JATIMTIMES - Pada awal abad ke-20, Jogjakarta sebagai salah satu pusat Vorstenlanden di Hindia Belanda tengah bergerak menuju modernisasi. Salah satu simbol perubahan ini adalah munculnya kebutuhan akan bahan bakar untuk kendaraan bermotor.
Namun, di tengah peningkatan jumlah mobil yang masih terbatas pada era itu, hanya ada satu tanda kecil pada peta tahun 1925 yang menandakan keberadaan fasilitas penyimpanan minyak. Titik biru itu sederhana namun signifikan, menjadi penanda awal keberadaan depot minyak yang kemudian diyakini sebagai cikal bakal pom bensin pertama di Jogja.
Baca Juga : 7 Cara Mengatasi Kram Kaki dengan Obat Alami yang Efektif dan Ampuh
Titik itu berada di sekitar Lempuyangan, salah satu wilayah penting dalam perkembangan infrastruktur Kota Jogjakarta pada masa kolonial. Pertanyaannya, mengapa lokasi ini menjadi titik awal distribusi bahan bakar di kota Jogja? Mengapa keberadaan depot ini terkait erat dengan jalur rel kereta api dan keberadaan BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij), perusahaan minyak Belanda yang menjadi cikal bakal Pertamina? Jawaban atas pertanyaan ini membawa kita ke cerita menarik tentang bagaimana minyak bumi dan modernisasi saling berkelindan dalam sejarah Yogyakarta.
BPM dan Distribusi Bahan Bakar ke Vorstenlanden
Pada awal abad ke-20, Hindia Belanda menjadi salah satu pusat eksploitasi minyak bumi di dunia. BPM, yang berdiri pada tahun 1907 sebagai perusahaan minyak hasil kerja sama antara Royal Dutch dan Shell, memegang peran penting dalam distribusi minyak bumi di wilayah ini. Salah satu ladang minyak utama BPM berada di Pangkalan Berandan, Deli, di Sumatra Timur.
Minyak dari Pangkalan Berandan dikapalkan menuju pelabuhan Samarang (kini Semarang) di pesisir utara Jawa. Dari sana, minyak diangkut menggunakan kereta api menuju daerah pedalaman Jawa, termasuk ke Vorstenlanden—Jogjakarta dan Surakarta. Mengingat pentingnya kereta api sebagai sarana distribusi, lokasi-lokasi penyimpanan minyak (petroleum reservoirs) pun dibangun di dekat jalur rel.
Dalam peta tahun 1925, titik biru yang tertulis sebagai “petroleum reservoirs” di sekitar Lempuyangan menunjukkan posisi penting ini. Jalur rel kereta api yang melintas di sekitar Argolubang, seperti terlihat dalam peta lama, menjadi bukti bahwa distribusi minyak ke depot ini dilakukan langsung dari Semarang. Posisi ini strategis untuk menyuplai kebutuhan bahan bakar di Kota Jogja yang mulai dihuni kendaraan bermotor, meskipun jumlahnya masih sangat terbatas.
Mobilitas dan Awal Mula Kendaraan Bermotor
Pada 1920-an, kendaraan bermotor masih menjadi barang mewah di Hindia Belanda. Penggunaan mobil lebih banyak terbatas pada kalangan elite pribumi, pejabat kolonial, dan pengusaha kaya. Di Jogja, kendaraan bermotor mulai menjadi bagian dari modernisasi perkotaan, meski infrastrukturnya masih dalam tahap awal.
Tercatat bahwa pada masa itu, jumlah mobil di Yogyakarta hanya puluhan unit. Dengan kebutuhan bahan bakar yang masih kecil, wajar jika fasilitas penyimpanan minyak masih berstatus depot minyak sederhana, bukan pom bensin dalam pengertian modern. Titik biru pada peta 1925 mencerminkan situasi ini—bukan pom bensin yang melayani publik luas, melainkan sebuah titik distribusi bahan bakar yang penting secara logistik.
Depot minyak ini melayani kebutuhan kendaraan bermotor yang digunakan oleh kalangan elite serta berbagai aktivitas industri dan administrasi pemerintahan kolonial. Seiring waktu, saat jumlah kendaraan bermotor meningkat pada dekade 1930-an, mulai muncul fasilitas pom bensin di lokasi-lokasi strategis lainnya di Yogyakarta.
Mengapa Lempuyangan?
Lempuyangan, sebagai salah satu kawasan penting di Jogjakarta, memiliki beberapa alasan kuat mengapa depot minyak pertama ditempatkan di sini. Pertama, kawasan ini berdekatan dengan Stasiun Kereta Api Lempuyangan, di mana jalur kereta api menjadi nadi utama distribusi minyak bumi dari pelabuhan Samarang menuju pedalaman Jawa. Kedekatan dengan stasiun tersebut memungkinkan distribusi minyak berlangsung lebih cepat dan efisien. Kedua, pada masa kolonial, Lempuyangan telah berkembang menjadi pusat aktivitas ekonomi dan industri di Djokja. Keberadaan depot minyak di kawasan ini semakin mendukung pertumbuhan ekonomi yang tengah berlangsung. Ketiga, lokasi Lempuyangan yang strategis memudahkan distribusi minyak ke berbagai titik di Kota Jogjakarta, sesuai dengan kebutuhan pada masa itu.
Pom Bensin Modern: Perkembangan Selanjutnya
Seiring pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor pada dekade 1930-an, kebutuhan akan fasilitas pom bensin pun semakin mendesak. Dari catatan visual dan dokumentasi sejarah, pom bensin modern pertama di Jogja mulai muncul di sekitar kawasan Loji Gedhe atau sebelah selatan Benteng Vredeburg, dekat titik nol kilometer Jogjakarta. Lokasi ini menjadi titik sentral bagi masyarakat Jogja, baik dari segi ekonomi, pemerintahan, maupun mobilitas.
Pom bensin tersebut melayani kebutuhan bahan bakar kendaraan bermotor yang semakin meningkat, baik untuk keperluan pribadi maupun operasional pemerintahan kolonial. Dengan perkembangan ini, peran depot minyak di Argolubang mulai tergeser, meskipun depot tersebut masih berfungsi hingga awal 1990-an sebelum akhirnya dipindahkan ke Rewulu.
Depot BBM Argolubang: Jejak yang Menghilang
Baca Juga : Gerakan ASN Belanja ke Pasar Tradisional: Strategi Pemkab Blitar Dongkrak Ekonomi Rakyat
Depot minyak Argolubang, yang menjadi saksi bisu awal distribusi bahan bakar di Jogja, bertahan selama lebih dari enam dekade. Namun, pada awal 1990-an, kebutuhan infrastruktur yang lebih modern dan efisien membuat fasilitas ini dipindahkan ke Rewulu. Meskipun depotnya telah dibongkar, pom bensin di lokasi ini masih bertahan, melayani masyarakat yang semakin membutuhkan bahan bakar di era modern.
Bagi sebagian warga Jogja, terutama generasi tua, depot minyak Argolubang masih menyisakan kenangan. Ada cerita tentang bagaimana mereka dahulu “mengisi bensin mrene” dan kemudian bersantai menikmati lotek di sekitar teteg sepur—jembatan kereta api yang melintang di kawasan tersebut. Cerita-cerita kecil ini menjadi bagian dari ingatan kolektif masyarakat Jogja tentang awal mula modernisasi di kota mereka.
Titik Biru yang Menjadi Sejarah
Jejak kecil dalam peta 1925 yang hanya berupa titik biru bertuliskan “petroleum reservoirs” ternyata menyimpan cerita panjang tentang bagaimana bahan bakar minyak pertama kali masuk ke Jogja. Titik itu menjadi saksi bisu awal mula modernisasi kota, ketika kendaraan bermotor masih menjadi barang langka dan minyak bumi masih didistribusikan dengan kereta api dari pelabuhan Samarang.
Lokasi Lempuyangan sebagai pusat distribusi minyak pertama bukanlah kebetulan. Keberadaan jalur rel kereta api, aktivitas ekonomi yang berkembang, dan posisi strategis kawasan ini menjadikannya pilihan logis untuk sebuah depot minyak. Seiring waktu, kebutuhan bahan bakar yang meningkat memunculkan pom bensin modern di titik-titik strategis lain, seperti kawasan Loji Gedhe dan Benteng Vredeburg.
Kini, depot minyak di Argolubang tinggal kenangan, tetapi jejaknya tetap hidup dalam ingatan sejarah kota Djokja. Sebuah titik biru di peta lama menjadi pengingat bagaimana modernisasi perlahan merambah kota ini, mengubah wajah Yogyakarta dari sebuah kota tradisional menjadi pusat aktivitas ekonomi dan mobilitas di era kolonial. Bagi generasi tua, kenangan itu masih membekas—tentang sebuah masa ketika mengisi bensin adalah pengalaman yang tidak biasa, dan lotek di bawah jembatan kereta api menjadi pelengkap cerita sehari-hari.
Titik biru kecil itu, dalam peta 1925, bukan hanya sekadar penanda. Ia adalah simbol perubahan besar yang datang secara perlahan, namun pasti. Sebuah cerita yang membuktikan bahwa sejarah selalu dimulai dari hal-hal kecil yang mungkin terlihat sepele, tetapi kelak menjadi saksi dari sebuah transformasi kota dan masyarakat.