free web hit counter
Jatim Times Network
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Gabung Channel WhatsApp
Profil

Samin Surosentiko: Hikayat Sang Petani Penolak Pajak

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

29 - Jun - 2025, 17:19

Placeholder
Lukisan bergaya realis menggambarkan Samin Surosentiko (Raden Kohar), pelopor ajaran Saminisme di Blora pada akhir abad ke-19. (Foto: crated by JatimTIMES) 

JATIMTIMES - Di tengah hegemoni penjajahan Belanda pada akhir abad ke-19, puluhan ribu petani Jawa Timur hidup terjepit di antara kebijakan pajak kolonial, pungutan rodi, dan struktur feodal priyayi desa yang rapuh. Di antara mereka, muncul seorang petani yang memilih jalan sunyi: melawan tanpa senjata, menolak tunduk pada negara, tetapi juga enggan menodai bumi leluhur dengan tumpahnya darah. Namanya adalah Samin Surosentiko, atau yang lebih akrab disebut Mbah Suro.

Lahir di Blora pada 1859, dengan nama asli Raden Kohar, ia sebenarnya berdarah bangsawan. Ayahnya, Raden Surowijaya (dikenal pula sebagai Samin Sepuh), adalah putra Raden Mas Adipati Brotodiningrat, Bupati Sumoroto, Ponorogo, bergelar Pangeran Kusumaniayu (1802–1826). Namun garis biru itu sengaja dipangkas oleh sang putra. Dalam semangat wong cilik, Raden Kohar menanggalkan gelar kebangsawanannya. Ia memilih nama Samin Surosentiko, memadukan kata “Samin”—nama rakyat kebanyakan—dengan “Suro Sentiko”, sebuah gelar spiritual warok Ponorogo.

Baca Juga : Napak Tilas Bung Karno: Mas Ibin dan Eri Cahyadi Guyub Tanamkan Nilai Kebangsaan untuk Generasi Penerus

Dalam petikan Babad Rajegwesi dan cerita lisan di Blora, tercatat bagaimana Samin menafsirkan dirinya bukan sebagai bangsawan, tetapi sebagai saudara sejiwa wong tani. Inilah awal mula munculnya ajaran Samin—sebuah gerakan spiritual, agraris, sekaligus protes sosial yang kelak dikenal sebagai Saminisme.Dalam cerita lisan yang berkembang di Blora dan sekitarnya, Samin Surosentiko kerap dipahami bukan sebagai bangsawan, melainkan saudara sejiwa para petani kecil. Dari pandangan inilah tumbuh ajaran Samin—sebuah laku spiritual agraris sekaligus penolakan pada penindasan, yang kemudian dikenal sebagai Saminisme.

Politik Etis: ‘Kesejahteraan’ yang Menggencet

Setelah kekalahan Pangeran Diponegoro pada 1830, tatanan Jawa pelan-pelan ditundukkan dengan segenap pasal hukum, pajak, dan birokrasi baru. Memasuki 1901, gagasan Politik Etis digulirkan Belanda. Di atas kertas, tujuannya mulia: “Balas Budi” (Ethische Politiek) berupa irigasi, pendidikan, dan migrasi penduduk. Tapi di ladang-ladang Blora, Bojonegoro, Rembang, Ngawi, hingga Madiun, makna “Etis” justru membebani petani.

H.J. Benda dan L. Castles, dalam kajian monumental mereka pada 1960-an, menulis bahwa akar ekonomi gerakan Samin terletak pada pajak tanah yang mencekik, kerja paksa yang tak kunjung lenyap, dan kebijakan kehutanan yang memenjarakan ruang hidup rakyat. Hutan Jati Randublatung—yang sejak leluhur menjadi lumbung rakyat—berubah menjadi rimba milik negara. Orang-orang yang menebang pohon untuk kayu bakar divonis melanggar hukum.

Dalam Verslagen van het Binnenlands Bestuur (Laporan Pemerintahan Dalam Negeri Hindia Belanda), tercatat bahwa ribuan kasus pelanggaran Undang-Undang Kehutanan pada 1907–1910 terjadi di Blora dan Rembang, sebagian besar melibatkan “orang Samin”. Tidak ada pemberontakan bersenjata. Yang ada hanyalah penolakan membayar pajak, kerja bakti, dan salam basa krama yang dianggap menjilat tuan tanah.

Saminisme: Akar Spiritual di Ladang Petani

Berbeda dari gerakan pemberontakan berdarah seperti Trunajaya (1674 - 1680) atau Diponegoro (1825–1830), Saminisme lahir sebagai penolakan diam. Menurut orang Samin, tanah, air, dan hutan adalah milik bersama. Manusia hanya sekadar sikep—penjaga. Prinsip sikep ini menolak hak kepemilikan absolut.

Tak heran, orang Belanda menuduh mereka komunis. Namun The Siauw Giap, peneliti agraria, membantah tudingan itu. Dalam disertasinya di Universitas Leiden, ia menegaskan: orang Samin tidak anti kepemilikan pribadi. Mereka justru menjaga hak panen: tiga perempat untuk pemilik sawah, seperempat untuk pemanen. Tidak ada kesetaraan mutlak ala komunisme Eropa. Yang mereka junjung adalah keseimbangan hak, bukan perebutan.

Dalam catatan Benda dan Castles, Saminisme juga sarat tafsir spiritual. Tuhan, bagi Samin, bukanlah zat luar. Ia berada di dalam diri. Ajaran ini disebut “Ilmu Nabi Adam”. Kutipan tembang Pangkur yang diajarkan Surosentiko berbunyi:

 “Saha malih dadya garan, anggegulang gelunganing pembudi, palakrama nguwoh mangun…”

(“Maka yang dijadikan pedoman, untuk melatih budi, pernikahan akan menghasilkan bentuk…”) 

Pernikahan pun bukan sekadar ikatan birokrasi. Di desa-desa Samin, mempelai laki-laki cukup mengucap syahadat “Saya kawin dengan…” di hadapan orang tua. Legitimasi negara dan agama formal dipinggirkan.

Kehidupan Komunal: Dari Ladang ke Hutan

Demi menghindari represi, Samin Surosentiko memimpin pengikutnya ke pedalaman Randublatung. Di hutan, mereka mendirikan pemukiman sederhana: rumah kayu jati dan bambu, berjajar rapat. Kandang ternak dibangun di samping rumah. Sumur dan kamar mandi dipakai bersama. Nilai gotong-royong dihidupkan, tetapi basisnya bukan kerja bakti paksa melainkan sukarela.

Sikap mereka pada alam pun penuh batas. Menurut narasi turun-temurun di Klopoduwur, orang Samin hanya menebang pohon secukupnya. Tanah ibarat ibu. Menyakiti bumi sama dengan mengutuk leluhur.

Hingga hari ini, upacara nyadran (bersih desa), selamatan kelahiran, khitanan, hingga kematian dilakukan dengan ritual sederhana. Tradisi barongan—yang aslinya Reog Ponorogo—digunakan Samin untuk mengumpulkan massa. Namun Belanda melarang pementasan barongan di kalangan pengikut Samin. Bagi penguasa, kesenian rakyat adalah kerumunan yang berbahaya.

Ratu Adil atau Penjahat Pajak?

Pada 8 November 1907, di hadapan ribuan pengikutnya, Samin Surosentiko diangkat sebagai Prabu Panembahan Suryangalam—Ratu Adil. Titel ini menyalakan alarm pemerintah kolonial. “Ratu Adil” mengingatkan mereka pada Diponegoro, Sentot Prawirodirjo, dan pemberontakan Jambi. Maka penindakan tak bisa ditunda.

Dokumen Politiek Verslag van Resident Rembang tahun 1908 mencatat gelombang penangkapan massal. Penjara Rembang dan Ngawi penuh. Samin sendiri ditangkap, diadili, lalu dibuang ke Nusakambangan. Beberapa bulan kemudian, bersama tujuh pengikutnya, ia diasingkan ke Sawahlunto, Sumatra Barat. Ironisnya, di pengasingan, Mbah Suro malah diangkat sebagai kepala lubang tambang batu bara Ombilin. Konon, di lubang itu, ia tetap memegang ajaran “tidak mencuri, tidak menipu, tidak rakus”.

Ia wafat pada 1914 di Padang. Tubuhnya lenyap di rantau, tetapi benihnya tetap tumbuh di ladang Jawa.

Resistensi Sunyi yang Membekas

Mengapa Samin Surosentiko tetap dikenang? Karena ia bukan hanya simbol protes terhadap pajak dan kerja rodi, tetapi juga penanda ideologi agraris yang terhormat. Orang Samin menolak basa krama bukan karena biadab, melainkan karena bahasa halus adalah perpanjangan tangan kekuasaan feodal yang menjajah batin rakyat kecil.

Kini, masyarakat Samin yang masih tersebar di Klopoduwur, Margomulyo, hingga perbatasan Ngawi, terus mewarisi laku sikep sebagai pondasi hidup. Prinsip mereka sederhana: urip iku urup—hidup harus menyalakan cahaya. Menyalakan, bukan membakar. Mereka menjaga kehormatan tanah, menolak basa-basi feodal, dan menolak penindasan dengan cara diam yang penuh martabat.

Baca Juga : Indahnya Ribuan Lampion Terbang Hiasi Langit Desa Ngabab Pujon di Dworowati Lantern Festival 2025

Di era modern, orang Samin sudah memakai traktor, pupuk kimia, bahkan gadget. Namun di hati mereka, tanah tetap ibu. Pajak tetap dipandang beban. Etos kerja tetap lurus: “Wong Sikep ora do ngapusi.” Orang sikep tidak berbohong.

Tafsir Gerakan Petani

Saminisme adalah tafsir lokal atas tekanan modernitas kolonial. Jika di Eropa muncul sosialisme buruh, di Jawa muncul petani penolak pajak. Samin Surosentiko, dengan kepercayaan “Tuhan ada di dalam diri” dan barongan di ladang, menyalurkan dendam sejarah petani Jawa: dendam kepada upeti, feodalisme, dan pemiskinan struktural.

Kini, di tepian Randublatung dan Ngawi, para wong sikep tetap menanam padi dengan petuah: “Ngundhuh wohing pakarti”—memetik buah dari perilaku. Mereka menolak senjata, tetapi tidak menolak kehormatan. Dalam sunyi, mereka mengajarkan bahwa tanah air tidak selalu dibela dengan keris terhunus, tetapi juga dengan keteguhan kata: “Ora wani mbayar pajak, nanging wani urip jujur.”

Inilah kisah Samin Surosentiko—hikayat sang petani penolak pajak yang membuktikan, perlawanan tidak selalu berupa letusan senapan, tetapi juga keyakinan pada keadilan bumi.

Tanah Milik Bersama, Bahasa Kasar, dan Pajak Ditolak: Samin di Rembang, Ngawi, dan Madiun

Di ujung abad ke-19 dan memasuki dasawarsa pertama abad ke-20, dalam pusaran perubahan sosial yang ditimbulkan oleh kebijakan kolonial dan geliat "Politik Etis", sebuah gerakan lokal yang bersahaja namun penuh daya guncang mulai mengakar di pedalaman Jawa Timur dan Jawa Tengah. Gerakan ini tidak mengangkat senjata, tidak menyerukan revolusi, dan tidak menjanjikan datangnya Ratu Adil. Namun, ia menjadi salah satu bentuk penolakan paling konsisten terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Gerakan itu adalah Saminisme.

 Samin Surosentiko, seorang petani dari Randublatung di selatan Blora, Keresidenan Rembang, adalah tokoh sentral gerakan ini. Ia mulai menyebarkan ajarannya sekitar tahun 1890, bukan dari pesantren atau keraton, melainkan dari sawah dan ladang, dari pergaulan harian dengan sesama petani. Yang disampaikannya bukan pula ajaran baru tentang agama atau kekuasaan, melainkan tafsir sosial atas ketidakadilan struktural yang dialami kaum tani di bawah kolonialisme.

Gerakan Samin menyebar dengan cepat, dan pada tahun 1907 telah mencapai wilayah Madiun, dibawa oleh pengikutnya, antara lain Wongsoredjo. Dalam hitungan waktu singkat, ajaran Samin telah berjejak kuat di Ngawi, Madiun, dan Rembang—wilayah-wilayah yang menjadi medan eksperimen kolonial dalam proyek Politik Etis.

Ironisnya, kebijakan Etis yang digagas Belanda sejak 1901, dengan dalih memperbaiki kesejahteraan pribumi, justru menjadi sumber frustrasi baru bagi para petani. Pajak tanah meningkat, kerja paksa untuk pembangunan jalan dan irigasi diberlakukan kembali, dan regulasi baru di bidang kehutanan membatasi akses rakyat terhadap sumber daya alam yang sejak dulu menjadi bagian hidup mereka. Di tengah ketatnya birokrasi desa dan pemusatan kekuasaan pada pejabat-pejabat lokal yang kerap korup, petani tidak lagi melihat adanya ruang aspirasi.

Dalam konteks inilah  Samin Surosentiko tampil sebagai suara alternatif. Ia tidak menyerukan revolusi berdarah, tetapi mengajarkan penolakan pasif. Gerakan Samin menolak membayar pajak uang, menolak kerja bakti, menolak menyapa pejabat Belanda dan priyayi dengan bahasa halus. Mereka memilih menggunakan basa ngoko, bentuk bahasa Jawa kasar, sebagai simbol penolakan atas hierarki kekuasaan feodal dan kolonial.

Dalam praktiknya, ajaran Samin membalikkan seluruh struktur etika sosial masyarakat Jawa. Ketika sopan santun menjadi instrumen dominasi dan kekuasaan, maka kesantunan itu ditolak. Ketika perkawinan Islam menjadi standar birokratik keagamaan kolonial, maka Samin menolak melangsungkan pernikahan secara resmi. Bahkan dalam tafsir religius mereka, Tuhan disebut sebagai "ada di dalam diri", suatu bentuk pemaknaan mistik Jawa yang menolak doktrin luar. Ajaran mereka dikenal sebagai "ilmu Nabi Adam"—sebuah sinkretisme khas tradisi lokal Jawa yang menempatkan kesatuan tubuh, seksualitas, dan keberadaan spiritual dalam satu tafsir dunia.

Ajaran ini berkembang tidak hanya sebagai sekte spiritual, tapi sebagai ideologi ekonomi. Gerakan Samin berpijak pada konsep lama petani mandiri Jawa: sikep. Mereka percaya bahwa tanah, hutan, dan air adalah milik bersama. Namun berbeda dari tuduhan kolonial yang melabeli mereka sebagai "proto-komunis", ajaran Samin justru berpusat pada kepemilikan individual atas hasil kerja: seorang petani tahu mana miliknya dan tidak mengambil milik orang lain. Dalam pembagian panen, mereka menetapkan sistem: tiga perempat untuk pemilik tanah, seperempat untuk pemanen. Ini menunjukkan bahwa gerakan mereka bukanlah gerakan sosialis atau komunalistik dalam arti Eropa, melainkan bentuk pelestarian nilai-nilai ekonomi mandiri petani Jawa sebelum kolonialisme merusaknya.

Di Rembang, antara tahun 1892 hingga 1907, terjadi perubahan signifikan dalam struktur kepemilikan tanah. Tanah milik pribadi mulai meluas, dan di tengah perubahan itu, gerakan Samin berkembang di kalangan petani kelas menengah yang justru cukup makmur. Artinya, mereka bukan pemberontak yang kelaparan, melainkan mereka yang kecewa karena sistem kolonial menggerogoti hak-hak tradisional mereka atas tanah, ternak, dan swasembada ekonomi.

Konflik pun meletus. Di Rembang dan Ngawi, ribuan orang Samin mulai berhadapan langsung dengan administrasi kolonial. Penjara-penjara diisi oleh pengikut Samin. Dalam satu tahun saja, lebih dari 45.000 pelanggaran hukum kehutanan dijatuhkan kepada mereka. Namun represifitas itu tidak mampu menghentikan semangat mereka. Di Madiun, gerakan ini sempat muncul di Desa Jiwan, namun cepat surut setelah tokohnya diasingkan. Berbeda dari Rembang dan Ngawi, struktur tanah komunal dan dominasi perkebunan di Madiun membuat gerakan Samin sulit mengakar.

Meski tidak pernah lebih dari 3.000 keluarga, pengaruh gerakan Samin meluas melebihi jumlah pengikutnya. Simbol-simbol perlawanan pasif, kejujuran, dan kemandirian petani Jawa, termanifestasi dalam frasa legendaris mereka: "Aku tidak memiliki apa-apa selain istri, anak, dan barang milikku." Penolakan mereka terhadap kerja bakti, pajak, dan struktur kekuasaan berbasis paksaan menjadi bukti kuat bahwa gerakan ini adalah bentuk "resistensi sunyi" terhadap sistem kolonial.

Lebih dari seabad berlalu, dan hingga kini di beberapa desa di pinggiran hutan Kabupaten Ngawi, masih hidup sekitar 100 keluarga yang memegang prinsip wong sikep. Mereka tetap menolak struktur kekuasaan luar yang memaksakan nilai, tetap hidup dalam sistem sosial tertutup, dan memelihara etos kejujuran yang ekstrem.

Gerakan Samin bukanlah mitos atau romantisme masa lalu. Ia adalah testimoni hidup tentang bagaimana rakyat kecil memilih jalan sunyi namun bermakna dalam menolak ketidakadilan. Dalam historiografi gerakan rakyat, Saminisme adalah bentuk perlawanan yang tidak bersenjata, tapi tak pernah menyerah. 

Perolehan Medali Porprov Jatim IX 2025

Update: -

No Kota / Kabupaten Emas Perak Perunggu Poin
Total - - - -

Topik

Profil samin surosentiko penolak pajak belanda zaman penjajahan



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya

--- Iklan Sponsor ---