JATIMTIMES - Kanjeng Ratu Mas Hadi atau Bendara Raden Ajeng Dyah Banowati adalah figur yang menempati posisi sentral dalam lingkaran kekuasaan Mataram Islam. Sebagai permaisuri Panembahan Hanyakrawati (Raden Mas Jolang), raja kedua Mataram, serta ibu dari Sultan Agung Hanyakrakusumo, sosoknya tidak hanya berperan sebagai penghubung silsilah keluarga raja-raja Mataram, tetapi juga menjadi simbol kesinambungan legitimasi dinasti yang kuat dalam sejarah Jawa.
Dalam jejaknya yang panjang, nama Kanjeng Ratu Mas Hadi berdampingan dengan dua sosok penting: suami pertamanya Panembahan Hanyakrawati, dan suami keduanya, Panembahan Juminah.
Baca Juga : Takdir Pangeran Timur: Mewarisi Demak, Bertahan di Pajang, Ditaklukkan Mataram
Tampilnya Pangeran Rangsang: Peran Strategis Ratu Mas Hadi Dyah Banowati
Tampilnya Pangeran Rangsang sebagai raja Mataram tidak dapat dipisahkan dari sosok ibundanya, Kanjeng Ratu Mas Hadi Dyah Banowati. Di tengah krisis suksesi yang terjadi pada tahun 1613, Ratu Mas Hadi memainkan peran sentral dalam memengaruhi keputusan politik. Sebagai putri Kasultanan Pajang, Ratu Mas Hadi aktif melobi Panembahan Hanyakrawati—suaminya sekaligus pemegang takhta Mataram—agar memilih Rangsang sebagai penerus, alih-alih Wuryah, putra mahkota dari permaisuri Ratu Lungayu yang berasal dari Ponorogo.
Lobi politik Ratu Mas Hadi terbukti efektif. Dengan pengaruhnya yang kuat, Hanyakrawati akhirnya mengeluarkan fatwa yang menggeser kedudukan Wuryah dari posisi putra mahkota. Pergantian ini dilakukan melalui mekanisme yang mirip dengan pergantian antarwaktu (PAW). Kedudukan Wuryah sebagai pewaris takhta dicabut dan digantikan oleh kakaknya, Pangeran Rangsang.
Selain bergerak di lingkaran dalam istana, Ratu Mas Hadi juga menjalin komunikasi erat dengan tokoh-tokoh berpengaruh di Mataram. Dua tokoh kunci yang menjadi target pendekatannya adalah Pangeran Purbaya dan Pangeran Mangkubumi, adik tiri Hanyakrawati yang memiliki posisi strategis. Pasca wafatnya Hanyakrawati, Pangeran Purbaya tampil sebagai tokoh utama yang memastikan transisi kekuasaan berjalan sesuai kehendak Ratu Mas Hadi.
Purbaya tidak hanya memberikan dukungan politik, tetapi juga mengeluarkan ancaman tegas kepada siapa saja yang menentang pengangkatan Rangsang. “Mati apa mukti”—hidup mulia mendukung Rangsang atau mati melawan—menjadi slogan perlawanan terhadap oposisi. Dengan posisi Purbaya sebagai Panglima Tentara Nasional Kerajaan Mataram, tidak ada yang berani melawan.
Oposisi berhasil ditekan, dan segala bentuk pembangkangan segera ditindak dengan tegas. Bahkan, tuduhan kriminal seperti melawan penguasa sah kerap digunakan untuk membungkam pihak yang menolak keputusan ini. Purbaya pula yang bertindak sebagai ketua mahkamah keraton—semacam Mahkamah Konstitusi—yang menetapkan lengsernya Wuryah dari posisinya sebagai Adipati Martapura, pemegang takhta Mataram selama satu hari.
Di luar lobi politik yang dilakukan oleh Ratu Mas Hadi, Panembahan Hanyakrawati konon juga menerima petunjuk spiritual. Pesan itu datang dari Panembahan Tembayat, seorang tokoh sufi berpengaruh pada masa itu. Panembahan Tembayat menegaskan, jika Mataram ingin menjadi kerajaan besar yang berkuasa di seluruh Jawa, maka Hanyakrawati harus memilih Rangsang sebagai penerus takhta.
Pesan ini sangat memengaruhi keputusan Hanyakrawati, karena ia teringat pada ramalan yang pernah disampaikan oleh Kanjeng Sunan Giri Prapen, seorang wali kharismatik dari Gresik. Ramalan tersebut menyebutkan bahwa keturunan Ki Ageng Pemanahan akan menjadi raja besar di Jawa, dan Mataram akan mewarisi kejayaan yang melebihi induknya, Kerajaan Pajang.
Secara garis keturunan, Ratu Mas Hadi Dyah Banowati adalah putri Pajang. Ayahnya, Pangeran Benawa, merupakan raja kedua Kasultanan Pajang yang bergelar Sultan Prabuwijaya, menggantikan Sultan Hadiwijaya. Sementara itu, Hanyakrawati—suami Ratu Mas Hadi—adalah putra Panembahan Senopati dari permaisuri Ratu Mas Waskita Jawi, putri Ki Penjawi dari Pati. Dengan demikian, darah Mataram dari garis ayah dan darah Pajang dari garis ibu bertemu dalam sosok Rangsang.
Keistimewaan garis keturunan inilah yang kemudian menjadi simbol kekuatan politik dan legitimasi Sultan Agung Hanyakrakusuma sebagai penguasa besar. Bagi masyarakat Jawa pada masa itu, penyatuan dua garis keturunan ini memiliki makna spiritual dan politis yang mendalam. Mataram, sebagai penerus Pajang, dianggap memiliki kewajiban historis untuk menyatukan tanah Jawa di bawah satu panji kekuasaan.
Dengan dukungan politik Ratu Mas Hadi, ketegasan Pangeran Purbaya, serta restu dari tokoh-tokoh spiritual seperti Panembahan Tembayat, Rangsang akhirnya naik takhta sebagai Sultan Agung Hanyakrakusuma. Keputusan ini tidak hanya mengakhiri krisis suksesi yang sempat mengguncang Mataram, tetapi juga menandai awal dari masa kejayaan Kesultanan Mataram. Sultan Agung kemudian memimpin Mataram menuju puncak kejayaannya, mengukuhkan posisinya sebagai raja besar yang namanya abadi dalam sejarah tanah Jawa.
Asal Usul Keturunan Ratu Mas Hadi
Terlahir dengan nama Bendara Raden Ajeng Dyah Banowati, Ratu Mas Hadi berasal dari garis keturunan terhormat. Ia adalah canggah dari Sunan Kalijaga, wali besar dalam sejarah Islam di Jawa, dan cucu Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir), penguasa Pajang, melalui putranya yang terkenal, Pangeran Benowo.
Sunan Kalijaga memiliki tiga istri, yakni Dewi Sarah, Siti Zaenab, dan Siti Hafsah. Diketahui, Siti Zaenab adalah putri Sunan Gunungjati dari Cirebon, sementara Siti Hafsah adalah putri Sunan Ampel Denta dari Surabaya. Dari pernikahan dengan Siti Zaenab, putri Syech Siti Jenar, Sunan Kalijaga memiliki tiga putra, termasuk Ratu Pembayun, yang kemudian menikah dengan Sultan Trenggana, raja kedua Demak. Dari pernikahan ini, lahirlah Ratu Mas Cempaka, yang kemudian menjadi permaisuri Sultan Hadiwijaya Pajang dan melahirkan Pangeran Benawa.
Pangeran Benawa, yang merupakan raja Pajang kedua, selanjutnya menurunkan Ratu Mas Mas Hadi, yang menikah dengan Hanyakrawati dan melahirkan Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Selain Ratu Mas Cempaka, anak Sultan Trenggana dan Ratu Pembayun, yakni Pangeran Timur, menjadi Panembahan Madiun dan menurunkan Retno Dumilah. Retno Dumilah kemudian menikahi Senopati, yang melahirkan Panembahan Juminah, paman tiri Sultan Agung. Setelah menjadi janda, Ratu Hadi menikah dengan Juminah dan melahirkan Pangeran Balitar. Pangeran Balitar menurunkan Kanjeng Ratu Mas Balitar, yang nantinya menikah dengan Susuhunan Paku Buwana I, yang menurunkan Sunan Amangkurat IV.
Sunan Amangkurat IV adalah ayah dari Pangeran Mangkunegara Kartasura, yang menurunkan RM Said, yang kemudian bertakhta sebagai KGPAA Mangkunegara I, pendiri Kadipaten Mangkunegaran. Selain itu, Pangeran Prabasuyasa, yang menjadi raja Mataram dengan gelar Susuhunan Paku Buwono II, juga merupakan keturunan dari alur ini. Pangeran Mangkubumi, yang kelak menjadi pendiri Keraton Ngayogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I, juga merupakan bagian dari silsilah keluarga ini. Dengan demikian, Ratu Mas Hadi dapat dikatakan sebagai leluhur raja-raja Mataram, serta penguasa-penguasa Surakarta dan Ngayogyakarta, yang memiliki pengaruh besar dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa.
Baca Juga : Sempat Buat Celaka Pengendara, Polisi Tidur di Kota Malang Dibenahi
Pernikahan Ratu Mas Hadi
Pernikahan Ratu Mas Hadi dengan Panembahan Hanyakrawati melahirkan empat anak, di antaranya Raden Mas Djatmiko, yang kelak dikenal sebagai Sultan Agung Hanyakrakusumo. Sultan Agung adalah salah satu raja terbesar dalam sejarah Mataram Islam yang berhasil memimpin kerajaan mencapai puncak kejayaan dan mempertahankan legitimasi kekuasaan hingga akhir hayatnya. Selain Sultan Agung, keturunan Ratu Mas Hadi yang lain—Ratu Mas Pandansari, Ratu Sekar, dan Pangeran Adipati Pamenang—juga memainkan peran penting dalam pembentukan jaringan kekuasaan di Jawa, baik melalui perkawinan politik maupun peran administratif.
Setelah wafatnya Panembahan Hanyakrawati, Ratu Mas Hadi dinikahkan kembali oleh Sultan Agung dengan Pangeran Juminah, adik almarhum suaminya. Pernikahan ini memiliki dua dimensi signifikan. Secara politik, pernikahan tersebut memperkuat hubungan internal keluarga raja Mataram, mencegah perpecahan yang bisa saja timbul akibat perebutan pengaruh. Secara pribadi, pernikahan ini menunjukkan kedudukan Ratu Mas Hadi yang begitu dihormati, tidak hanya sebagai ibu dari Sultan Agung, tetapi juga sebagai simbol keteguhan dinasti.
Dari pernikahannya dengan Panembahan Juminah, lahirlah anak-anak yang juga berperan dalam kesinambungan dinasti. Salah satunya adalah Pangeran Adipati Balitar, leluhur dari garis keturunan yang melahirkan tokoh-tokoh penting seperti Pangeran Balitar Tumapel III dan Ratu Mas Blitar. Melalui Raden Ayu Kajoran, garis keturunan Ratu Mas Hadi juga tersambung dengan Sunan Amangkurat I dan Sunan Pakubuwana I, menandai pengaruh luasnya yang melampaui generasi.
Panembahan Juminah: Pelindung dan Pembangun Makam Giriloyo
Pangeran Juminah, yang kemudian bergelar Panembahan Juminah, memiliki kedudukan istimewa di Mataram. Ia bukan hanya paman dan ayah tiri Sultan Agung, tetapi juga tokoh kepercayaan yang sering mendampingi raja dalam perjalanan militer dan proyek-proyek politik. Meski bukan panglima besar, Juminah tercatat ikut serta dalam serangan besar ke Batavia pada 1628 dan 1629, yang meskipun gagal, tidak mempengaruhi kedudukannya sebagai anggota keluarga kerajaan.
Pada akhir hayatnya, Panembahan Juminah mendapatkan tugas monumental dari Sultan Agung: membangun kompleks pemakaman di Bukit Giriloyo, Bantul. Pembangunan makam ini berlandaskan keinginan Sultan Agung untuk dimakamkan di lokasi yang tinggi, mengikuti tradisi Jawa-Hindu yang memuliakan bukit sebagai tempat bersemayamnya leluhur suci.
Namun, ajal menjemput Panembahan Juminah di tengah proses pembangunan makam. Sebagai penghormatan terakhir, Sultan Agung memerintahkan agar jasad pamannya dimakamkan di Giriloyo. Di kemudian hari, lokasi ini menjadi tempat persemayaman bagi Ratu Mas Hadi setelah wafatnya. Makam Ratu Mas Hadi dan Panembahan Juminah terletak berdampingan, menandakan ikatan spiritual dan simbolis antara keduanya, serta menjadi cerminan kekuatan keluarga dalam menjaga legitimasi Mataram.
Warisan Ratu Mas Hadi dalam Sejarah Jawa
Makam Giriloyo, yang kini dikenal sebagai salah satu kompleks makam tertua di Yogyakarta, menyimpan kisah panjang tentang kekuasaan, penghormatan leluhur, dan spiritualitas. Sultan Agung memandang makam ini sebagai simbol pemulihan wibawa setelah kegagalannya dalam menaklukkan Batavia. Lebih dari itu, Giriloyo juga merupakan monumen penghormatan kepada dua sosok yang begitu berpengaruh dalam hidupnya: Ratu Mas Hadi dan Panembahan Juminah.
Kehadiran Ratu Mas Hadi di Giriloyo menjadikan tempat ini sebagai situs penting dalam sejarah Mataram. Di sini, dua generasi keluarga kerajaan bersemayam dalam kedamaian, seolah mengingatkan kita akan silsilah panjang yang membentuk kejayaan Mataram Islam.
Ratu Mas Hadi bukan sekadar tokoh dalam silsilah keluarga kerajaan. Ia adalah simbol keagungan, keteguhan, dan kesinambungan kekuasaan. Melalui anak-anak, cucu-cucu, dan keturunannya, ia menanamkan jejak yang abadi dalam sejarah Jawa. Kisahnya di balik pernikahan politik, peran keibuan, serta keberadaannya di Makam Giriloyo adalah narasi yang menghidupkan kembali masa kejayaan Mataram Islam.
Sejarah Jawa adalah mozaik kompleks dari kekuasaan, spiritualitas, dan relasi antar-generasi. Ratu Mas Hadi, sebagai tokoh sentral dalam dinasti Mataram, adalah bagian dari mozaik itu. Makam Giriloyo bukan sekadar tempat persemayaman, melainkan simbol dari hubungan abadi antara manusia, sejarah, dan tanah Jawa yang selalu menyimpan narasi tak berkesudahan.
Di balik kisah Ratu Mas Hadi, tersembunyi pelajaran tentang keteguhan keluarga dalam menjaga takhta, kehormatan leluhur, dan bagaimana politik dinasti dijalankan dengan cermat di tengah arus perubahan zaman. Sejarahnya, layaknya bukit Giriloyo, tetap kokoh dan menantang waktu, mengingatkan generasi penerus akan kejayaan masa lalu yang tak boleh dilupakan.