nilosuwarno) memimpin Kabupaten Srengat. Nila Suwarna dikenal sebagai seorang penguasa Hindu yang berusaha mempertahankan kekuasaannya di tengah tekanan dari kerajaan-kerajaan Islam yang berkembang di sekitarnya.

Arya Balitar, penguasa Kadipaten Blitar, dan Ki Ageng Sengguruh, pemimpin Kadipaten Sengguruh, adalah putra dari Raden Kusen Adipati Terung, yang merupakan putra dari Arya Damar, penguasa Palembang di bawah naungan Kerajaan Majapahit. Keduanya dikenal karena perlawanan heroik mereka terhadap Nila Suwarna.

Konflik ini mencapai puncaknya ketika pasukan Nila Suwarna menyerang mereka di Sungai Brantas, yang berakhir dengan kematian tragis Arya Balitar dan Ki Ageng Sengguruh. Kejadian ini menjadi titik balik penting dalam sejarah Blitar dan Srengat, menggambarkan ketegangan antara tradisi Hindu-Buddha dan pengaruh Islam di Jawa Timur.

Setelah mengalahkan Arya Balitar dan Ki Ageng Sengguruh, Nila Suwarna mengalihkan fokusnya untuk memperkuat dan mengembangkan wilayah Srengat dan menjadikan Blitar sebagai bagian dari wilayahnya. Meskipun tantangan dari Kesultanan Demak terus berlanjut, Srengat berhasil mempertahankan posisinya sebagai pusat kekuasaan regional. Namun, pengaruh Demak yang terus meningkat akhirnya memaksa Nila Suwarna untuk beradaptasi dengan perubahan politik dan religius yang terjadi.

Srengat dan Ekspansi Mataram: Dari Kediri ke Mataram Islam di Bawah Panembahan Senopati

Pada akhir abad ke-16, ketika Panembahan Senopati memulai ekspansinya untuk memperluas kekuasaan Mataram Islam, wilayah Jawa Timur menjadi sasaran utama. Kediri, yang sebelumnya bagian dari kekuasaan Majapahit, memiliki posisi strategis dan nilai ekonomis yang tinggi. Kediri juga dikenal sebagai pusat kekuatan regional, membuatnya menjadi target signifikan dalam upaya Panembahan Senopati untuk menguasai Jawa.

Pada tahun 1586, Panembahan Senopati mengarahkan kekuatannya ke timur dan berhasil menaklukkan Madiun pada tahun 1590. Setahun kemudian, pada 1591, Kediri juga jatuh ke tangan Mataram. 

Dengan jatuhnya Kediri, Srengat, yang dipimpin oleh Adipati Nila Suwarna dan sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kediri, juga ikut dalam wilayah kekuasaan Mataram Islam. Mulai tahun 1591, Srengat menjadi bagian dari Mataram dan Nila Suwarna harus tunduk kepada kekuasaan baru yang dipimpin oleh Panembahan Senopati.

Nila Suwarna tetap memerintah sebagai adipati Srengat hingga tahun 1600, tahun di mana Panembahan Senopati wafat. Kepemimpinan Nila Suwarna berakhir, tetapi warisannya sebagai penguasa Srengat selama masa transisi dari Kediri ke Mataram tetap dikenang dalam sejarah.

Setelah penaklukan Kediri, seorang tokoh penting muncul dalam struktur kekuasaan Mataram, yaitu Senapati Kediri. Dia tidak hanya diakui sebagai penguasa lokal tetapi juga sebagai anak angkat Panembahan Senopati. Sebagai tanda penghargaan atas jasanya, Senapati Kediri dianugerahi tanah seluas 1.500 petak. Menurut Serat Kandha, senapati Kediri, juga memainkan peran penting dalam menumpas pemberontakan dan mengalahkan Ratu Jalu, yang semakin memperkuat posisi Mataram di Kediri.

Penaklukan Kediri dan integrasi Srengat ke dalam wilayah Mataram Islam tidak hanya mengubah peta politik Jawa Timur tetapi juga memperkuat pengaruh Mataram sebagai kekuatan dominan di pulau Jawa selama beberapa dekade berikutnya.

Masa Pemerintahan Mas Tumenggung Brotowijoyo (1746-1755)

Memasuki pertengahan abad ke-18, Srengat mengalami perubahan kepemimpinan dengan naiknya Mas Tumenggung Brotowijoyo sebagai bupati. Pada masa ini, wilayah Jawa tengah dilanda pergolakan politik akibat konflik internal dan eksternal. Brotowijoyo memimpin Srengat di bawah tekanan Belanda yang semakin intensif. Meskipun begitu, ia berhasil menjaga stabilitas di Srengat dan membangun hubungan dengan pihak-pihak yang berpengaruh di sekitarnya.

Pasca Perjanjian Giyanti: Pemerintahan KPH Rekso Kusumo (1755-1788)

Perjanjian Giyanti tahun 1755, yang membagi Mataram menjadi dua kerajaan besar, membawa dampak signifikan bagi wilayah Srengat. Setelah perjanjian ini, KPH Rekso Kusumo menjadi bupati Srengat. Sebagai salah satu putra Sultan Hamengkubuwana I, Rekso Kusumo memainkan peran penting dalam memperkuat hubungan antara Srengat dan Yogyakarta. Di bawah kepemimpinannya, Srengat mengalami periode pembangunan dan konsolidasi kekuasaan yang signifikan.

Pergantian Kepemimpinan dan Pengaruh Belanda

Pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19, Srengat dipimpin oleh KPH Joyodiningrat dan KPH Mertodiningrat II. Selama masa pemerintahan mereka, pengaruh Belanda di Jawa semakin menguat. Pada saat itu, Belanda mulai mengatur ulang administrasi dan pengawasan di wilayah tersebut, termasuk menetapkan kolektor pajak dan mengelola hasil bumi.

Mertodiningrat II adalah salah satu bupati Srengat yang menonjol karena perlawanan kerasnya terhadap Belanda. Ketika Belanda berusaha untuk memperketat kontrol mereka melalui Perjanjian Sepreh di Ngawi pada tanggal 3-4 Juli tahun 1830, Mertodiningrat II menolak hadir, menunjukkan penolakannya terhadap pengaruh Belanda. Meskipun akhirnya ia dipecat dari jabatannya, keberaniannya dalam menghadapi Belanda menjadikannya tokoh yang dihormati dalam sejarah Srengat.

Pada tahun 1830, setelah kekalahan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa, terjadi sebuah peristiwa penting di Desa Sepreh, Kabupaten Ngawi. Perjanjian Sepreh, demikian namanya, menjadi tonggak penting dalam sejarah Indonesia karena mengubah tatanan politik di wilayah Mancanegara Wetan, yang meliputi sebagian besar wilayah timur Mataraman.

Baca Juga : Benarkah Tidak Boleh Menikah di Bulan Muharram? Cek Faktanya

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang saat itu dipimpin oleh Raad Van Indie, Mr. Pieter Markus, merespons kekalahan Diponegoro dengan menegaskan supremasi mereka atas daerah-daerah yang sebelumnya tunduk kepada Kasunanan Surakarta atau Kasultanan Yogyakarta. Dalam pertemuan di Sepreh, para bupati dari residensi Kediri dan residensi Madiun dipanggil untuk menandatangani perjanjian yang menyerahkan otonomi mereka kepada pemerintah kolonial di Batavia.

Perjanjian tersebut menandai akhir dari kekuasaan langsung Sunan Surakarta Sultan Yogyakarta di wilayah tersebut dan memaksa para bupati untuk langsung tunduk kepada Belanda. Meskipun secara administratif berada di bawah Gubernemen Belanda, budaya dan bahasa di wilayah tersebut tetap dijaga dan dipelihara, menunjukkan keberlanjutan kebudayaan Mataraman Bang Wetan meski terpisah secara politik dari pusat kerajaan Mataram Islam di Kuthanegara.

Perjanjian Sepreh tahun 1830 tidak hanya mencerminkan perubahan politik signifikan di Jawa Timur, tetapi juga mengilustrasikan dinamika kompleks antara kekuasaan kolonial dan kekuasaan tradisional di masa itu, serta dampaknya terhadap struktur politik dan sosial di wilayah tersebut.

 Penghapusan Srengat dan Pembentukan Kabupaten Blitar

Setelah Perang Diponegoro (1825-1830), Belanda mengambil langkah drastis untuk mengamankan kekuasaannya di Jawa Timur. Kabupaten Srengat, yang saat itu dianggap sebagai pusat potensi perlawanan, dihapus dan statusnya diubah menjadi distrik dengan pejabat tertinggi seorang wedana. Ndoro Tejo menjadi Wedana Srengat pertama, yang bertugas mengawasi wilayah tersebut di bawah kendali Residen Kediri.

Pada saat yang sama, Belanda membentuk Kabupaten Blitar sebagai bagian dari upaya mereka untuk mengonsolidasi kekuasaan. Blitar, yang sebelumnya berada dalam bayang-bayang Srengat, mulai bangkit kembali dan menjadi pusat pemerintahan yang baru di wilayah tersebut. Tokoh-tokoh penting seperti Raden Ario Adi Kusumo dan KRT Ario Adi Negoro memainkan peran penting dalam kebangkitan Blitar sebagai kabupaten penuh.

Tokoh Populer Srengat: R.M.T. Djajengkoesoemo

Di luar nama-nama bupati Srengat yang sudah kita bahas, ada satu nama populer lain yang patut dikenang: Raden Mas Tumenggung Djajengkoesoemo. Ia menggantikan Ndoro Tejo sebagai Wedana Srengat pada tahun 1887 dan menjadi sosok yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah Srengat dan Tulungagung.

R.M.T. Djajengkoesoemo berasal dari garis keturunan bangsawan yang terpandang. Ia adalah putra dari R.M.T. Djajadiningrat, Bupati Ngrowo kelima, dan cucu dari Kiai Tondowidjojo, Bupati Ngrowo kedua. Keluarga ini memiliki hubungan dekat dengan tokoh penting lainnya, termasuk Raden Ronggo Prawirodirdjo I, Bupati Wedana Madiun keempatbelas, yang dikenal sebagai panglima perang Giyanti dan tangan kanan Sultan Hamengkubuwono I, pendiri Kesultanan Yogyakarta.

Hubungan keluarganya dengan Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta menempatkan RMT Djajengkoesoemo dalam jaringan kekuasaan yang luas. Semangat kepahlawanannya sudah terlihat sejak masa kecil, ketika ia dengan gagah berani mengalahkan anak-anak Belanda hanya dengan satu tendangan. Meskipun tindakan ini sering membuat ayahnya geram, itu adalah cerminan dari keberanian dan tekadnya yang kuat.

Karirnya dimulai pada tahun 1844 sebagai Wedono di Kadipaten Ngrowo. Setelah itu, ia berpindah ke Srengat dan kemudian ke Nganjuk, di mana ia semakin dikenal sebagai pemimpin yang efektif dan peduli terhadap rakyatnya. Djajengkoesoemo adalah seorang ahli dalam pembangunan. Ia berhasil menyelesaikan proyek besar seperti Bendungan Pakel, membangun rumah Kawedanan di Kalidawir, dan proyek lainnya di Nganjuk dengan biaya sendiri, termasuk Bendungan Kali Lo.

Sifatnya yang keras namun berhati hangat membuatnya sangat dihormati oleh masyarakat. Salah satu kisahnya yang terkenal adalah ketika ia berhenti untuk melihat pembangunan jembatan Ngujang dan dengan cepat terlibat dalam proyek tersebut. Kepemimpinannya di Kadipaten Ngrowo menjadi salah satu yang terbaik pada masanya.

Pada tahun 1880, Djajengkoesoemo berperan penting dalam pengembangan hutan Demuk, sebuah proyek yang didorong oleh Belanda. Pada tahun 1894, ia berhasil mendapatkan izin untuk membabad hutan tersebut, membagi wilayahnya menjadi beberapa bagian untuk dikelola. Meskipun ia meninggal beberapa tahun kemudian, tanah tersebut tetap menjadi miliknya dan keturunannya. Djajengkoesoemo dimakamkan di Desa Demuk, Kecamatan Pucanglaban, di mana makamnya kini dianggap keramat. Warisan kepemimpinan dan kontribusinya masih dihormati hingga hari ini, dan aset serta tanggung jawabnya diteruskan kepada putranya, R.M. Margono Purbokoesoemo

Dampak Penghapusan Srengat

Penghapusan Kabupaten Srengat menandai akhir dari era panjang pengaruh dan kekuasaan yang telah dibangun selama berabad-abad. Meskipun Srengat kehilangan status kabupatennya, warisan sejarah dan budayanya tetap hidup dalam bentuk peninggalan arkeologis dan cerita-cerita lokal. Candi-candi dan situs-situs kuno di Srengat dan sekitarnya masih menjadi saksi bisu dari masa lalu yang gemilang.

Sejarah Kabupaten Srengat dari tahun 1500 hingga penghapusannya pada tahun 1830 adalah cermin dari dinamika politik dan sosial yang kompleks di Jawa Timur. Dari masa transisi Majapahit ke Demak, konflik dengan kerajaan-kerajaan Muslim, hingga pengaruh kolonial Belanda, Srengat telah melalui banyak perubahan dan tantangan. Tokoh-tokoh seperti Adipati Nila Suwarna, Mas Tumenggung Brotowijoyo, KPH Rekso Kusumo, dan Mertodiningrat II, semuanya memainkan peran penting dalam membentuk sejarah Srengat.

Meskipun akhirnya Srengat kehilangan statusnya sebagai kabupaten, jejaknya tetap terlihat dalam sejarah dan budaya Jawa Timur. Artikel ini bukan hanya tentang penurunan dan penghapusan Srengat, tetapi juga tentang bagaimana wilayah ini terus mempertahankan warisannya dan berkontribusi pada sejarah yang lebih luas dari daerah tersebut.

Lampiran: Nama-nama Bupati Srengat (1540-1834)


Topik

Serba Serbi Sejarah Blitar Blitar terbentuknya Blitar



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy