JATIMTIMES - Sidang perdana terkait kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh petinggi SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu yakni Julian Eka Putra (JEP) berlangsung tertutup di Ruang Sidang Cakra Pengadilan Negeri (PN) Malang Kelas IA, Rabu (16/2/2022).
Sidang perdana tersebut dimulai sekitar pukul 10.00 WIB hingga berakhir sekitar pukul 11.28 WIB. Ketika keluar dari Ruang Sidang Cakra PN Malang Kelas IA, terdakwa JEP yang mengenakan baju batik berwarna biru dengan corak kuning dikawal ketat oleh aparat kepolisian dan hanya bisa menunduk.
Baca Juga : Pembunuh Janda Gresik Dituntut 12 Tahun Penjara, Pengacara: Dakwaan JPU Hanya Asumsi
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Batu Edi Sutomo selaku Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengatakan, pada agenda sidang perdana ini merupakan pembacaan dakwaan.
"Surat dakwaannya sebanyak 14 lembar, sudah dibacakan berturut-turut oleh empat JPU dari Kejari Batu, untuk ancaman hukum minimal tiga tahun (kurungan penjara), maksimal 15 tahun," ungkap Edi kepada JatimTIMES.com, Rabu (16/2/2022).
Dalam pembacaan surat dakwaan yang berjumlah 14 lembar tersebut, terdapat empat tuntutan dakwaan alternatif yang disampaikan oleh JPU.
Dakwaan alternatif pertama, Pasal 81 ayat 1 Jo pasal 76D Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Dakwaan alternatif kedua, Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Dakwaan alternatif ketiga, Pasal 82 ayat 1 Jo Pasal 76E Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dakwaan alternatif keempat, Pasal 294 ayat 2 kedua KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Ketika dilakukan pembacaan dakwaan dari JPU, pihak kuasa hukum terdakwa tidak menyatakan keberatan ataupun melakukan pengajuan eksepsi.
"Langsung dilanjutkan ke pembuktian dan selanjutnya dari majelis hakim langsung menunda sidang pada hari Rabu (23/2/2022) jam 10," terang Edi.
Dalam sidang pembuktian pekan depan, pihak JPU Kejari Kota Batu akan menghadirkan tiga orang saksi. Di mana dari ketiga orang saksi yang akan dihadirkan oleh JPU, salah satunya merupakan korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh JEP.
"Saksi yang akan dihadirkan adalah yang termasuk di dalam berkas perkara, termasuk korban," imbuh Edi.
Sementara itu, Juru Bicara PN Malang Kelas IA Mohammad Indarto menuturkan, bahwa Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan perkara terdakwa JEP merupakan Djuanto.
Baca Juga : Sejumlah Kantor Dinas di Lingkungan Pemkab Malang Lockdown, Diduga Reaktif Covid-19
Indarto menjelaskan, alasan dilakukannya sidang perdana secara tertutup dikarenakan perkara yang menjerat JEP terkait perkara asusila. Menurutnya, jika dilakukan secara terbuka akan menyalahi hukum acara persidangan.
"Pada proses awal dakwaan, pembuktian, pembelaan itu semua tertutup, kecuali pada saat pembacaan putusan harus terbuka," tegas Indarto.
Terkait dengan dakwaan pasal yang ditujukan kepada JEP, hal itu merupakan dakwaan alternatif. Di mana dakwaan alternatif tersebut artinya akan ada pilihan pasal yang didakwakan kepada terdakwa JEP.
"Pasalnya bukan berlapis tapi dakwaan alternatif karena ada bedanya, nanti dipilih dari sekian dakwaan itu mana yang dibuktikan dalam persidangan, bukan dakwaan kumulatif," ujar Indarto.
Indarto juga menjelaskan, terkait beredarnya informasi bahwa terdapat puluhan orang yang diduga menjadi korban kekerasan seksual okeh terdakwa JEP, pihaknya pun meluruskan terkait hal tersebut.
"Dalam perkara ini saksi korban yang diajukan adalah satu orang sebagaimana yang ada di dakwaan yaitu atas nama inisial SDS, jangan sampai berkembang korbannya sekitar 20 lebih," jelas Indarto.
Sementara itu, terkait alasan terdakwa JEP tidak dilakukan penahanan untuk proses pemeriksaan lebih lanjut, Indarto mengatakan hal itu merupakan hak prerogatif majelis hakim yang memimpin jalannya persidangan.
"Kewenangan itu dari majelis hakim dan itu tidak bisa di intervensi oleh siapapun karena majelis hakim yang tahu berkaitan dengan kepentingan persidangan kedepannya, atau hak prerogatif dari majelis hakim," pungkas Indarto.