JATIMTIMES - Sultan Agung mulai melakukan ekspansi pengaruhnya di dunia internasional setelah Mataram berhasil menaklukkan Kerajaan Surabaya pada 1625. Di tahun yang sama pula, Sultan Agung membawa Mataram mencapai puncak kejayaan dengan menguasai hampir seluruh pesisir pantai di Jawa, sebuah capaian yang tidak akan pernah tertandingi oleh raja-raja Mataram selanjutnya.
Sejatinya nama besar kerajaan Jawa sudah dikenal oleh tanah seberang sejak era Kerajaan Majapahit dan Demak. Namun untuk Mataram kasusnya agak berbeda. Pada masa itu setelah runtuhnya Kesultanan Demak dan Kesultanan Pajang, di luar Jawa telah berdiri kerajaan-kerajaan yang lebih besar dari Mataram. Barulah setelah Mataram berhasil menaklukkan Kerajaan Surabaya, sepak terjang Mataram sebagai kerajaan besar mulai diperhitungkan di tanah seberang.
Baca Juga : Nuklir Sudah Usang, Senjata Mini Ini Dianggap Lebih Mematikan dan Tak Merusak Lingkungan
Tidak semua kerajaan di tanah seberang ingin ditaklukkan Sultan Agung. Ada beberapa kerajaan tanah seberang yang ingin diajak menjadi sekutu, diantaranya Kerajaan Gowa, salah satu kerajaan terbesar di Asia. Hubungan Kerajaan Gowa dan Mataram di era Sultan Agung berkembang menjadi hubungan yang harmonis.Kedua kerajaan saling bertukar pengalaman dan saling memberi hadiah.
Mataram pada waktu itu adalah kerajaan di wilayah pedalaman. Sedangkan Gowa adalah kerajaan di pulau rempah-rempah (Makassar, Sulawesi) dengan kekuatan maritim yang besar. Orang-orang Gowa adalah pedagang yang baik, pelaut yang berani dan pejuang yang gigih melawan Belanda. Sebagai pelaut dengan ekspansinya yang begitu luas, orang Gowa terkenal lebih lincah dan lebih mengenal dunia luar dibanding orang Mataram yang hidup di pedalaman.
Pada bulan Juni 1630, utusan Kerajaan Gowa tiba di ibukota Mataram di Kerto. Utusan Kerajaan Gowa membawa hadiah berupa dua ekor kuda, satu ekor kuda hitam dan satu ekor kuda cokelat. Sebagai balasan, tiga tahun kemudian pada 27 Januari 1633, Sultan Agung mengirimkan utusan ke Kerajaan Gowa. Ki Ngabei Saradulla orang yang diutus Sultan Agung itu menyampaikan keinginan sang penguasa Jawa kepada Raja Gowa, bahwa Mataram ingin mengajak Kerajaan Gowa bersekutu.
Keinginan Sultan Agung itu disambut baik oleh Raja Gowa Sultan Hasanuddin. Kerajaan Mataram dan Kerajaan Gowa kemudian menjadi sekutu yang baik. Setelah persekutuan ini terjadi, Sultan Agung sang penguasa Mataram, selalu bersikap melindungi dan memberi tempat kepada orang-orang Makassar di Mataram. Sejak zaman Sultan Agung, Mataram selalu mengirimkan kanre Jawa ke Gowa yang merupakan makanan kesukaan raja-raja Gowa. Sebaliknya, Raja Gowa Sultan Hasanuddin juga selalu melindungi orang-orang Mataram yang berada di wilayah kekuasaanya. Sultan Hasanuddin juga ikut membantu Sultan Agung berperang melawan VOC.
Di zaman kekuasaan dua sultan ini, Kerajaan Mataram dan Kerajaan Gowa sangat kompak dalam menjalankan pemerintahan untuk melindungi rakyat dan memerangi kezaliman. Dua kerajaan ini juga sama-sama membenci Belanda. Dua kerajaan ini juga sama-sama pemeluk islam yang taat. Hingga masa akhir pemerintahan Sultan Agung, persekutuan yang dijalin dua kerajaan ini benar-benar tepelihara dengan baik.
Kerajaan Mataram dan Kerajaan Gowa terus berhubungan, komunikasi itu diantaranya dilakukan dengan saling berkirim surat. Pada 1644 utusan Mataram untuk Kerajaan Gowa dibalas dengan surat-surat dan banyak hadiah.
Sayang, hubungan baik yang dijalin dua kerajaan besar ini pada akhirnya meredup di zaman Sunan Amangkurat I, Raja Mataram berikutnya yang menggantikan Sultan Agung. Pada 1646, tidak ada lagi utusan Kerajaan Gowa yang datang ke Mataram. Retaknya hubungan kedua kerajaan ini bisa jadi adalah kompeni.
Sultan Agung dikenal sebagai raja yang sangat anti Belanda, tapi tidak dengan Amangkurat I. Sang raja penerus yang naih tahta di usia muda itu dikenal menjalin perdamaian dengan kompeni. Sikap Amangkurat I ini membuat orang-orang Gowa jadi tidak menyukai Mataram. Kerajaan Gowa dibawah Sultan Hasanuddin tetap konsisten, menganggap Belanda adalah musuh yang harus dibinasakan.
Melihat mulai retaknya hubungan kedua kerajaan itu, Van Goens duta Belanda untuk Mataram memprovokasi Amangkurat I untuk mengibarkan genderang perang dengan Kerajaan Gowa. Van Goens meyakinkan Amangkurat I, bahwa Mataram pasti bisa menaklukkan Gowa dan menjadikan kerajaan di pulau rempah-rempah itu sebagai bawahan Mataram.
Van Goens tidak menyerah, ia terus meyakinkan Amangkurat I untuk menaklukkan Kerajaan Gowa. Bahkan ia mengatakan Mataram akan jadi kerajaan terbesar di dunia jika berhasil mengalahkan Gowa. Sayang, Amangkurat I tetap tidak tertarik dengan mimpi-mimpi yang diucapkan Van Goens.
Baca Juga : Kisah Sukses Freddie Figgers, 'Anak Tempat Sampah' yang Kini Jadi Jutawan
Mataram semakin mesra dengan VOC, sedangkan Kerajaan Gowa perlahan-lahan berhasil dikalahkan oleh penjajah dari eropa. Kalahnya Kerajaan Gowa di pulau rempah-rempah ternyata bukan akhir dari perang antara Gowa dengan Belanda. Yang terjadi berikutnya justru adalah serangan putra Kerajaan Gowa yang membuat Mataram berada di titik kehancuran. Sang penakluk Mataram dari Kerajaan Gowa itu bernama Karaeng Galesong.
Karaeng Galesong adalah harta berharga Kerajaan Gowa. Ia adalah putra Sultan Hasanuddin, tapi bukan putra mahkota. Galesong adalah putra keempat sultan dari istri yang bernama I lo’mo Tobo. Saat masih berusia muda, Galesong sudah sering diterjunkan dalam peperangan untuk meredam pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa. Bakatnya sebagai ahli strategi dan panglima perang sudah terasah sejak usia belia.
Nama asli Karaeng Galesong adalah I Manindori. Nama gelar lengkapnya adalah Karaeng Galesong Karaeng Tojeng. Selain ahli seni perang, Galesong adalah kesatria gagah perkasa yang menguasai ilmu pengetahuan tinggi. Galesong adalah nama sebuah daerah Kerajaan Gowa di bagian selatan. Galesong adalah daerah yang makmur dan menjadi lumbung pangan Kerajaan Gowa.
Empat tahun setelah Perjanjian Bongaya ditandatangani pada 1671, Karaeng Galesong memutuskan pergi meninggalkan tanah leluhurnya. Ia kemudian pergi berlayar ke arah barat untuk menyusun strategi dan melanjutkan perlawanan melawan Belanda, bangsa asing dari eropa yang sangat ia benci.
Dari Gowa, Karaeng Galesong berhasil mendarat bersama rombongannya di Pelabuhan Banten pada Oktober 1671. Tujuan kedatangan Karaeng Galesong ke Banten adalah untuk membantu perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC. Pertempuran yang terjadi antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan VOC dikenal sebagai Perang Banten.
Di tengah berlangsungnya Perang Banten, Raden Kajoran mertua dari Raden Trunojoyo dari Madura yang sedang mempersiapkan pergerakan melawan Sunan Amangkurat I dari Kesultanan Mataram, datang untuk meminta bantuan. Raden Kajoran kemudian memohon agar Karaeng Galesong mau membantu Trunojoyo melawan VOC di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Karaeng Galesong dan Trunojoyo dari Madura kemudian menyerang Mataram dan VOC dengan mengerahkan pasukan gabungan dari Madura, Makassar, dan Surabaya yang berkekuatan 9.000 prajurit. Perlawanan ini cukup fenomenal, pada Oktober 1676, pasukan Mataram dan Belanda berhasil dikalahkan dalam Pertempuran Gegodog yang diikuti dengan serangkaian kemenangan di pihak Trunojoyo dan Karaeng Galesong.
Karaeng Galesong menghembuskan nafas terakhirnya di Malang, Jawa Timur, pada 21 November 1679 akibat sakit. Jasadnya dikebumikan di Kelurahan Kebonsari, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.