JATIMTIMES - Masyarakat Indonesia dikenal dengan kemajemukannya. Termasuk Islam di Indonesia ada beberapa golongan di dalamnya. Di antaranya ada Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Syiah dan Ahmadiyah.
Lantas banyak warga suatu golongan islam yang mempertanyakan soal hukum bermakmum kepada golongan islam lainnya. Apakah diperbolehkan?
Baca Juga : Mengenal Serba-serbi Dokter Spesialis Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik RSI Unisma
Ustazah Iim dari Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Asran, Cicalengka, Bandung, Jawa Barat, mengutip Kitab Qurrotal Ain Bi Fatawi Syeikh Ismail Zain halaman 64 menjelaskan jika makmum mengetahui imam telah melakukan hal yang membatalkan salat (menurut golongan makmum) maka hukumnya tidak sah. Begitu sebaliknya, jika imam tidak melakukan hal yang membatalkan maka hukumnya sah salatnya bagi makmum.
"Jika misalnya makmum bermadzab Imam Syafii dan didapati imamnya bermadzab Imam Hanafi. Lantas ada rasa keraguan di hati saat bermakmum. Misalnya, perbedaannya jika madzab Imam Syafii menyentuh kemaluan dengan telapak tangan membatalkan wudhu. Sedangan madzab Hanafi, menyentuh kemaluan dengan telapak tangan tidak membatalkan wudhu," kata ustazah Iim, dikutip YouTube Al Asran, Sabtu (15/7/2023).
Jadi disimpulkan, jika makmum seorang madzab Syafii melihat imam yang madzab Hanafi menyentuh kemaluan dengan telapak tangan, maka makmum madzab Syafii tidak sah bermakmum madzab Hanafi.
Atau jika terjadi di Indonesia, misalnya, makmum golongan NU melihat imam golongan Muhammadiyah berbuat sesuatu yang membatalkan salat (menurut NU), maka hukumnya tidak sah. Begitu sebaliknya, jika makmum NU tidak melihat imam Muhammadiyah melakukan sesuatu yang membatalkan salat, maka hukumnya sah.
Atau contoh lain, madzab Imam Maliki hukum laki-laki dan perempuan dewasa tidak bermahram bersentuhan kulit itu tidak membatalkan wudhu. Sedangkan di madzab Syafii, hal demikian membatalkan wudhu.
"Misalnya makmum madzab Syafii melihat imam madzab Maliki bersentuhan kulit dengan perempuan dewasa yang bukan mahramnya, ya otomatis makmum tidak sah berjamaah dengan imam tersebut. Karena alasannya, wudhunya sudah batal menurut Imam Syafii," jelas Ustazah Iim.
Baca Juga : Normalisasi Saluran di Jalan Andalas, DPUPRPKP Kerahkan Alat Berat
"Begitu juga jika tidak melihat imam yang bermadzab Maliki setelah wudhu kemudian segera berdiri menjadi imam. Kita tidak tahu apa yang dilakukannya. Ya berarti hukum solat bagi makmum yang bermadzab Syafii boleh saja. Kita berhusnudzon saja, bermakmum saja pada imam tersebut," sambungnya.
Menurut ustazah Iim, kitab tersebut cocok sekali diterapkan di Indonesia yang dikenal dengan kemajemukannya. "Meskipun di kitab ini tidak diterangkan NU atau Muhammadiyah, karena yang ada NU Muhammdiyah kan hanya di Indonesia. Karena yang disebutkan di kitab ini hanya golongan satu dan golongan lainnya," tandas ustazah Iim.
Ustazah Iim juga menambahkan satu hal jika umat islam dilarang mengikuti golongan Mutaffifin. Mutaffifin sendiri adalah mengambil suatu hukum tidak hanya satu madzab. Jadi misalnya, salatnya mengambil madzab Imam Maliki, tapi kok aneh dalam hukum yang lain mengambil madzab Imam Syafii.
"Berarti dalam kehidupannya, mencampur berbagai Madzab, diambil enaknya, maka itu yang disebut orang Mutaffifin. Dan kita tidak boleh menjadi orang Mutaffifin. Jadi cukup kita bermadzab satu orang, aturan yang harus kita ikuti," tandas Ustazah Iim.