free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

KRA Danureja I: Patih Setia di Balik Stabilitas Kesultanan Yogyakarta

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

10 - Nov - 2024, 12:32

Placeholder
Keindahan dan ketenangan Kraton Yogyakarta, terlihat dari salah satu sudut yang sibuk dengan aktivitas abdi dalem yang setia menjaga tradisi. (Foto:Instagram @kratonjogja)

JATIMTIMES - Kangdjeng Raden Adipati (KRA) Danureja I yang terlahir dengan nama Raden Bagus Konting bukan hanya sekadar tokoh pemerintahan yang mendampingi Sultan Hamengku Buwono I sebagai Patih Dalem Kesultanan Yogyakarta. Sosoknya mencerminkan perjalanan panjang yang sarat dengan dedikasi, kesetiaan, serta pengorbanan untuk tanah Jawa. 

Sejak muda, Danureja I menunjukkan kecakapan dan komitmen yang membawanya pada posisi penting di pemerintahan Kesultanan Yogyakarta, hingga akhir hayatnya pada 19 Agustus 1799.

Baca Juga : Gairahkan Vibe Musik Cadas di Jatim, 'Rock Legend Festival' Bakal Digeber November ini

Awal Kehidupan dan Pengabdian di Kartasura

Raden Bagus Konting lahir dari keluarga ningrat di Banyumas. Ayahandanya, Kiai Raden Adipati Yudonegoro II adalah Bupati Banyumas, sementara ibunya Nyai Adjeng Banyumas adalah putri Ngabehi Yudaprana, Bupati Kaliwungu. Masa kecilnya dihabiskan di Kaodan Kartasura, di bawah asuhan Eyang Buyut dari pihak ibunya, Ngabehi Honggosuto, seorang pejabat di Keraton Kartasura. Berkat didikan keluarga dan lingkungan istana, ia telah akrab dengan nilai-nilai pemerintahan dan kebudayaan Jawa sejak dini.

Di usia remaja, Bagus Konting mulai mengabdi di Keraton Kartasura sebagai Mantri Anom Reh Kadanuredjan dan berganti nama menjadi Raden Martowidjoyo. Tak lama kemudian, ia diberi posisi sebagai Lurah Peranakan di bawah Raden Demang Ngurawan, dan berganti nama lagi menjadi Raden Bremoro. 

Bagus Konting dikenal dengan suara merdunya yang dapat menyentuh hati, khususnya ketika membaca Serat Wiwaha dalam pupuh Sekar Gondokusumo. Karena hal itu, Susuhunan Amangkurat IV memberinya gelar Raden Gondokusumo.

Selama di Kartasura, Bagus Konting berkenalan dengan putra Susuhunan Amangkurat IV, Bendara Raden Mas Sudjono atau Pangeran Mangkubumi, yang kelak menjadi Sultan Hamengku Buwono I. Keduanya menjadi sahabat karib. Saat Pangeran Mangkubumi memutuskan keluar dari Keraton Surakarta karena konflik, Bagus Konting mendampingi pangeran tersebut. Mereka bertempur bersama selama tiga tahun dalam peperangan.

Namun, saat mendengar ayahandanya wafat di Banyumas dan posisinya digantikan oleh saudara iparnya, Tumenggung Reksoprodjo, hati Bagus Konting berkecamuk. Ia merasa posisinya sebagai putra sulung dari garwa utama telah terabaikan. Akhirnya, ia mohon izin kepada Pangeran Mangkubumi untuk kembali ke Banyumas, namun dalam perjalanan ia memilih jalan lain.

Dalam perjalanannya, Bagus Konting memutuskan untuk menempuh jalan lelaku prihatin demi mendinginkan hati. Ia bertapa di sejumlah tempat sakral di wilayah Banyumas dan Cilacap. Setiap malam, ia melakukan tapa ngeli di Sungai Sigonggo Serayu, bermeditasi di gua-gua sekitar, termasuk di Gua Sulaiman dan Masjid Watu. Lelaku ini berlangsung selama tiga tahun, hingga suatu malam ia mendapatkan wisik bahwa Tumenggung Reksoprodjo telah turun dari jabatannya sebagai Bupati Banyumas.

Kabar kosongnya posisi Bupati Banyumas sampai ke Susuhunan Pakubuwana II di Surakarta, yang segera memerintahkan prajurit Mantri Gandek untuk mencari Bagus Konting. Akhirnya, prajurit berhasil menemukannya di Telaga Parantunan Dieng. Atas perintah Susuhunan, Bagus Konting kembali ke Keraton Surakarta dan diangkat sebagai Bupati Banyumas dengan gelar Raden Tumenggung Yudonegoro III.

Menjadi Patih Dalem Kesultanan Yogyakarta

Saat Pangeran Mangkubumi berhasil meraih kesuksesan politik dan diangkat sebagai Sultan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I, ia menunjuk Yudonegoro III sebagai Patih Dalem dengan gelar Kanjeng Raden Adipati Danureja I. Penunjukan ini bukan hanya sebagai jabatan, tetapi juga merupakan pengakuan atas jasa dan loyalitas Danureja I terhadap Sultan.

Sebagai patih, Danureja I memainkan peran penting dalam stabilitas Kesultanan Yogyakarta. Nicholas Hartingh, Gubernur VOC pada masa itu, menyebut bahwa hubungan antara Sultan dan Danureja I bagaikan keris dan warangka yang selalu selaras. Keselarasan inilah yang membantu Yogyakarta melewati masa-masa sulit, terutama ketika VOC semakin kuat mencengkeramkan pengaruhnya di Nusantara.

Baca Juga : Pjs. Bupati Blitar Dorong Peningkatan Kualitas Pengawasan di Inspektorat Melalui Bimtek SDM APIP

Selama memegang jabatan sebagai Patih Dalem dari 13 Februari 1755 hingga wafatnya pada 19 Agustus 1799, K.R.A Danureja I dikenal sebagai sosok yang piawai dalam mengatur pemerintahan dan menyeimbangkan kepentingan antara Keraton Yogyakarta dan VOC. Kemampuannya dalam diplomasi membuat Sultan Hamengku Buwono I mempercayainya dalam berbagai urusan politik dan pemerintahan.

Danureja I juga memainkan peran penting dalam pembangunan infrastruktur dan penguatan sistem pemerintahan di Kesultanan Yogyakarta. Ia sering mengadakan diskusi dengan Sultan mengenai kebijakan-kebijakan strategis, terutama terkait hubungan dengan kolonial Belanda yang pada masa itu semakin mengancam kedaulatan kerajaan-kerajaan lokal di Jawa. Danureja I dianggap sebagai penopang utama Sultan dalam menjaga keseimbangan antara keinginan VOC dan kepentingan Kesultanan Yogyakarta.

Sebagai seorang bangsawan, K.R.A Danureja I memiliki kehidupan pribadi yang juga penuh dengan kompleksitas. Beliau memiliki lima istri, masing-masing dengan peran penting dalam menjaga keturunan dan tradisi keluarga besar. Para istrinya, termasuk Nyai Adjeng Kamasan yang menjadi garwa sepuh, berasal dari keluarga-keluarga terhormat. Danureja I dianugerahi 38 anak, terbagi sama rata antara putra dan putri.

Kehidupan rumah tangganya yang besar tak lepas dari perhatian masyarakat kala itu, terutama karena Danureja I dikenal sangat menjaga kehormatan keluarga dan menganut ajaran kebajikan dalam tradisi Jawa. Meski mengabdikan diri di pemerintahan, beliau tetap memberikan perhatian pada keluarga dan anak-anaknya, mendidik mereka dengan prinsip luhur yang ia terima sejak kecil.

K.R.A Danureja I wafat pada 19 Agustus 1799 dan dimakamkan di Pajimatan Imogiri, tempat peristirahatan terakhir para bangsawan Yogyakarta. Kepemimpinan dan dedikasinya meninggalkan jejak yang dalam di Kesultanan Yogyakarta, yang kelak diwariskan kepada generasi berikutnya. Sosok Danureja I tetap dikenang sebagai salah satu Patih Dalem yang mengabdikan diri dengan sepenuh hati untuk Sultan dan masyarakat Yogyakarta. Di mata masyarakat dan pemerintah Yogyakarta, Danureja I adalah contoh abadi seorang pemimpin yang setia, cakap, dan tak kenal lelah dalam menjaga marwah kesultanan.

Warisan K.R.A Danureja I sebagai Patih Dalem yang loyal, bijaksana, dan berdedikasi tinggi menjadi inspirasi bagi para penerusnya. Nilai-nilai kepemimpinan yang ia tanamkan masih dipegang teguh hingga saat ini dalam budaya dan pemerintahan di Kesultanan Yogyakarta. Kehadirannya adalah bukti bahwa kemuliaan seorang pemimpin tidak hanya ditentukan oleh jabatan, tetapi juga oleh pengorbanan dan ketulusannya dalam melayani tanah air dan rakyatnya.

 


Topik

Serba Serbi kra danureja I kesultanan yogyakarta patoh kesultanan yogyakarta



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana