JATIMTIMES - Merespons kontroversi seputar klaim bahwa makam Tiga Putri Mataram adalah makam seorang habib keturunan Yaman, arkeolog Gus Dian segera turun tangan untuk melakukan penelitian mendalam. Pada Minggu 30 Juni 2024, Gus Dian tiba di kompleks makam Tiloro di Kelurahan Blitar, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar, untuk memeriksa lebih dekat fragmen nisan dan batuan yang membentuk makam tersebut.
Menguak Sejarah Lewat Arkeologi
Baca Juga : Pemdes Padas Salurkan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa Tahap 2
Makam Tiga Putri Mataram, yang menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi tiga putri dari Kerajaan Mataram pada abad ke-17 — Roro Rayung, Roro Wandansari, dan Roro Bondan Palupi — selama ini dihormati oleh masyarakat Blitar. Penamaan jalan-jalan di Kelurahan Blitar dengan nama-nama ketiga putri ini menjadi bukti betapa besar penghormatan masyarakat setempat terhadap warisan sejarah mereka.
Namun, klaim baru-baru ini oleh sekelompok orang yang menyatakan bahwa makam tersebut adalah milik seorang habib keturunan Yaman telah menimbulkan polemik dan keresahan.
Di tengah kehebohan ini, Gus Dian, seorang arkeolog ternama, memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam asal-usul makam tersebut. Dalam penelitiannya, Gus Dian menelusuri bentuk fragmen nisan dan batuan makam serta menghubungkan temuan-temuannya dengan pengetahuan sejarah yang lebih luas.
"Saya telah menelusuri bentuk fragmen makam ini. Dan dari aspek arkeografisnya, kita bisa melihat bahwa nisan ini jelas berasal dari era Mataram Islam, sekitar abad ke-16 hingga ke-17," jelas Gus Dian. Ia menunjukkan bahwa bentuk dan ukuran nisan serta jenis batuan yang digunakan sangat khas dari periode tersebut.
Gus Dian lebih lanjut menjelaskan bahwa batuan yang digunakan, yang ia sebut sebagai batu andesit setengah tofu, memiliki karakteristik unik. "Batuan ini adalah batu putih andesit yang bercampur dengan batu putih dari India Selatan, yang kemudian dikirim ke Indonesia. Hubungan antara Indonesia dan kerajaan-kerajaan di India telah terjalin sejak zaman Hindu hingga sekarang," tambahnya.
Menurut Gus Dian, batu tofu ini menunjukkan adanya pengaruh internasional pada masa itu, dan penggunaan batu tersebut dalam makam ini menegaskan hubungan erat antara Kerajaan Mataram dengan wilayah India.
Melalui analisisnya, Gus Dian juga mengungkapkan bahwa bentuk nisan-nisan tersebut tidak sepenuhnya batu andesit hitam legam, melainkan campuran antara batu tofu dan andesit, yang memperkuat hipotesis bahwa makam ini berasal dari era Mataram Islam.
"Kita bisa melihat bahwa ini bukan batu andesit murni hitam legam, melainkan batu tofu setengah andesit. Ini memberi kita petunjuk penting tentang era dan pengaruh budaya yang ada pada makam ini," katanya.
Mataram Islam dan Dinasti Giri Kedaton
Gus Dian juga membuka kemungkinan adanya hubungan antara makam ini dengan Dinasti Giri Kedaton. "Kita belum bisa memastikan apakah makam ini sepenuhnya berasal dari Mataram atau ada campuran dengan Dinasti Giri Kedaton. Namun, kemungkinan besar ini terkait dengan pemerintahan Sultan Agung dari Mataram atau bisa juga dengan Giri Kedaton ke-2 atau ke-3," jelasnya.
Pemerintahan Sultan Agung dikenal sebagai masa keemasan Mataram Islam. Saat itu pengaruh Islam sangat kuat. Gus Dian mencatat bahwa Sultan Agung bahkan diakui sebagai seorang sultan oleh kerajaan Turki dan menerima utusan dari Suriah. "Ini menegaskan betapa kuatnya hubungan Mataram dengan dunia Islam pada masa itu," tambahnya.
Kehormatan dan Kedudukan Sosial di Makam Tiga Putri
Baca Juga : PPDB SD Jalur Zonasi Dibuka Besok, Para Ortu Perhatikan Hal-Hal Penting Ini
Meneliti lebih jauh, Gus Dian menilai bahwa makam ini menunjukkan status sosial yang tinggi dari individu yang dimakamkan di sana. "Nisan-nisan ini menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari keluarga kerajaan, keluarga dalam istana, atau setono. Dari detail ornamen di pinggiran nisan, kita bisa melihat bahwa mereka memiliki pangkat dan jabatan tertentu," ungkapnya.
Gus Dian mencatat bahwa ornamen yang menyerupai sungut keris pada pinggiran nisan menandakan pangkat atau jabatan tinggi, mungkin sebagai putri dari pangeran atau bendoro. "Meskipun ada satu makam yang mungkin milik abdi dalem, ia juga tampaknya memiliki jabatan tertentu, terlihat dari ukiran pada nisannya," tambahnya.
Melalui penelitiannya, Gus Dian berharap dapat memberikan klarifikasi atas klaim yang telah memicu keresahan di kalangan masyarakat. "Penemuan ini mengarahkan kita untuk lebih memahami dan menghormati sejarah asli dari makam ini. Ini adalah bagian penting dari identitas dan warisan budaya Blitar yang harus kita jaga dan lestarikan," katanya dengan tegas.
Gus Dian juga menyerukan kepada Pemerintah Kota Blitar dan masyarakat untuk lebih aktif dalam merawat dan melindungi situs-situs bersejarah seperti makam Tiga Putri Mataram. "Kita harus menjaga dan merawat warisan budaya kita dengan sepenuh hati. Ini bukan hanya tentang masa lalu kita, tetapi juga tentang masa depan kita dan identitas kita sebagai bangsa," tegasnya.
Penelitian Gus Dian di makam Tiga Putri Mataram menjadi langkah penting dalam melindungi dan melestarikan situs-situs bersejarah di Blitar. Dengan dukungan dari masyarakat dan pemerintah, diharapkan kontroversi ini dapat diselesaikan dengan baik, dan warisan budaya Blitar dapat terus dijaga untuk generasi mendatang.
Gerakan Jaga Punden
Lebih lanjut, Gus Dian mengajukan Gerakan Jaga Punden sebagai panggilan untuk bersama-sama melestarikan situs-situs bersejarah. "Gerakan ini adalah panggilan untuk setiap individu, komunitas, dan pemerintah untuk bergabung dalam upaya pelestarian warisan budaya kita, khususnya makam-makam leluhur yang ada di desa-desa" katanya. Ia menyarankan komitmen untuk melindungi dan merawat situs-situs bersejarah, menolak klaim palsu yang dapat merusak keaslian mereka, serta mengajak masyarakat aktif terlibat dalam proses ini.
Gus Dian juga menggarisbawahi perlunya dukungan penuh dari pemerintah dalam bentuk regulasi yang mendukung upaya pelestarian dan memberikan perlindungan hukum bagi situs-situs bersejarah. "Saya percaya bahwa dengan komitmen dan kerjasama yang kuat, kita dapat memastikan bahwa warisan budaya kita tetap hidup dan menjadi sumber kebanggaan bagi generasi mendatang," tambahnya.
Dengan seruannya ini, Gus Dian berharap agar setiap individu dan komunitas di Blitar, serta di seluruh Indonesia, terinspirasi untuk mengambil peran aktif dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya dan sejarah bangsa.