JATIMTIMES - Bulan Muharam merupakan bulan yang dimaknai oleh umat muslim sebagai Tahun Baru Islam atau Tahun Baru Hijriah. Tahun 2024 atau 1446 H ini, 1 Muharam jatuh pada Minggu, 7 Juli 2024.
Setiap 1 Muharam dalam kalender Hijriah, masyarakat Jawa mengenalnya sebagai Malam Satu Suro. Pada malam ini, berbagai tradisi dan ritual dilakukan oleh masyarakat Jawa, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, bagi masyarakat Jawa, Malam Satu Suro bukan sekadar menyambut tahun baru. Lalu, apa sebenarnya arti dari Satu Suro?
Baca Juga : Budayawan dan Dosen UNU: Makam Tiga Putri Mataram di Blitar Tidak Berkaitan dengan Habib Ahmad Assegaf
Suro adalah bulan pertama dalam kalender Jawa yang bertepatan dengan kalender Hijriah. Sejarahnya bermula ketika Sultan Agung ingin rakyatnya bersatu untuk melawan Belanda dan menyatukan Pulau Jawa. Ia menyatukan kelompok santri dan abangan setiap Jumat Legi melalui pengajian, ziarah kubur, dan haul ke makam Ngampel dan Giri. Itulah sebabnya 1 Muharam atau Suro yang dimulai pada hari Jumat Legi dianggap sakral oleh masyarakat Jawa.
Malam Satu Suro dianggap memiliki daya spiritual yang tinggi dan penuh makna bagi masyarakat Jawa. Bagi sebagian masyarakat, bulan Suro dikenal dengan asumsi magis dan pantangan-pantangan yang jauh dari nalar. Namun, menurut dosen sejarah dan kebudayaan Jawa FIB UI Prapto Yuwono, Malam Satu Suro adalah malam prihatin dan kontemplasi yang disucikan, bukan malam kesialan.
"Kita lihat misalnya peringatan Satu Suro, orang akan bertapa, menyendiri, berdoa di tempat-tempat yang sunyi. Jadi, tidak boleh ada keriangan disitu," jelas Prapto, dilansir YouTube Trans7official.
Sehingga, meskipun ada stigma bahwa 1 Suro identik dengan nasib buruk, bagi masyarakat Jawa yang memahami tradisi ini, Malam Satu Suro justru merupakan malam yang sakral dan penuh spiritualitas. Perayaan ini menjadi bentuk penghormatan dan koneksi dengan leluhur, serta upaya untuk mendapatkan perlindungan dan keselamatan.
"Orang Jawa tadi ketika laku prihatin itu orang yang masih hidup ingin menyampaikan suatu koneksi dengan mereka menunjukkan bahwa kami masih menjalankan ritual itu demi keselamatan agar mereka (leluhur) melindungi," ungkap Prapto.
"Jadi, dunia leluhur kita memang hidupnya kan sudah di alam yang lain. Sehingga alam-alam yang tidak baik pun akan ikut campur disitu," imbuhnya.
Prapto pun menegaskan bahwa stigma sial pada bulan Suro adalah salah kaprah. Justru bagi masyarakat Jawa dengan keyakinan orang Jawa, Malam Satu Suro adalah malam yang sakral dan disucikan.
Baca Juga : Polda Jawa Timur Siapkan Pengamanan untuk Pengesahan Warga Baru PSHT Bulan Depan
"Mungkin anggapan ini bisa terjadi, karena malam satu suro itu bagi masyarakat jawa malam yang penting disucikan untuk kontemplasi. Oleh karena itu tujuannya selalu baik dan kalau tujuan-tujuan baik tadi disalahartikan, bisa saja sering terjadi barangkali ya ada orang sial ada orang celaka dan sebagainya," jelasnya.
Penyebab munculnya stigma buruk pada Satu Suro itu, kata Prapto, berkaitan dengan kesan yang diciptakan oleh para generasi urban. Sebab, selama ini banyak film-film berbau horor dan klenik yang dikaitkan dengan malam satu suro.
"Munculnya stigma ini adalah salah satu cara masyarakat urban memberi kesan tentang 1 suro. Sehingga diciptakanlah suatu kesan 1 Suro, ya mereka menangkapnya begitu," jelasnya.
"Tapi saya kira salah kaprah, jika hanya dilihat dari sisi negatifnya. Satu Suro sangat sakral, disucikan, spiritual. Sehingga jangan malah diartikan orang Jawa itu klenik," pungkas Prapto.