free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Membongkar Kebenaran Dua Tokoh Palsu Syekh Siti Jenar dan Meluruskan Sejarahnya

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

25 - Dec - 2024, 15:39

Placeholder
Foto kanan: Situs Tri Tingal di Desa Purworejo, Sanankulon, Blitar, dipercaya menjadi lokasi pertemuan tiga tokoh penting: Syech Siti Jenar, Ki Ageng Kebo Kenongo, dan Sunan Kalijaga.Foto kanan: Ilustrasi Syech Siti Jenar. (Foto : Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Syekh Siti Jenar, salah satu tokoh besar dalam sejarah tasawuf di Indonesia, telah lama menjadi subjek kontroversi. Dalam sejarah yang berliku-liku, nama Syekh Siti Jenar sering kali tercampur dengan kebingungan, terutama terkait dengan ajaran-ajaran yang disebarkan oleh beberapa tokoh yang mengaku sebagai penerusnya. 

Salah satu hal yang masih sering diperdebatkan adalah sejauh mana ajaran Syekh Siti Jenar benar-benar berakar pada spiritualitas Islam yang murni, dan seberapa banyak ajarannya disalahpahami atau diselewengkan oleh mereka yang ingin memanfaatkan nama besar ini untuk tujuan pribadi. 

Baca Juga : Polri Tangkap 18 Polisi Terkait Pemerasan Warga Malaysia di Konser DWP, 45 Korban Teridentifikasi

Dalam konteks ini, dua tokoh yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar—Hasan Ali dan San Ali Anshar—menjadi fokus penting dalam meluruskan sejarah sang tokoh besar tersebut.

Biografi Syekh Siti Jenar

Syekh Siti Jenar, atau yang memiliki nama asli Abdul Jalil, merupakan salah satu ulama terkemuka di abad 15-16 yang kisah hidupnya telah menjadi bahan cerita dalam berbagai naskah klasik. Kisah-kisah tersebut, meskipun menjadi referensi utama bagi sejarawan dalam merekonstruksi kehidupan Syekh Siti Jenar, seringkali dipenuhi dengan unsur tendensius yang mengarah pada citra buruk tentangnya.

Dalam berbagai naskah, Syekh Siti Jenar digambarkan sebagai sosok yang membangkang terhadap Kesultanan Demak dan mengajarkan ajaran-ajaran yang dianggap sesat dan jauh dari syariat. Akibatnya, Dewan Wali Sanga menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Namun, di balik kisah yang cenderung kontroversial ini, terdapat perjalanan hidup Syekh Siti Jenar yang sangat menarik untuk diulas.

Cerita tentang kelahiran Syekh Siti Jenar beragam dan disampaikan dalam beberapa sumber, seperti Babad Demak dan Babad Tanah Jawi. Dalam naskah-naskah tersebut, dikisahkan bahwa Syekh Siti Jenar lahir dari seekor cacing yang bermetamorfosa menjadi manusia. Cerita ini disampaikan setelah Sunan Bonang memberikan ilmu hakikat kepada Sunan Kalijaga di atas perahu yang tengah mengapung di danau. 

Saat perahu berlubang, segenggam tanah liat yang digunakan untuk menambalnya mengandung seekor cacing, yang kemudian berubah menjadi Syekh Siti Jenar. Meskipun cerita ini terkesan simbolis, naskah tersebut memberi citra bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari makhluk hina, baik pada saat kelahiran maupun kematiannya, yang digambarkan bertransformasi menjadi anjing kurap.

Berbeda dengan kisah kelahiran yang penuh dengan simbolisme, analisis sejarah yang lebih mendalam menunjukkan asal-usul Syekh Siti Jenar yang lebih masuk akal. Menurut Mulkhan (2015), Syekh Siti Jenar adalah sepupu dari Syekh Nurjati, seorang ulama besar di Cirebon yang juga merupakan guru dari pendiri Kesultanan Cirebon, Sunan Gunung Jati. Sholikhin (20014) juga menyebutkan bahwa pada tahun 1425, seorang ulama dari Malaka, Datuk Shaleh, bersama istrinya yang sedang hamil, menetap di Cirebon. Setelah kelahiran Siti Jenar, Datuk Shaleh wafat dan Siti Jenar dibesarkan oleh Syekh Nurjati dan para ulama lainnya di Cirebon.

Rasa haus akan ilmu mendorong Siti Jenar untuk melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah. Naskah Negara Kertabhumi menceritakan bahwa ia menghabiskan 17 tahun di Bagdad dan Persia, mendalami berbagai aliran ilmu agama, termasuk tasawuf. Di sana, ia berguru pada banyak ulama, termasuk mengkaji ajaran tasawuf yang diperkenalkan oleh Al-Hallaj. Ajaran-ajaran ini memberi pengaruh besar dalam perjalanan intelektualnya, dan Siti Jenar bahkan menikahi anak dari gurunya, Abdul Malik Al-Bagdadi.

Setelah puas menuntut ilmu di Timur Tengah, Syekh Siti Jenar kembali ke Cirebon dan bergabung dengan Syekh Nurjati untuk mengembangkan Pesantren Giri Amparan Jati. Pada saat Syekh Nurjati wafat, Siti Jenar menolak untuk menjadi pengganti langsung dan lebih memilih untuk membentuk dewan guru yang terdiri dari para murid utama Syekh Nurjati. Salah satu anggota dewan ini adalah Syarif Hidayatullah, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.

Setelah itu, Syekh Siti Jenar mendirikan Pesantren Lemah Abang di Japura. Pesantren ini fokus pada pendidikan tasawuf, dengan pendekatan yang lebih mutakhir dalam hal metode pembelajaran. Pesantren Lemah Abang menarik banyak santri dari berbagai daerah, dan dalam waktu singkat, Siti Jenar menjadi ulama yang sangat dihormati di Pasundan, Jawa, dan daerah lainnya. Beliau juga aktif berdakwah ke berbagai pelosok, termasuk ke Karawang dan Bekasi.

Syekh Siti Jenar terus mengembangkan pesantren-pesantren cabang dan menjadi sosok penting dalam perkembangan Islam di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Namun, meskipun berhasil dalam mendakwahkan ajaran Islam, terutama tasawuf, pengajaran yang dianggap menyimpang dari syariat menyebabkan ketegangan dengan penguasa Islam di Demak, yang pada akhirnya mengarah pada konflik fatal yang berujung pada eksekusi terhadap dirinya.

Syekh Siti Jenar adalah salah satu tokoh yang penuh misteri dan kontroversi dalam sejarah Islam di Indonesia. Kisah hidupnya, meskipun dipenuhi dengan spekulasi dan kisah yang tendensius, tetap menyisakan jejak yang mendalam dalam perkembangan ajaran tasawuf dan dakwah Islam di tanah Jawa.

San Ali Anshar: Pelaku Penyesatan dalam Nama Syekh Siti Jenar

San Ali Anshar, yang dihukum mati di wilayah kekuasaan Demak, adalah salah satu contoh pertama penyalahgunaan nama Syekh Siti Jenar. San Ali Anshar, dengan caranya yang khas, mengaku sebagai  Syekh Siti Jenar. Ia memanfaatkan kebingungan yang timbul dari kontroversi ajaran Siti Jenar untuk menyebarkan ajaran yang menyimpang jauh dari ajaran asli. Keberadaan San Ali Anshar menciptakan kegelisahan di kalangan masyarakat, mengaburkan pemahaman tentang ajaran tauhid yang sebenarnya diajarkan oleh Syekh Siti Jenar.

Di tengah kebingungan ini, para pengikut San Ali Anshar tertarik dengan ajaran-ajarannya yang menggoda dan mudah diterima. Namun, bagi banyak orang, ajaran San Ali Anshar yang lebih berfokus pada pencapaian kekuasaan duniawi melalui sihir dan praktik mistik lebih dekat dengan tradisi esoterik dan sihir, jauh daripada ajaran spiritual Islam yang murni yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Ajaran ini menjadi bertentangan dengan tauhid dan agama yang diajarkan oleh Wali Songo, sehingga wajar jika kemudian San Ali Anshar mendapat hukuman mati.

Hasan Ali: Tokoh yang Memanipulasi Identitas dan Ajaran Syekh Siti Jenar

Tokoh kedua yang berperan dalam kebingungan sejarah Syekh Siti Jenar adalah Hasan Ali. Berbeda dengan San Ali Anshar yang berada di wilayah Demak, Hasan Ali memulai perjalanan hidupnya di Cirebon. Sebagai seorang yang memiliki latar belakang keluarga bangsawan, ia berusaha untuk mengukuhkan diri sebagai pemimpin spiritual dengan mengadopsi identitas Syekh Siti Jenar.

Hasan Ali yang berasal dari keluarga Rsi Bungsu di Cirebon, sejak awal berkonflik dengan Syekh Siti Jenar. Setelah menolak agama Islam dan mengikuti jalan mistik dalam ajaran nenek moyangnya, ia melarikan diri dan berguru kepada berbagai tokoh yang berfokus pada ilmu kebatinan dan kesaktian. Dalam pencariannya, ia akhirnya bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang memberinya nama baru: Hasan Ali.

Baca Juga : Bolehkah Muslim Ikut Berbelanja Memakai Diskon Natal? Ini Kata Buya Yahya

Namun, alih-alih mendalami ajaran Islam secara murni, Hasan Ali lebih tertarik pada elemen-elemen mistik yang membingungkan ajarannya. Ia kemudian kembali ke Cirebon dan menyebarkan ajaran-ajaran yang bercampur antara ilmu kebatinan, kanuragan, dan sihir. Dengan pendekatan ini, Hasan Ali berhasil menarik banyak pengikut, yang sebagian besar adalah masyarakat awam yang tertarik pada ajaran yang menawarkan "jalan cepat" menuju pemenuhan kebutuhan duniawi dan spiritual mereka.

Ajaran Hasan Ali yang terkesan "mudah" ini sangat bertentangan dengan ajaran Syekh Siti Jenar, yang lebih menekankan pada pemurnian spiritual melalui penegasan "Aku" sebagai upaya untuk menafikan ego diri menuju pemahaman sejati tentang Tuhan. Sementara itu, Hasan Ali menekankan penguatan "aku" sebagai titik awal dari hubungan manusia dengan Tuhan, sebuah ajaran yang jauh dari pemahaman yang lebih dalam tentang kesatuan Tuhan dan manusia yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar.

Perbedaan Mendasar antara Ajaran Syekh Siti Jenar dan Ajaran Hasan Ali

Perbedaan mendasar antara ajaran Hasan Ali dan Syekh Siti Jenar terletak pada pemahaman tentang "aku" dan "Aku." Syekh Siti Jenar mengajarkan bahwa untuk mencapai pemahaman sejati tentang Tuhan, seseorang harus menghilangkan ego atau "aku" dalam dirinya, sementara Hasan Ali lebih menekankan pentingnya memperkuat "aku" sebagai langkah untuk meraih kekuatan ilahi.

Syekh Siti Jenar menghindari lamunan kosong dan angan-angan, yang dianggap sebagai penghalang untuk mencapai pencerahan sejati. Sebaliknya, Hasan Ali menjadikan lamunan dan angan-angan sebagai alat untuk mencapai "kebenaran sejati," yang menunjukkan betapa ajarannya bercampur aduk antara spiritualitas dan praktik-praktik mistik yang lebih bersifat duniawi.

Syekh Siti Jenar Palsu Dihukum Mati

Penyimpangan ajaran yang mengatasnamakan Syekh Siti Jenar mengarah pada penentangan dan perpecahan di kalangan umat. Wali Songo, yang terdiri dari tokoh-tokoh besar seperti Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, dan Sunan Gunung Jati, merasa perlu untuk mengoreksi ajaran yang keliru dan mengembalikan umat kepada ajaran yang benar. Mereka melakukan dakwah dan memberikan pencerahan, agar umat memahami ajaran Syekh Siti Jenar yang sesungguhnya, dengan memperkenalkan sanad yang sah sebagai dasar ajaran yang benar.

Namun, dalam perjalanan sejarah, ada pengikut yang mengklaim diri mereka sebagai Syekh Siti Jenar, seperti Hasan Ali dan San Ali Anshar. Mereka memperkenalkan ajaran yang lebih menyimpang dan tidak sesuai dengan prinsip ajaran tasawuf yang sah. Akibatnya, kedua tokoh tersebut dijatuhi hukuman mati oleh Wali Songo, dengan pelaksanaan hukuman dilakukan oleh Sunan Kalijaga di Cirebon untuk Hasan Ali, dan oleh Sunan Gunung Jati di Demak untuk San Ali Anshar. Keputusan ini diambil sebagai langkah tegas untuk menghentikan penyebaran ajaran palsu yang dapat menyesatkan umat.

Meskipun demikian, dalam perkembangan sejarah, tuduhan sesat terhadap Syekh Siti Jenar akhirnya dicabut, dan ia dihormati sebagai seorang guru besar dalam tradisi tasawuf Jawa. Pengajaran yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar tentang makrifat dan ilmu batiniah tetap menjadi bagian penting dalam warisan spiritual masyarakat Jawa, meskipun ajaran yang mengatasnamakan dirinya terkadang mengarah pada penyimpangan. Seiring berjalannya waktu, cerita tentang Syekh Siti Jenar, meskipun penuh dengan kontroversi dan fitnah, tetap dianggap sebagai bagian dari hikmah besar dalam perjalanan spiritual di Jawa.

Memulihkan Nama Syekh Siti Jenar dan Menegakkan Kebenaran Sejarah

Kesimpulannya, berbagai informasi yang berkembang mengenai Syekh Siti Jenar tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dua tokoh yang mengaku sebagai dirinya—Hasan Ali dan San Ali Anshar. Meskipun pada awalnya Dewan Wali Songo menganggap ajaran Syekh Siti Jenar sesat, penyelidikan lebih lanjut mengungkapkan bahwa bukan Syekh Siti Jenar yang menyimpang, melainkan dua tokoh ini yang telah menyesatkan banyak orang dengan ajaran palsu yang mereka sebarkan.

Dengan demikian, penyelidikan yang dilakukan oleh Dewan Wali Songo dan keputusan untuk menghukum mati Hasan Ali dan San Ali Anshar adalah langkah yang diperlukan untuk mengembalikan pemahaman yang benar tentang ajaran Syekh Siti Jenar. Namun, sejarah yang berkembang seringkali lebih mudah mengingat nama besar yang tercemar daripada menelisik kembali ke kebenaran yang sebenarnya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mempelajari sejarah ini dengan lebih teliti, membedakan antara fakta dan mitos, serta meluruskan ajaran yang telah disalahpahami.

Sebagai bagian dari warisan spiritual Indonesia, ajaran Syekh Siti Jenar harus dilihat dengan lebih jernih dan dipahami dalam konteks yang benar, bukan melalui filter kebingungan dan penyelewengan yang dilakukan oleh mereka yang mengaku sebagai penerusnya. Dengan demikian, kita dapat memulihkan nama besar Syekh Siti Jenar dan menghormati kontribusinya dalam perkembangan spiritualitas di tanah Jawa.

Akhir Hayat Syekh Siti Jenar

Syekh Siti Jenar, setelah melalui berbagai kontroversi dan tuduhan, akhirnya meninggal dunia dengan cara yang wajar, jauh dari spekulasi dan fitnah yang sebelumnya mengelilinginya. Perjalanan hidupnya yang penuh dengan ajaran spiritual dan tasawuf tetap meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah keagamaan Jawa. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang detil akhir hayatnya dan warisan yang ditinggalkannya, kami akan mengulasnya dalam artikel selanjutnya. Ikuti terus tulisan-tulisan kami di JatimTimes.com untuk informasi dan cerita menarik lainnya.


Topik

Serba Serbi Syekh Siti Jenar Abdul Jalil cerita syekh Siti Jenar masa sunan



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya