JATIMTIMES - Masyarakat Indonesia pada umumnya mengenal Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo dan Sentot Ali Basyah Abdul Mustopo Prawirodirdjo, sebagai trio perang Jawa paling mematikan dalam sejarah perang kolonial.
Anggapan ini wajar karena pelajaran sejarah yang ada diajarkan di sekolah dan tayangan-tayangan dokumenter di televisi selalu membesar-besarkan tiga tokoh ini sebagai pejuang yang nyaris tak bisa dikalahkan oleh kompeni.
Baca Juga : Bupati Sanusi Bangga, 302 Desa di Kabupaten Malang Berstatus Desa Mandiri
Namun, tak banyak yang tahu jika sebelum tiga tokoh perang Jawa ini memproklamirkan perang melawan penjajah, terlebih dulu ada tiga tokoh besar pendahulu yang mengobarkan perang besar di tanah Jawa. Ketiga tokoh itu adalah Pangeran Mangkubumi, Pangeran Sambernyawa dan Kiai Wirosentiko. Perang Suksesi Jawa III yang dikobarkan tiga tokoh besar ini hampir-hampir saja membuat bangkrut Kerajaan Belanda.
Peperangan Suksesi Jawa III dimulai pada 11 Desember 1749 hingga 13 Februari 1755. Dalam perang tersebut, rakyat Mataram memberikan dukungan penuh kepada Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) yang berjuang melawan kolonialisme Belanda dan sekutunya Keraton Kasunanan Surakarta.
Selain rakyat Mataram, kelompok pejuang di bawah pimpinan Mangkubumi juga mendapat dukungan dari rakyat Jawa Timur salah satunya dari Madiun. Dalam perang ini, salah satu tokoh kunci lain dari basis kelompok pejuang ini adalah Kiai Wirosentiko (setelah 1755 bernama Raden Ronggo Prawirosentiko, setelah 1758 bernama Raden Ronggo Prawirodirdjo I dan menjabat Bupati Wedana Madiun).
Menariknya, tokoh Perang Suksesi Jawa III memiliki jaringan kekerabatan yang dekat dengan tokoh Perang Jawa 1825-1830 yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro adalah cucu buyut dari Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi) dan Sentot Ali Basyah Abdul Mustopo Prawirodirdjo adalah cucu buyut Raden Ronggo Prawirodirdjo I. Juga, Kiai Mojo secara silsilah masih merupakan kerabat dekat dari Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Reinkarnasi darah perjuangan!
Tak kalah sengit dengan pertempuran Perang Jawa 1825-1830, Perang Suksesi Jawa III juga diwarnai dengan serangkaian pertempuran besar. Pangeran Mangkubumi adalah sang raja di barisan pemberontak yang cerdas, ahli strategi perang dan sakti mandraguna. Garda depan yang menjadi “patih” dari pasukan pemberontak ini adalah Pangeran Sambernyawa.
Sedangkan Kiai Wirosentiko yang dijuluki Sang Jagoan dari Sukowati, adalah panglima perang yang selalu bertempur mati-matian dalam pertempuran dimanapun tempatnya. Wirosentiko juga adalah orang yang selalu ada dan setia menemani Mangkubumi kemanapun pergi.
Di tulisan ini kita akan membahas beberapa catatan pertempuran Perang Suksesi Jawa III atau Perang Giyanti di kisaran tahun 1751. Kita membahas peperangan di tahun-tahun ini karena di tahun inilah VOC kewalahan dan nyaris tak bisa mengalahkan pasukan pemberontak yang dipimpin Mangkubumi. Di tahun-tahun ini, kemenangan-kemenangan yang diraih pasukan pemberontak berhasil melemahkan semangat tempur pasukan kompeni.
Dokumenter yang dikabarkan Babad Giyanti menyampaikan, pada 27 Oktober 1751 pecah pertempuran yang tidak seimbang dibawah guyuran hujan badai. Dalam pertempuran ini, pasukan VOC dibawah komando Letnat Foster sudah hampir kehabisan pasukan. Pasukan VOC hanya terdiri dari 20 pasukan eropa dan 50 pasukan pribumi (menurut babad terdiri dari orang bugis dan Bali). Dalam pertempuran ini, Foster dan hampir seluruh pasukannya tewas terbunuh, yang berhasil selamat dan hidup hanya tiga orang saja.
Kemenangan demi kemenangan terus diraih barisan pemberontak di akhir tahun 1751. Pada 12 Desember di Jenar di Sungai Bogowonto, pasukan VOC di bawah komandan Mayor H. de Clercq beradu kekuatan dengan pasukan utama Pangeran Mangkubumi. Dengan penuh percaya diri, Mayor Belanda ini percaya dia telah berhasil membuat Mangkubumi melarikan diri.
Dia lalu bergerak maju meninggalkan pasukan kavalerinya dengan meninggalkan pasukan infatenrinya dan secara tidak sadar telah melewati musuhnya yaitu Pangeran Mangkubumi yang menyamar jadi penduduk desa. Pertempuran kemudian pecah di tengah persawahan dan hasilnya bisa ditebak, pasukan VOC kembali kalah. Pangeran Sambernyawa tidak ikut serta dalam pertempuran di Jenar ini, saat itu dia sedang berperang di wilayah Gunung Kidul.
Baca Juga : Fasilitasi Pembinaan dan Pengawasan Keuangan, Bupati Malang Berikan Penghargaan kepada Kades Desa Mandiri
Dalam pertempuran ini, di sawah yang banjir itu, Kapten Wouthier dan seluruh kompi dragoonnya terbunuh dan beberapa orang ditangkap pasukan Mangkubumi. Sementara de Clercq, mencoba melarikan diri melewati persawahan yang berlumpur. Namun apa daya, semuanya sudah terlambat, kuda orang Belanda ini terjebak lumpur dan tidak bisa bergerak. Pasukan Mangkubumi dengan sigap menebas leher de Clercq dan Sembilan hussarnya hingga tewas.
Di tahun 1751, dengan serangkaian kekalahan berturut-turut dalam peperangan ini telah menimbulkan kerugian besar di pihak VOC. Dalam laporan Batavia ke Amsterdam, dalam pertempuran ini juga dilaporkan di ujung pertempuran Jenar tergeletak mayat 180 pasukan VOC dan pasukan Keraton Surakarta. Korban tewas juga mencatat beberapa pejabat Jawa dari Banyumas, seorang bupati bernama Dipayuda dan sejumlah orang Jawa yang pro kepada VOC.
Kemenangan Pangeran Mangkubumi dalam pertempuran di Jenar menjadi titik balik gelombang militer di Perang Suksesi Jawa III. Hampir enam tahun pertempuran berlangsung, di tahun 1751 ini pasukan pemberontak mulai memiliki kontrol yang besar dengan meletupnya konflik ini. Simpati rakyat Mataram terhadap Keraton Surakarta semakin berkurang. Rakyat lebih memberikan simpatinya kepada Pangeran Mangkubumi, sang raja di barisan pemberontak.
Puncak dari perang yang melelahkan ini adalah Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini sepakat memecah Mataram menjadi dua kerajaan, Kasunanan Surakarta yang dipimpin Pakubuwono III dan kerajaan baru Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I.
Semangat perjuangan Pangeran Sambernyawa tidak kendor. Dia kemudian seorang diri memimpin perang melawan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi (Hamengkuwono I) adalah mertua sekaligus paman dari Pangeran Sambernyawa. Dalam perang ini Pangeran Sambernyawa memandang Pangeran Mangkubumi berkhianat dan dirajakan oleh VOC. Selama kurun waktu 16 tahun, Laskar Pangeran Sambernyawa melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.
Perdamaian yang diharapkan oleh VOC akhirnya terwujud.Perdamaian tersebut diformalkan Sunan Pakubuwono III dengan Pangeran Sambernyawa dalam perjanjian Salatiga Pada 17 Maret 1757. Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Kabupaten Wonogiri. Perjanjian tersebut hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC.
Perjanjian Salatiga menyepakati Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri dengan gelar KGPAA Mangkunegara I. Wilayah kekuasaan Mangkunegara I meliputi wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Wilayah kekuasaan Mangkunegara I ini kemudian dikenal dengan nama Kadipaten Mangkunegaran.