free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Lepasnya Wilayah Mancanegara Timur dari Keraton Mataram Pasca-Perang Diponegoro: Studi Kasus Srengat dan Madiun

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

28 - Dec - 2024, 12:34

Placeholder
Makam Bupati ke-14 Madiun Raden Ronggo Prawirodirdjo I, yang terletak di Kelurahan Taman, Kecamatan Taman, Kota Madiun. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Sejarah Jawa pada abad ke-19 menyimpan dinamika kekuasaan yang kompleks. Salah satu titik balik penting dalam perjalanan politik dan sosial di wilayah ini terjadi pasca-Perang Diponegoro (1825–1830). 

Konflik besar yang melibatkan Pangeran Diponegoro dan pemerintah kolonial Belanda ini tidak hanya mengguncang struktur kekuasaan Mataram, tetapi juga membawa dampak besar bagi daerah-daerah Mancanegara Timur seperti Srengat dan Madiun.

Baca Juga : 7 Pengobatan untuk Asam Urat Secara Efektif yang Wajib Kamu Coba, Terbukti Berhasil!

 Artikel ini mengulas transformasi dramatis di dua wilayah tersebut, dengan menggali dampak kebijakan kolonial terhadap keraton, bupati, dan masyarakat setempat.

Kejayaan Srengat dan Blitar di Bawah Pengaruh Mataram

Srengat, yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Blitar, pernah menjadi wilayah strategis di bawah pengaruh Keraton Mataram. Pada abad ke-18, Srengat berada di bawah kepemimpinan tokoh seperti Adipati Nilasuwarna dan R. Ngabehi Suro Lenggowo, yang membawa wilayah ini ke masa kejayaan. Srengat menjadi pusat administrasi yang penting, terutama setelah Perjanjian Giyanti (1755) yang membagi Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.Sejak tahun 1755, Srengat menjadi bagian dari kabupaten yang berada di bawah kekuasaan Keraton Surakarta. 

Blitar juga memiliki cerita kejayaan di bawah pemerintahan Adipati Arya Balitar. Tetapi wilayah ini memasuki periode kemunduran setelah kematiannya. Kekosongan kekuasaan di Blitar memberikan peluang bagi Srengat untuk menjadi wilayah yang lebih dominan di Jawa Timur. Namun, kejayaan ini tidak berlangsung lama.

Perang Diponegoro dan Awal Kebijakan Kolonial Baru

Perang Diponegoro menjadi momen krusial dalam sejarah Jawa. Konflik selama lima tahun ini menguras sumber daya kerajaan-kerajaan Jawa dan memberikan celah bagi Belanda untuk mengubah tatanan kekuasaan. Salah satu kebijakan penting yang diperkenalkan pasca-perang adalah memutus hubungan antara wilayah Mancanegara Timur dan pusat kekuasaan keraton.

Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch memainkan peran penting dalam perombakan ini. Dengan strategi konservatifnya, ia memastikan bahwa wilayah seperti Srengat dan Madiun tidak lagi memiliki keterkaitan langsung dengan keraton. Kebijakan ini dirancang untuk mencegah kebangkitan kembali kekuatan lokal yang dapat menentang kekuasaan kolonial.

Restrukturisasi Wilayah Srengat dan Bangkitnya Kabupaten Blitar

Srengat, yang sebelumnya menjadi kabupaten penting, kehilangan statusnya akibat kebijakan kolonial. Pada tahun 1834, Srengat resmi menjadi distrik di bawah Residentie Kediri, dan kepala distriknya, seorang wedana, diangkat langsung oleh pemerintah kolonial. Wedana pertama R.M. Sutejo atau Ndoro Tejo, menghadapi tugas berat mengelola wilayah yang mengalami perubahan besar dalam struktur politik dan sosial.

Meskipun demikian, perubahan ini tidak berjalan mulus. Perlawanan muncul dari tokoh seperti Mertodiningrat II, bupati terakhir Srengat yang menolak tunduk pada kebijakan Belanda. Penolakannya terhadap Perjanjian Sepreh di Ngawi pada 1830 menjadi simbol perlawanan terhadap penghapusan otonomi kabupaten oleh Belanda.

Penghapusan Kabupaten Srengat memberikan ruang bagi Blitar untuk bangkit kembali. Belanda memanfaatkan Blitar sebagai pusat administratif baru di wilayah Kediri selatan. Penataan ulang ini melibatkan pembangunan infrastruktur seperti alun-alun, masjid besar, dan fasilitas lain yang menguatkan peran Blitar sebagai pusat pemerintahan.

Bupati persiapan pertama Blitar Mas Bei Partowijoyo memulai proses ini dengan dukungan jaksa dan penghulu lokal. Dalam dua dekade berikutnya, Blitar berubah menjadi kabupaten penting di bawah kendali kolonial.

Madiun: Antara Anti-Mataram dan Otonomi Lokal

Sejak 1755, Madiun menjadi daerah terpenting bagi Kesultanan Yogyakarta di Jawa Timur, dengan bupati Madiun memegang peran istimewa sebagai wedana atau kepala bupati untuk wilayah Mancanegara Timur. Namun, segala perubahan signifikan terjadi pasca-Perang Diponegoro, yang mengubah tatanan politik di wilayah tersebut.

Sementara Srengat mengalami restrukturisasi yang keras, wilayah Madiun menunjukkan dinamika yang berbeda. Para elit lokal di Madiun lebih memilih bersekutu dengan Belanda daripada kembali tunduk pada kekuasaan raja-raja Mataram. Tradisi di kalangan mereka, seperti yang terlihat dalam keluarga Wedana Bupati Raden Ronggo Prawirodiningrat, cenderung memerdekakan diri dari beban-beban yang diberlakukan oleh pemerintahan Mataram seperti pajak tinggi dan kewajiban hadir di istana.

Baca Juga : 7 Obat Alami untuk Mengatasi Sembelit pada Lansia yang Wajib Kamu Coba

Ironisnya, meskipun ada sentimen anti-Mataram ini, banyak dari mereka tetap menjalin hubungan pernikahan dengan keluarga istana dan mengimpor tradisi istana ke kabupaten mereka. Ini menunjukkan bahwa sentimen anti-Mataram mungkin lebih bersifat politis dan strategis daripada ideologis, dengan tujuan utama membangun kekuasaan yang lebih otonom dan stabil.

Kebijakan Van den Bosch dan Prinsip Keturunan

Van den Bosch tidak hanya menghadapi tantangan politik tetapi juga administratif dalam mengendalikan wilayah Mancanegara Jawa. Salah satu kebijakannya adalah mengurangi jumlah kabupaten dan memperkuat sistem bupati turun-temurun. Gelar dan jabatan bupati berada di bawah kendali pemerintah kolonial, dan hanya diberikan kepada mereka yang dianggap memiliki kualifikasi yang memadai.

E. Francis, residen kedua Madiun, mengamati bahwa jumlah bangsawan Jawa yang berlebihan menjadi beban bagi penduduk. Pemerintah Belanda berupaya mengurangi jumlah kabupaten dengan menunggu hingga seorang bupati wafat atau penggantinya dianggap tidak layak. Kebijakan ini diterapkan secara bertahap, sehingga pada tahun 1877, jumlah kabupaten di Keresidenan Madiun berkurang menjadi lima: Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, dan Pacitan.

Di Karesidenan Kediri, Kabupaten Srengat dan Kabupaten Hantang digabung menjadi satu wilayah baru yang dikenal sebagai Kabupaten Blitar. Sementara itu, Kabupaten Ngrowo dan Kabupaten Kalangbret digabung menjadi kabupaten baru bernama Kabupaten Tulungagung. Langkah ini tidak hanya memperkuat kontrol Belanda tetapi juga mengurangi beban ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh sistem pemerintahan tradisional Jawa.

Untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat penghapusan wilayah, Belanda sering memberikan kompensasi kepada keluarga bupati yang wilayahnya dihapuskan. Bentuk kompensasi ini termasuk pensiun yang layak, hak atas kerja bakti, dan prioritas dalam memperoleh posisi di pemerintahan atau pendidikan. Beberapa dari mereka kemudian bekerja sebagai priyayi rendah atau menjadi kepala desa. Namun, janji Belanda untuk mempertahankan hak turun-temurun bupati sering kali dicemooh, karena tidak semua anggota keluarga priyayi mendapatkan posisi yang baik dalam struktur pemerintahan kolonial.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat Jawa mulai terbiasa dengan penurunan status keluarga bangsawan mereka, meskipun hal ini mungkin lebih mengejutkan bagi pihak Belanda. Misalnya, ketika Kabupaten Jogorogo dihapuskan pada tahun 1860, kegelisahan di kalangan priyayi terdengar hingga ke Belanda. Akibatnya, Kementerian Urusan Koloni di Belanda mengeluarkan kebijakan yang melarang Batavia untuk menghapuskan kabupaten lagi tanpa persetujuan mereka, menunjukkan betapa besar dampak kebijakan ini hingga ke tingkat tertinggi pemerintahan kolonial.

Penerapan prinsip turun-temurun dalam pengangkatan bupati di Jawa oleh Belanda selama era kolonial adalah contoh bagaimana kebijakan kolonial sering disesuaikan dengan kebutuhan praktis dan politik. Meskipun prinsip ini diresmikan dalam konstitusi, penerapannya sering kali dilakukan secara fleksibel dan bergantung pada kebutuhan administratif Belanda. Penghapusan kabupaten dan perubahan dalam struktur pemerintahan sering kali memicu ketidakpuasan di kalangan priyayi. Namun, kompensasi yang diberikan oleh Belanda membantu meredakan ketegangan tersebut. Kebijakan ini menggambarkan upaya Belanda untuk menjaga keseimbangan antara kontrol administratif yang kuat dan pelestarian tradisi lokal.

Warisan Sejarah dan Transformasi Sosial

Transformasi wilayah Srengat, Blitar, dan Madiun mencerminkan kompleksitas kebijakan kolonial di Jawa. Dalam upaya memperkuat kendali mereka, Belanda tidak hanya merombak struktur politik tetapi juga mengubah tatanan sosial di wilayah-wilayah ini.

Lepasnya wilayah Keraton Mataram di Mancanegara Timur adalah bukti bagaimana kekuatan kolonial membentuk ulang Jawa sesuai kebutuhan politik mereka. Meskipun demikian, daerah-daerah seperti Blitar dan Madiun mampu menavigasi perubahan ini dengan cara yang unik, membangun kembali identitas mereka di tengah tekanan kolonial.

Kisah ini menjadi pengingat tentang bagaimana sejarah tidak hanya dibentuk oleh kekuatan besar tetapi juga oleh perlawanan, adaptasi, dan inovasi lokal yang terjadi di tingkat kabupaten. Transformasi Srengat dan Madiun adalah bagian dari narasi yang lebih besar tentang perjuangan untuk bertahan di tengah dinamika kolonialisme dan modernitas.

 


Topik

Serba Serbi Sejarah Madiun sejarah Blitar Kerajaan Mataram kolonial Belanda



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy