JATIMTIMES- Dalam lembaran sejarah sastra Jawa, nama Raden Ngabehi Ronggowarsito berdiri megah. Bukan hanya sebagai seorang pujangga, tetapi juga sebagai simbol perjuangan dan kebangkitan intelektual.
Terlahir sebagai Bagus Burhan pada 15 Maret 1802 di Keraton Surakarta, perjalanan hidupnya tidaklah mudah. Dari pengembaraan belajar yang luas hingga kesedihan yang mendalam, Ronggowarsito tidak hanya menciptakan karya-karya sastra monumental, tetapi juga menjadi cermin bagi masyarakat Jawa di zamannya.
Baca Juga : 5.655 Anak Tak Sekolah, Begini Respon Cepat Pemkot Malang
Dengan setiap bait puisi dan prosa yang ditulisnya, ia memberikan suara bagi jiwa-jiwa yang terpinggirkan dan menggugah kesadaran akan pentingnya moral dan etika di tengah perubahan zaman. Mari kita menelusuri jejak perjalanan hidup dan karya-karyanya yang penuh makna.
Kehidupan Awal dan Pendidikan
Raden Ngabehi Ronggowarsito lahir di Dalem Yosodipuran, Surakarta, dalam keluarga yang kaya akan tradisi kesusastraan. Sejak usia dua tahun, ia diasuh oleh kakeknya, Raden Ngabehi Yosodipuro II, seorang tokoh terkemuka di Keraton Surakarta. Kakeknya memainkan peran penting dalam mendidik dan membentuk karakter Ronggowarsito muda.
Di usianya yang ke-12, Bagus Burhan dikirim ke pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo, yang dipimpin oleh Kyai Ageng Kasan Besari. Di sinilah ia menghadapi tantangan awal dalam proses pendidikannya. Sebagai seorang anak yang nakal, Bagus Burhan harus berjuang untuk meninggalkan sifat buruknya dan memfokuskan diri pada pembelajaran bahasa Arab dan ilmu agama. Dengan bimbingan Kyai Kasan Besari, ia berhasil mengatasi hambatan tersebut dan mulai menapaki jalur spiritual dan intelektual yang lebih mendalam.
Setelah menyelesaikan pendidikan di pesantren, pada tahun 1815, ia kembali ke Surakarta. Kakeknya melanjutkan pendidikan Bagus Burhan dengan mengajarkannya seni budaya dan kesusastraan Jawa, serta memberikan akses ke lingkungan intelektual yang lebih luas.
Pengabdian dan Karier
Di samping pendidikan formal, Ronggowarsito juga menempuh ilmu kanuragan dan jaya kawijayan di bawah bimbingan Gusti Pangeran Buminata, adik dari Sunan Pakubuwana IV. Pada tahun 1819, setelah menyelesaikan pendidikannya, ia diangkat sebagai juru tulis di Kraton Surakarta. Kariernya dimulai dengan cepat, namun tidak tanpa tantangan. Setahun setelah ia menjabat, Sunan Pakubuwana IV wafat, menandai awal perubahan besar dalam kraton.
Pernikahan Bagus Burhan dengan Raden Ayu Gombak pada 19 November 1821 memperkuat posisinya di masyarakat. Namun, meski bahagia, ia merasa terpanggil untuk melanjutkan pencarian ilmu. Dengan restu keluarga, ia memulai pengembaraan yang membawanya ke berbagai tempat di Jawa dan Bali, menimba ilmu dari para guru yang dihormati.
Di Ngadiluwih, ia belajar dari Ki Tunggul Wulung, seorang pertapa bijak. Dari sana, ia melanjutkan ke Banyuwangi untuk belajar dari Ki Ajar Wirakanta, dan kemudian ke Tabanan, Bali, untuk berguru kepada Ki Ajar Sidalaku. Pengalaman-pengalaman ini membentuknya menjadi pribadi yang lebih matang dan berpengetahuan.
Karya-karya Sastra
Setelah kembali ke Surakarta, Raden Ngabehi Ronggowarsito melanjutkan kariernya di Keraton, diangkat sebagai Abdi Dalem Carik pada 28 Oktober 1822, dengan gelar Ronggo Pujangga Anom. Pada tahun 1826, ia dipromosikan menjadi Mantri Carik Kadipaten Anom. Namun, perjalanan hidupnya tidak selalu mulus. Berbagai cobaan silih berganti menghadang, mulai dari kehilangan ayah, kakek, hingga putra kesayangannya yang meninggal di usia muda.
Di balik kesedihan tersebut, Ronggowarsito tetap produktif menulis. Karya-karyanya meliputi Serat Jaya Baya, Serat Kalatidha, Serat Pustaka Raja Purwa, dan banyak lagi. Serat Kalatidha menjadi salah satu karyanya yang paling dikenal, di mana ia mengekspresikan pandangannya tentang perubahan zaman yang tidak menentu dan tantangan moral yang dihadapi masyarakat.
Baca Juga : BEM Nusantara Jawa Timur Gelar Refleksi September Hitam: Pelanggar HAM Jadi Presiden
Contoh puisi dari Serat Kalatidha mencerminkan kesadaran dan keprihatinan Ronggowarsito terhadap kondisi masyarakat:
“Amenangi jaman edan,
Ewuh aya ing pambudi,
Melu edan nora tahan,
Yen tan melu anglakoni.”
Dalam bait tersebut, Ronggowarsito mengajak pembaca untuk merenungkan kondisi sosial di sekitarnya, mendorong kesadaran dan kewaspadaan. Karya-karyanya tidak hanya merupakan ungkapan seni, tetapi juga sebagai kritik sosial yang relevan hingga saat ini.
Akhir Hayat dan Warisan
Raden Ngabehi Ronggowarsito wafat pada 24 Desember 1873, di usia 71 tahun, dan dimakamkan di Desa Palar, Trucuk Klaten. Meski telah tiada, warisannya sebagai pujangga besar terus hidup. Karya-karyanya menjadi rujukan penting dalam sastra Jawa klasik, memberikan inspirasi bagi generasi selanjutnya untuk mencintai dan melestarikan budaya serta bahasa Jawa.
Silsilah keluarganya menunjukkan bahwa Ronggowarsito bukan hanya seorang sastrawan, tetapi juga bagian dari jaringan kekuasaan dan tradisi yang kaya. Dia adalah keturunan langsung dari para tokoh penting dalam sejarah Jawa, seperti Sultan Hadiwijaya dan Sultan Trenggana. Hal ini menunjukkan bahwa identitas dan karya Ronggowarsito tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarah dan budaya yang melingkupinya.
Raden Ngabehi Ronggowarsito adalah sosok yang kompleks, yang kehidupannya dipenuhi dengan pencarian akan pengetahuan, pengabdian, dan perjuangan melawan kesedihan. Melalui karya-karyanya, ia memberikan pandangan mendalam tentang masyarakat Jawa, mengajak setiap pembacanya untuk merenungkan kondisi kehidupan mereka. Dalam setiap bait, dalam setiap cerita, Ronggowarsito mengukir jejak yang takkan pernah pudar dalam sejarah kesusastraan Jawa.
Dalam dunia yang terus berubah, pesan dan karya Ronggowarsito tetap relevan, menjadi pengingat akan pentingnya moralitas, etika, dan pengetahuan. Ia bukan hanya pujangga, tetapi juga penjaga tradisi yang mengingatkan kita akan kekayaan budaya dan sejarah yang patut kita lestarikan. Raden Ngabehi Ronggowarsito, dengan segala dedikasi dan karya-karyanya, tetap menjadi cahaya yang menerangi jalan bagi generasi mendatang.