JATIMTIMES - Kota Blitar merayakan ulang tahunnya yang ke-118 pada 1 April 2024. Sebagai sebuah kota yang subur dan penuh sejarah, ulang tahun ini bukan hanya sekadar perayaan biasa, tetapi juga momentum untuk mengenang perjuangan dan pembangunan yang telah membentuk identitasnya saat ini.
Dengan berbagai pencapaian dan peristiwa bersejarah yang telah dilaluinya, Kota Blitar menandai perjalanan panjangnya dengan kebanggaan dan rasa syukur atas warisan yang telah diwariskan oleh para pendahulunya. Sebagai bagian dari sejarah Nusantara yang kaya, ulang tahun Kota Blitar ini tidak hanya memicu perayaan, tetapi juga refleksi atas perjalanan yang telah dilaluinya dan komitmen untuk terus mengukir cerita baru menuju masa depan yang lebih cerah.
Baca Juga : Pemkot Blitar Wajibkan Perusahaan Cairkan THR Minimal H-7 Lebaran
Kota Blitar, yang kini kita kenal sebagai sebuah kota yang subur dan penuh sejarah, memiliki akar yang dalam dalam perjalanan panjangnya. Pada awalnya, Kota Blitar merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Blitar yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda pada 31 Desember 1830. Namun, masa itu tidaklah mudah. Penjajahan di Blitar membawa kesedihan yang mendalam, memakan banyak korban baik dalam hal nyawa maupun harta benda.
Meskipun terkena imbas penjajahan yang menyedihkan, rakyat Blitar tidak tinggal diam. Mereka bersatu padu dan bahu membahu, melakukan berbagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Belanda. Semangat perlawanan itu mencuat dalam berbagai bentuk perlawanan yang dilakukan dengan penuh keberanian dan keteguhan hati.
Dalam usahanya untuk meredam perlawanan rakyat Blitar, pemerintah kolonial Belanda mengambil langkah yang berani. Pada tahun 1906, mereka menerbitkan Staatsblad van Nederlandche Indie Tahun 1906 Nomor 150 tanggal 1 April 1906.
Isi dari dokumen ini menetapkan pembentukan Gemeente Blitar. Momentum penting inilah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya Kota Blitar. Kota Blitar menandai awal perjalanannya dengan seorang tokoh yang memiliki peran kunci: J.H. Boerstra, seorang orang Belanda yang ditunjuk sebagai Wali Kota Blitar pertama. Pada masa itu, jabatan yang diemban oleh Boerstra adalah Asisten Residen Kediri, yang merupakan jabatan yang setara dengan wali kota pada zaman itu.
Pada tahun yang sama, di sepanjang nusantara, beberapa kota lain juga dibentuk. Kota-kota seperti Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Cheribon, Magelang, Semarang, Madioen, Blitar, Malang, Surabaja, dan Pasoeroean lahir dalam sebuah periode yang penuh dengan perubahan dan tantangan.
Dari sekian kota itu, Malang adalah kota yang paling terkait dengan Blitar, baik secara geografis maupun sejarahnya.
Dari catatan singkat yang telah disampaikan diatas, peran J.H. Boerstra sebagai wali kota pertama Kota Blitar menjadi sorotan menarik yang patut ditelusuri lebih lanjut. Ternyata, selain menjabat sebagai wali kota Blitar, Boerstra juga memiliki pengalaman sebagai wali kota di kota lain di era Hindia Belanda, seperti Madiun dan Malang.
Namun, mencari informasi yang lebih mendalam mengenai Boerstra bisa menjadi sebuah tantangan, terutama karena keterbatasan catatan yang tersedia, mungkin disebabkan oleh statusnya sebagai orang Eropa pada zamannya. Meskipun begitu, jejak perjalanan hidup dan kontribusi Boerstra dalam pembangunan berbagai kota di Hindia Belanda tetap menjadi sebuah cerita menarik yang layak untuk digali lebih dalam.
Salah satu kiprah penting J.H. Boerstra sebagai pemimpin pertama Kota Blitar adalah perannya dalam menyediakan pasokan air bersih bagi penduduk kota tersebut. Di tengah kebutuhan mendesak akan pasokan air bersih bagi masyarakatnya, Bugemeester Blitar pada masa itu, J.H. Boerstra, menyadari betapa pentingnya upaya untuk memastikan ketersediaan air yang memadai. Dalam catatan-catatannya, Boerstra mencatat bahwa pemerintah telah berupaya untuk menyediakan akses air minum bagi beberapa kompleks perumahan yang dihuni oleh penduduk Eropa.
Sumber air utama yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah perkebunan Buluroto, yang terletak sekitar 15 kilometer di sebelah Timur Laut Gemeente Blitar. Namun, dengan volume air yang dibutuhkan yang semakin meningkat, serta kebutuhan akan kualitas air yang sesuai, pemerintah berinisiatif untuk menggunakan pompa air.
Pompa air besar didirikan oleh pemerintah dan perusahaan kereta api di daerah sekitar timur Stasiun Kota Blitar, yang kemudian dikenal dengan nama Kampung Dongki. Asal-usul nama "Dongki" diperkirakan berasal dari kata "dokkeren kracht" yang berarti "kekuatan yang mengetuk atau memukul berkali-kali," merujuk pada gerakan tekanan air yang menggerakkan pompa tersebut. Gerakan ini menghasilkan pompa hidram yang mampu memompa air ke permukaan yang lebih tinggi dengan efisien.
Namun, meskipun dahulu menjadi penopang utama pasokan air bersih bagi Kota Blitar, pompa air ini kini tinggal menjadi kenangan. Bangunan maupun fondasi bekasnya telah lenyap, meninggalkan jejak bersejarah yang menggambarkan perjuangan dalam memenuhi kebutuhan vital masyarakat kota. Meski demikian, cerita tentang upaya Boerstra dan pompa air di Kota Blitar tetap menginspirasi, mengingatkan akan pentingnya pemahaman akan akses air bersih bagi kesejahteraan masyarakat.
J.H. Boerstra menyelesaikan masa jabatannya dalam pemerintahan dengan mengemban tanggung jawab sebagai wali kota Malang, sebelum akhirnya lengser dari pemerintahan karena pendudukan Jepang. Periode kepemimpinannya di kota Malang, yang berlangsung dari tahun 1936 hingga 1942, mengisyaratkan peran pentingnya dalam merumuskan identitas visual kota tersebut.
Baca Juga : Mak Rini Tegaskan Kembali Maju di Pilkada Kabupaten Blitar 2024, Siap Rangkul Semua Pihak
Pada tanggal 7 Juni 1937, Boerstra mengeluarkan keputusan penting yang memberikan bentuk lambang resmi bagi Gemeente Malang. Keputusan tersebut, yang diresmikan oleh Gouvernemen Besluit pada tanggal 25 April 1938, memberikan identitas visual yang kuat bagi kota Malang. Lambang itu terdiri dari perisai berwarna biru dengan mahkota kuning emas di bagian atasnya. Di bagian bawah perisai, dua ekor singa kuning emas dengan lidah merah menjulur berdiri di atas pita biru yang bergelombang. Di dalam perisai, terdapat gambar singa kuning emas dan bunga teratai putih dengan lembah perkebunan di latar belakang.
Semboyan "Malang Nominor Sursum Moveor" tertulis di pita yang bergelombang, menegaskan semangat maju dan kebanggaan kota. Namun, setelah kemerdekaan Indonesia, lambang ini dianggap tidak lagi sesuai dan digantikan oleh lambang yang lebih mencerminkan semangat kemerdekaan.
Lambang baru tersebut dibentuk berdasarkan keputusan DPRD Kotapraja Malang pada tanggal 30 Oktober 1951, yang mencabut lambang lama. Keputusan ini kemudian disahkan oleh presiden RI pada tanggal 29 November 1954. Lambang baru kota Malang menampilkan burung Garuda berwarna emas yang membentangkan sayapnya, dengan perisai hijau yang menggambarkan tugu, padi, kapas, harimau, dan bunga teratai.
Di bawah kaki harimau, terdapat pita yang berjuntai dengan semboyan baru, "Malang Namaku Maju Tujuanku", yang mencerminkan semangat maju dan tujuan yang kuat bagi kota Malang dalam menghadapi masa depannya yang baru.
Penting untuk diketahui bahwa Kota Blitar dan Kota Malang, keduanya merupakan kota yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 1 April. Namun, perlu dicatat bahwa Kota Blitar memiliki usia yang lebih tua daripada Kota Malang. Kota Blitar telah berdiri sejak 1 April 1906, sementara Kota Malang baru berdiri delapan tahun kemudian, tepatnya pada 1 April 1914.
Ketika kita membahas perjalanan karir J.H. Boerstra sebagai wali kota, tidak bisa dilewatkan bahwa pengaruhnya tidak hanya terbatas pada Kota Blitar, tetapi juga merambah ke Kota Malang. Dalam sebuah wawancara dengan Pendiri Blitar Heritage, Herry Setyabudi, Jatim TIMES mengungkap hubungan yang erat antara dua kota ini.
Dipaparkan Herry Setyabudi, Boerstra, seorang tokoh Belanda, adalah orang Belanda yang pertama kali menjabat sebagai wali kota di Blitar. Namun, perjalanan karirnya tidak berakhir di sana. Ia kemudian memegang peran serupa di Kota Malang. Menurut Herry, Boerstra membawa konsep-konsep pembangunan yang telah teruji dan matang dari Blitar ke Kota Malang.
Salah satu konsep utama yang dibawa Boerstra ke Malang adalah pembangunan landmark seperti Alun-Alun, yang telah menjadi ciri khas Kota Blitar. Boerstra dengan antusias menerapkan ide-ide ini di Kota Malang, memberikan dasar yang kokoh bagi pembangunan kota yang lebih maju dan terstruktur. Ini menunjukkan bahwa peran Boerstra tidak hanya memengaruhi sejarah Blitar, tetapi juga memberikan dampak yang signifikan dalam pembangunan Kota Malang, menciptakan kisah baru dalam perjalanan kedua kota ini.
“Dia (Boerstra) mengambil konsep-konsep pembangunan yang telah teruji di Kota Blitar dan menerapkannya dengan antusias di Kota Malang. Konsep-konsep yang telah matang di Kota Blitar, seperti pembangunan landmark seperti Alun-Alun, menjadi acuan utama dalam upaya penyempurnaan kota Malang yang berusia lebih muda dari Kota Blitar,” jelas Herry.
Dalam perjalanan panjang sejarah dan pembangunan, kisah Kota Blitar dan Kota Malang menghadirkan jejak yang tak terlupakan. Dari perjuangan pendirian hingga pembangunan yang terus berkembang, kedua kota ini menjadi saksi bisu akan kekuatan dan semangat masyarakatnya dalam menghadapi berbagai tantangan. Dengan mengenang peran penting tokoh seperti J.H. Boerstra, kita diingatkan akan keberanian dan dedikasi dalam membangun masa depan yang lebih baik. Semoga, perayaan ulang tahun yang ke-118 bagi Kota Blitar menjadi momentum untuk terus mengukir cerita baru dan melanjutkan warisan gemilang bagi generasi mendatang.
Dengan semangat yang sama, Kota Malang di usianya yeng ke-110 juga berkomitmen untuk meneruskan perjalanan pembangunan yang dipenuhi dengan harapan dan cita-cita. Dengan demikian, mari kita bersama-sama merayakan pencapaian dan menatap masa depan dengan optimisme, menjadikan setiap langkah sebagai bagian dari perjalanan yang tak terlupakan menuju masa depan yang lebih cerah.