JATIMTIMES - Kasus kekerasan yang melibatkan anak di bawah umur, kerap terjadi. Bahkan, kasus-kasus tersebut seringkali juga viral dan banyak menjadi bahasan publik. Seperti halnya baru-baru ini, di mana seorang gadis 13 tahun yang tinggal di panti asuhan di Kota Malang menjadi korban pencabulan dan persekusi ramai-ramai oleh pelaku yang juga di bawah umur.
Melihat itu, Psikolog yang juga Dosen Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang Fuji Astutik MPsi sangat menyayangkan adanya kejadian tersebut. Pihaknya menyoroti aksi kekerasan yang kemudian divideokan hingga video tersebut menjadi viral.
Baca Juga : Dinas Perkim Jombang Tuntaskan Rehab Ratusan Rumah Tidak Layak Huni
Menurutnya, aksi kekerasan yang dilakukan, terlebih lagi dengan sengaja divideokan, menimbulkan berbagai dampak yang buruk. Belum lagi, dampaknya kian parah, di mana dokumentasi aksi kekerasan kini viral menjadi bahasan di media sosial. Terlepas itu dengan sengaja diviralkan ataupun tidak.
Dampaknya, dijelaskan Fuji, hal itu bisa menjadi role model dalam tanda petik negatif. Apa yang tergambar dalam video bisa menjadi contoh dan ditiru oleh yang lain untuk melakukan hal yang sama.
"Dalam teori psikologi memang apa yang dilakukan manusia itu dipengaruhi oleh dengan siapa ia mencontoh. Apa yang ia lihat dan apa yang ia dengar. Sehingga bila ini dilihat oleh yang lain, bisa jadi mereka mengikuti," jelasnya.
Meskipun begitu, tentunya anak tak bisa serta merta disalahkan. Sebab, tentunya terdapat hal yang memicu sehingga anak melakukan penyelesaian dengan kekerasan. Di sini peran orang dewasa diperlukan untuk mengevaluasi dan melakukan pembinaan.
Lingkungan, menurutnya, juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi. Lingkungan bisa terbagi dalam beberapa kelompok, seperti lingkungan keluarga, lingkungan teman hingga lingkungan media sosial yang kini sangat mendominasi.
Dicontohkan, seperti halnya kata umpatan, meskipun di lingkungan keluarga tak ada, akan tetapi hal tersebut banyak ditemui dan mudah diakses di media sosial.
"Orang ketika mendengar dan melihat sesuatu di media sosial, terkadang itu yang diyakini sebagai sesuatu yang benar. Apalagi saya ini di masa pandemi banyak orang yang itu juga termasuk anak menghabiskan waktu dengan media sosial," jelasnya.
Ia melanjutkan, perilaku dari para anak-anak tersebut, menurutnya tak hanya single faktor. Terdapat faktor-faktor lain yang itu memang bisa menjadi pengaruh. Peran orang tua untuk membentengi anak sangatlah dibutuhkan.
Baca Juga : Suami di Gresik Bantai Istri dan Anak, Satu Tewas
Orang tua harus mempunyai upaya yang lebih keras lagi dalam pencegahan hal-hal negatif. Orang tua harus memperhatikan pola-pola pembinaan kepada anak. Ketika anak sudah pada fase remaja, maka peran orang tua lebih pada yang menjadi seorang sahabat.
Dengan begitu, mereka (orangtua) menjadi paham apa yang mereka (anak) mau, memahami dunia anak, paham bagaimana mereka mengekspresikan dirinya dan bagaimana mereka bergaul.
"Dengan begitu orang tua akan lebih mudah (untuk membina dan mengawasi). Kalau dulu belum ada media sosial, orangtua paham siapa temannya. Tapi setelah ada media sosial, akan banyak teman yang mungkin belum dikenal sehingga perlu upaya," terangnya.
Akan tetapi, jika orang tua malah memperlakukan anak seperti anak kecil, maka orang tua justru akan kesulitan untuk masuk ke dunia anak. Jika hal itu terjadi, maka anak justru akan mencari teman yang se frekuensi.
"Kalau teman yang seprofesi dengan dia itu positif lingkungannya, maka usahakan positif. Begitu juga kebalikannya, anak juga akan masuk ke dalam lingkungannya," pungkasnya.