JATIMTIMES – Usulan Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Janda, pada dasarnya merupakan usulan bagus namun belum menjadi solusi yang tepat dalam menuntaskan permasalahan yang terjadi.
Hal itu diungkapkan oleh Neni Viantin Diah Martifa, Anggota DPRD Banyuwangi asal Fraksi Gerindra PKS. Menurutnya dalam beberapa kasus perceraian yang terjadi di Banyuwangi faktor penyebabnya justru gugatan dari istri terhadap suaminya dengan berbagai macam alasan.
Baca Juga : Komitmen Kawal Aspirasi Kades, NasDem Banyuwangi Ancam Sanksi Anggota Dewan yang Melanggar
“Dari beberapa kasus gugat cerai di PA Banyuwangi justru para perempuan yang memiliki karier dan penghasilan yang lebih dibandingkan dengan suami mereka sehingga merasa lebih kuat dan dengan mudah mengajukan cerai. Sehingga tidak bisa dipukul rata semua janda perlu diberdayakan,” jelas Neni di rumahnya pada Jumat (27/05/2022).
Dia menuturkan penanganan khusus hanya bagi para janda yang diceraikan suami dalam kondisi tidak mampu dan tidak berdaya serta tidak memiliki sumber pendapatan untuk menghidupi diri dan anaknya.
Sebenarnya, lanjut dia yang perlu diberdayakan adalah para wanita lain yang sudah berkeluarga juga butuh perhatian. Selain itu tidak bisa hanya melihat kasus banyaknya jumlah janda karena melihat tingginya angka perceraian, tetapi perlu juga memberikan solusi untuk mencegah dan menanggulangi tingginya angka perceraian yan terjadi di Banyuwangi.
“Misalnya ada pembekalan dalam membentuk keluarga yang sakinah mawadah warahmah (Samawa), memang ada program bimbingan pasangan yang mau menikah namun hanya sesaat sehingga butuh pembinaan yang berkelanjutan. Sebenarnya banyak cara yang diberikan dalam program pembinaan terhadap warga masyarakat yang perlu diintensifkan,” jelas anggota DPRD Banyuwangi asal Dapil Banyuwangi 1 itu.
Dalam upaya memberikan perlindungan dan pemberdayaan terhadap janda perlu dilihat bukan sekedar melihat tingginya jumlah kasus perceraian karena ada fakta kasus terjadi karena perempuan yang mengajukan gugatan terhadap suami mereka. Yang tidak kalah penting adalah adanya upaya dari pemerintah dengan melibatkan stakeholder mencegah dan menanggulangi tingginya angka perceraian yang terjadi.
”Sehingga perlu kajian dan penelitian lebih lanjut lagi karena tidak sedikit kasus gugat cerai yang terjadi di Banyuwangi justru karena pengajuan pihak perempuan,” imbuhnya.
Selanjutnya gaya hidup (life style) dari sebagian masyarakat desa menjadi pemicu kasus perceraian. Misalnya adanya kasus istri yang terjerat hutang pinjaman online dam bank karena tidak minta izin suami saat meminjam uang.
Baca Juga : Bupati Tulungagung Lantik Sejumlah Pejabat ASN Lingkup Pemkab, di Antaranya 8 Kepala Dinas
”Padahal mereka pinjam dana bukan untuk usaha yang produktif namun untuk mencukupi gaya hidupnya. Karena kesulitan untuk melunasi sehingga memicu terjadinya pertengkaran yang berujung pada perceraian rumah tangga,” pungkas Neni.
Seperti diberitakan sebelumnya, pada dasarnya pemerintah sudah berupaya melakukan berbagai upaya untuk menekan kasus perceraian di Indonesia. Namun dalam kenyataannya untuk di Banyuwangi pada tahun 2021, Pengadilan Agama (PA) Banyuwangi mencatat lebih dari 5 ribu kasus perceraian dengan latar belakang tertinggi karena faktor ekonomi 2.747 kasus. Kemudian disebabkan karena terjadi pertengkaran 1.940 kasus dan faktor penyebab perceraian yang lain.
“Kementerian Agama sudah memberikan pendidikan pra nikah kepada calon pengantin. Para ulama dan tokoh agama di Banyuwangi juga tidak sedikit jumlahnya namun kasus perceraian kok masih tinggi maka harus dicari akar masalahnya sekaligus mampu menemukan solusi terbaik,” jelas Hajjah Ni'mah di rumahnya pada Kamis (26/05/2022).
Politisi PKB asal Dapil 1 Banyuwangi itu menambahkan dalam upaya memberikan perlindungan dan pemberdayaan terhadap para janda lebih efektif dan efisien dengan mengoptimalkan lembaga yang sudah ada.
Di Banyuwangi ada Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (KB) yang di dalamnya ada bidang yang bisa dioptimalkan dalam pemberdayaan para janda di Banyuwangi.