JATIMTIMES- Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa menegaskan kepahlawanan Raden Mas Tumenggung Ario Suryo harus diteladani dan jadi penyemangat untuk proses pembangunan Jawa Timur.
Raden Mas Tumenggung Ario Suryo atau yang lebih dikenal dengan nama Gubernur Suryo, adalah gubernur pertama Jawa Timur yang berasal dari Kabupaten Magetan. Gubernur Suryo menjabat Gubernur Jawa Timur pertama dari tahun 1945 hingga 1947.
Baca Juga : Gubernur Khofifah Resmikan 50 Hunian Sementara Korban Tanah Gerak di Kabupaten Blitar
Ia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Pembela Kemerdekaan seperti yang tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres RI) Nomor 29 pada 17 November tahun 1964.
“Dalam rangkaian HUT Pemprov selalu ada kegiatan ziarah ke makam Gubernur Jawa Timur pertama. Beliau adalah Pahlawan Nasional Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo. Kepahlawanan beliau patut terus diteladani bersama, sebagai penyemangat proses pembangunan Jawa Timur,” kata Khofifah.
HUT Provinsi Jawa Timur diperingati setiap tahun pada 12 Oktober yang juga bertepatan dengan HUT Pemerintah Kabupaten Magetan. Di momentum HUT Jawa Timur, tahun ini Khofifah kembali melaksanakan ziarah ke makam Gubernur Suryo di Kelurahan Kepolorejo, Kabupaten Magetan, Selasa (10/10/2023).
“Maka, bersama-sama kita mensyukuri proses pembangunan yang dilakukan baik di Provinsi Jawa Timur maupun Kabupaten Magetan. Nah, saya berharap kebersamaan HUT antara Pemprov Jawa Timur dan Pemkab Magetan ini akan memberikan sinergitas dan produktifitas lebih signifikan lagi ke depannya,” lanjutnya.
Sementara itu, salah satu keluarga keturunan Gubernur Suryo yang bernama Muries Subiantoro mengatakan, pihaknya sangat berterima kasih kepada Pemprov Jatim terkait upacara ziarah di makam pahlawan Gubernur Suryo.
“Upacara ziarah di makam pahlawan nasional Gubernur Suryo dimulai sejak tahun 2019 sampai sekarang. Jadi sudah terhitung lima kali Gubernur Khofifah mendatangi makam Gubernur Suryo di komplek makam Sasono Mulyo Dusun Sawahan, Kelurahan Kepolorejo,” jelas Muries.
Sebagai pihak keturunan keluarga Gubernur Suryo, Muries berharap, upacara ziarah dan tabur bunga ini menjadi kegiatan yang tetap diadakan meski nanti berganti kepemimpinan.
“Karena ini salah satu momentum dan cara bagi kita untuk menghormati sosok pahlawan nasional seperti sosok Gubernur Suryo. Kita mengenang jasa-jasa pahlawan beliau yang luar biasa. Kalau dari pihak keluarga berpikir di Blitar itu kan terkenal dengan makam Bung Karno, kalau di Jombang ada makamnya Gus Dur, kalau di Magetan ya ada makamnya Gubernur Suryo,” tutupnya.
Raden Mas Tumenggung Ario Suryo adalah seorang bangsawan ningrat Jawa. Sebelum menjabat Gubernur pertama Jawa Timur, ia telah lebih dulu duduk di pemerintahan Hindia Belanda dengan menjabat sebagai Bupati Magetan dari tahun 1938 hingga tahun 1943.
Di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Suryo membuat perjanjian gencatan senjata dengan komandan pasukan Inggris Brigadir Jendral Aubertin Mallaby di Surabaya pada tanggal 26 Oktober 1945. Namun tetap saja meletus pertempuran tiga hari di Surabaya 28 – 30 Oktober yang membuat Inggris terdesak. Presiden Sukarno memutuskan datang ke Surabaya untuk mendamaikan kedua pihak.
Baca Juga : Jelang Pembacaan Putusan Batasan Usia oleh MK, Cak Imin: Kita Siap Lawan Siapapun
Gencatan senjata yang disepakati tidak diketahui sepenuhnya oleh para pejuang pribumi. Tetap saja terjadi kontak senjata yang menewaskan Mallaby. Hal ini menyulut kemarahan pasukan Inggris. Komandan pasukan yang bernama Jenderal Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya supaya menyerahkan semua senjata tanggal 9 November 1945, atau keesokan harinya Surabaya akan dihancurkan.
Menanggapi ultimatum tersebut, Presiden Sukarno menyerahkan sepenuhnya keputusan di tangan pemerintah Jawa Timur, yaitu menolak atau menyerah. Gubernur Suryo dengan tegas berpidato di RRI bahwa Arek-Arek Suroboyo akan melawan ultimatum Inggris sampai darah penghabisan.
Maka meletuslah pertempuran besar antara rakyat Jawa Timur melawan Inggris di Surabaya yang dimulai tanggal 10 November 1945. Selama tiga minggu pertempuran terjadi di mana Surabaya akhirnya menjadi kota mati. Gubernur Suryo termasuk golongan yang terakhir meninggalkan Surabaya untuk kemudian membangun pemerintahan darurat di Mojokerto.
Hidup Suryo berakhir tragis di tangan bangsanya sendiri. Suryo tewas di tangan PKI pada tanggal 9 November 1948. Pada waktu itu setelah meninggalkan Yogyakarta menuju Magetan lewat Surakarta, mobil Suryo berpapasan dengan gerombolan PKI di Desa Bogo, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi.
Pada saat itu pula dari arah Madiun datang mobil yang ditumpangi oleh Komisaris Besar (Kolonel) Polisi M Duryat dan Komisaris (Mayor) Polisi Suroko dalam perjalanan ke Yogyakarta. Kedua mobil itu diperintahkan berhenti oleh gerombolan PKI tersebut.
Suryo, Duryat, dan Suroko diperintahkan turun dari mobil. Mereka dibawa ke hutan. Di tempat inilah Suryo dan dua orang lainnya itu dihabisi PKI. Empat hari kemudian, jenazah Suryo ditemukan penduduk di Kali Kakah, Dukuh Ngandu, Desa Bangunrejo, Kedunggalar, Ngawi, lalu dibawa ke Madiun dan dimakamkan di Kelurahan Sawahan, Desa Kepolorejo, Kabupaten Magetan.
Sebagai bentuk penghormatan, di tempat Gubernur Suryo, Kolonel Polisi Duryat dan Mayor Polisi Suroko dihabisi oleh gerombolan PKI tersebut kini berdiri Monumen Soerjo. Monumen tersebut diresmikan pada 28 Oktober 1975 oleh Pangdam Brawijaya Mayjen TNI Witarmin.