JATIMTIMES - Pangeran Diponegoro dikenal sebagai sosok yang sangat religius dan selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta melalui berbagai tindakan spiritual. Salah satu bentuk tirakat yang sering dilakukan adalah dengan menyepi dan bermeditasi di tempat-tempat suci.
Dalam perjalanan spiritualnya, Pangeran Diponegoro mendapatkan penglihatan penting dari Sunan Kalijaga, salah satu dari sembilan Wali Songo yang kemudian mempengaruhi jalan hidup dan perjuangannya. Artikel ini mengulas secara mendalam hubungan spiritual antara Sunan Kalijaga dan Pangeran Diponegoro serta dampaknya terhadap sejarah Jawa.
Periode Tirakat Pangeran Diponegoro: Menyepi dan Mencari Jati Diri
Baca Juga : Firman Arkananda dari Unisba Blitar Raih Medali Perak dalam Kejuaraan Tinju Amatir se-Jatim
Pangeran Diponegoro, putera Sri Sultan Hamengkubuwono III, lahir pada 11 November 1785, dari isteri selir Raden Ayu Mangkarawati. Diberi nama kecil Raden Mas Ontowiryo, ia tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi dengan nilai-nilai agama. Sejak kecil, Diponegoro telah diselimuti oleh ketakwaan kepada Allah, dan hal tersebut membentuknya menjadi seorang muslim yang taat.
Pangeran Diponegoro sering melakukan tirakat dan menyepi untuk meditasi di tempat-tempat suci yang dikaitkan dengan Dinasti Mataram. Salah satu tempat yang dikunjungi adalah Gua Song Kamal di distrik Jejeran, selatan Yogyakarta. Selama tirakat di gua tersebut, Diponegoro mendapatkan penampakan dari Sunan Kalijaga. Sunan, yang wajahnya bersinar bagai bulan purnama, mengatakan bahwa Diponegoro telah ditentukan Tuhan untuk menjadi raja di masa depan. Setelah menyampaikan pesan tersebut, penampakan itu menghilang.
Penampakan Sunan Kalijaga ini sangat penting bagi Diponegoro, karena Sunan Kalijaga tidak hanya dihormati sebagai penasihat para raja di Jawa Tengah bagian selatan dan pelindung spiritual Mataram, tetapi juga sebagai tokoh kunci dalam proses Islamisasi di wilayah tersebut.
Makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, yang berdampingan dengan Masjid Agung Demak, masih dihormati oleh para raja Jawa sebagai dua pusaka terpenting di tanah Jawa. Sejak awal abad ke-16, para peziarah dari berbagai keraton rutin mengunjungi dua tempat tersebut.
Pertemuan Kedua di Parangkusumo: Perintah Terakhir dari Sang Wali
Setelah pertemuan pertama dengan Sunan Kalijaga di Gua Song Kamal, Pangeran Diponegoro melanjutkan perjalanan spiritualnya. Pertemuan kedua terjadi di Parangkusumo, setelah ia bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul dan turun ke tepi laut lalu berjalan menyusuri pantai kembali ke Parangtritis. Di Parangkusumo, Diponegoro tidur di sebuah pondok kecil yang terbuka.
Malam harinya, ia mendengar suara gaib, yang ternyata suara Sunan Kalijaga, mengatakan tentang bakal datangnya kehancuran Kasultanan Yogyakarta dan awal runtuhnya Jawa dalam tiga tahun ke depan.
Sunan Kalijaga memerintahkan Diponegoro untuk mengubah nama religiusnya dari Ngabdurahim menjadi Ngabdulkamit dan memberikan sebuah anak panah bernama 'Sarutomo' sebagai tanda. Diponegoro juga diperintahkan untuk menjaga dan melindungi ayahnya, yang kelak menjadi Sultan Ketiga Yogyakarta, agar berhasil sebagai raja. Pada waktu yang sama, ia juga diingatkan untuk tidak menerima gelar Putra Mahkota (Pangeran Adipati Anom) apabila ditawarkan oleh pemerintah kolonial.
Pemberontakan Raden Ronggo dan Awal Kehancuran Yogyakarta
Pada awal abad ke-19, Yogyakarta mengalami krisis politik dan kekacauan yang melibatkan peralihan kekuasaan dan kekerasan kolonial. Ramalan Sunan Kalijaga yang meramalkan kehancuran Yogyakarta dalam waktu tiga tahun seolah menjadi kenyataan dengan kedatangan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Belanda pada 5 Januari 1808. Daendels memperlihatkan sikap merendahkan terhadap Sultan Hamengkubuwono II, yang memicu ketegangan di wilayah tersebut.
Krisis semakin mendalam dengan pemberontakan yang dipimpin oleh Bupati Wedana Madiun, Raden Ronggo Prawirodirjo III, pada akhir tahun 1810. Raden Ronggo menentang Belanda dan menggugat dominasi mereka di wilayah Mancanegara Timur, termasuk Madiun. Meskipun perlawanan ini berlangsung singkat dan dapat dipadamkan oleh Daendels dengan bantuan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, peristiwa ini memperburuk ketegangan politik. Sultan Hamengkubuwono II, yang sebelumnya berpura-pura mendukung Belanda, pada akhirnya terpaksa menghadapi konsekuensi dari krisis internal dan tekanan dari Daendels.
Geger Sepoy
Sultan Hamengkubuwono III, lahir sebagai Raden Mas (RM) Surojo pada 20 Februari 1769, adalah putra Sri Sultan Hamengkubuwono II dan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kedhaton. Karakternya yang pendiam dan cenderung mengalah tercatat dalam biografi Tan Jin Sing. Pada Desember 1810, RM Surojo diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwono III setelah ayahnya, Sri Sultan Hamengkubuwono II, dilengserkan oleh Letnan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels dari pemerintah kolonial Belanda. Namun, setahun kemudian, pada 28 Desember 1811, tentara Inggris mengalahkan Belanda dan menguasai tanah Jawa. RM Surojo kembali menjadi putra mahkota ketika ayahnya kembali naik tahta.
Sebagai mediator antara Hamengkubuwono II dan Inggris, Pangeran Notokusumo, adik Sultan Hamengkubuwono II, memainkan peran penting. Namun, pengakuan Inggris terhadap Hamengkubuwono II tidak bertahan lama. Pada 21 Juni 1812, Hamengkubuwono II kembali dilengserkan oleh Thomas Stamford Raffles, dan RM Surojo diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono III untuk kedua kalinya.
Puncak dari konflik ini adalah peristiwa Geger Sepoy, yang terjadi pada 19-20 Juni 1812, merupakan serangan pasukan Inggris terhadap Kraton Yogyakarta. Kejadian ini bermula ketika Inggris, di bawah pimpinan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles, berusaha menguasai sepenuhnya Pulau Jawa. Hambatan utama datang dari Sultan Hamengkubuwono II yang bersekutu dengan Sunan Pakubuwono IV. Setelah diplomasi gagal, Raffles mengutus John Crawfurd dan Pangeran Notokusumo untuk menyerang Yogyakarta.
Pasukan Inggris yang terdiri dari 1200 orang Brigade Sepoy, pasukan Surakarta, Legiun Mangkunegaran sebanyak 800 orang, serta dukungan dari Pangeran Notokusumo dan Tan Jin Sing mulai menyerang pada 18 Juni 1812. Selama dua hari, pertempuran sengit terjadi di luar benteng Baluwerti keraton. Pada dini hari 20 Juni 1812, pasukan Inggris berhasil menembus pertahanan keraton melalui Plengkung Tarunasura, Nirbaya, dan Alun-Alun Utara. Sultan Hamengkubuwono II ditangkap beserta para pangeran yang masih tersisa. Penjarahan besar-besaran terhadap harta dan kekayaan intelektual keraton terjadi.
Dalam peristiwa Geger Sepoy, Pangeran Diponegoro terluka saat mendampingi ayahnya, yang saat itu masih menjabat sebagai Putra Mahkota, keluar dari keraton yang telah dikuasai tentara Inggris. Saat pintu gerbang Wijilan atau Gapura Tarunosuro sudah jebol, Putra Mahkota dan rombongannya, termasuk Diponegoro, berusaha menerobos berondongan tembakan dari tentara Inggris dan Sepoy. Mereka bergerak menuju pintu gerbang Tamansari di sebelah barat. Namun, di depan pintu gerbang Tamansari, Putra Mahkota dan rombongan, termasuk Diponegoro, ditangkap oleh pasukan Inggris yang dipimpin oleh Mayor Dennis Harman Dalton dan sekretaris karesidenan Yogyakarta, John Deans.
Diponegoro tidak terima ketika senjatanya dilucuti, menyebabkan insiden di mana ia tertusuk bayonet tentara Sepoy. Beruntung, Tan Jin Sing segera meminta tentara Sepoy untuk tidak memperlakukan Diponegoro dengan kasar sehingga insiden tersebut tidak menimbulkan masalah yang lebih besar.
Setelah Geger Sepoy, Inggris melakukan berbagai kebijakan untuk memperkuat cengkeramannya atas Yogyakarta. Adipati Anom Surojo diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono III yang tunduk pada pemerintah Inggris. Pangeran Notokusumo diangkat sebagai pemimpin Kadipaten Pakualaman dengan gelar Adipati Pakualaman I. Sultan Hamengkubuwono III menghadapi berbagai tekanan dari Inggris, termasuk menyerahkan wilayah-wilayah penting dan mengumpulkan pajak yang berat.
Pada masa pemerintahannya, Sultan Hamengkubuwono III harus menyerahkan Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang, dan Grobogan kepada Inggris dengan ganti rugi 100.000 real per tahun. Inggris juga melarang kekuatan militer selain yang diizinkan oleh pemerintah kolonial, menyebabkan penderitaan bagi lebih dari 9000 prajurit keraton yang kemudian bekerja di perkebunan kolonial.
Pada 3 November 1814, Sultan Hamengkubuwono III wafat dan dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan, Imogiri. Masa pemerintahannya tercatat hanya berlangsung selama 865 hari, dan digantikan oleh putra bungsunya, Gusti Raden Mas (GRM) Ibnu Jarot, yang kemudian menjadi Sultan Hamengkubuwono IV pada usia 10 tahun.
Geger Sepoy tidak hanya meruntuhkan kewibawaan Keraton Yogyakarta tetapi juga menjadi tonggak lahirnya tata dunia baru di tanah Mataram. Kekayaan materi dan intelektual keraton banyak yang dirampas dan dibawa ke Inggris. Inggris juga menerapkan dualisme hukum antara Islam dan kolonial, meskipun banyak modifikasi dalam penegakan hukum. Untuk mengenang peristiwa ini, dibangun Prasasti Geger Sepoy di Kampung Ketelan Wijilan Jokteng Lor Wetan Yogyakarta sebagai pengingat perjuangan rakyat Jawa Mataram tempo dulu melawan penjajahan bangsa Barat.
Geger Sepoy dan peristiwa sekitarnya tidak hanya menandai kehancuran kekuasaan Keraton Yogyakarta, tetapi juga perubahan signifikan dalam tata dunia di tanah Mataram. Penjarahan kekayaan intelektual dan materi serta penerapan hukum kolonial menjadi tonggak baru dalam sejarah perjuangan rakyat Jawa melawan penjajahan Barat. Prasasti Geger Sepoy dibangun sebagai pengingat perjuangan tersebut, di Kampung Ketelan Wijilan Jokteng Lor Wetan Yogyakarta.
Perlawanan Pangeran Diponegoro: Legitimasi dari Para Wali
Baca Juga : Pasar Sepeda Kota Blitar Sepi, Hanya 4 Pedagang yang Bertahan
Penampakan Sunan Kalijaga dan dukungan dari banyak bangsawan Keraton Yogyakarta seolah membantu melegitimasikan pemberontakan Diponegoro yang terjadi kemudian. Proses ini diperkuat lagi dengan gambaran dalam mimpi Pangeran, persis sebelum pecahnya Perang Jawa pada 16 Mei 1825, ketika ia menggambarkan pertemuan delapan wali wudhar, yaitu wali yang sedang memangku dakwah spiritual maupun temporal yang menetapkan dirinya sebagai Ratu Adil dengan gelar Sultan Erucokro.
Pangeran Diponegoro memimpin sebuah perlawanan besar yang dikenal dengan nama Perang Diponegoro atau Perang Jawa. Periode penting ini terjadi dari tahun 1825 hingga 1830, ketika Diponegoro memimpin rakyat Jawa melawan pemerintah Hindia Belanda yang menindas.
Sejarah mencatat dengan jelas betapa dahsyatnya pertempuran ini. Perang Diponegoro dikenal sebagai salah satu konflik paling mematikan dalam sejarah Indonesia. Tak kurang dari 8.000 serdadu Belanda tewas, bersama dengan 7.000 jiwa pribumi dan 200 ribu orang Jawa. Kerugian materi juga sangat besar, mencapai 25 juta Gulden. Untuk memberikan gambaran, satu Gulden setara dengan satu gram emas, dan pada saat itu pendapatan tahunan pemerintah Hindia Belanda hanya sekitar 2 juta Gulden. Dengan demikian, perang ini menghabiskan anggaran pemerintah Belanda setara dengan 10 tahun pendapatannya dalam waktu hanya 5 tahun.
Keturunan Kalijaga, yakni Pangeran Serang (sekitar 1794-1854) dan ibunya, Raden Ayu Serang (nama asli: Raden Ajeng Kursiah Retno Edi, sekitar 1762-1855), sangat dihormati Diponegoro. Ia memandang mereka sebagai pribadi-pribadi yang dikaruniai kesaktian luar biasa. Bahkan, ada kabar angin bahwa selama masa perang, Pangeran Diponegoro akan mendelegasikan beberapa kewenangannya kepada salah satu cucu Raden Ayu Serang, yakni Raden Mas Papak (Pangeran Adipati Notoprojo, sekitar 1803-1854), jika menang perang nanti. Hal ini disebabkan karena keturunan Kalijaga dianggap paling pantas untuk memegang kekuasaan spiritual di Tanah Jawa.
Perjuangan Diponegoro tidak hanya melawan penindasan politik dan militer, tetapi juga menunjukkan keberanian dalam mempertahankan nilai-nilai agama dan kebudayaan Jawa. Ia menjadi simbol perlawanan yang gagah berani dan keberanian dalam menghadapi penjajahan.
Meskipun akhirnya Diponegoro ditangkap dan diasingkan, warisan perjuangannya tetap melekat dalam sejarah bangsa Indonesia. Namanya tetap diabadikan dalam ingatan, menginspirasi generasi-generasi berikutnya untuk tidak pernah menyerah dalam menjaga kedaulatan dan martabat bangsa.
Warisan Sunan Kalijaga dan Pengaruhnya pada Pangeran Diponegoro
Pengaruh Sunan Kalijaga terhadap Pangeran Diponegoro tidak bisa dipandang sebelah mata. Sunan Kalijaga, sebagai salah satu dari sembilan Wali Songo, memiliki peran besar dalam Islamisasi Jawa dan menjadi panutan bagi banyak pemimpin spiritual dan politik. Sunan Kalijaga dikenal dengan pendekatannya yang toleran dan fleksibel dalam menyebarkan ajaran Islam, yang mampu menggabungkan unsur-unsur budaya Jawa dengan nilai-nilai Islam.
Warisan Sunan Kalijaga ini diteruskan oleh Pangeran Diponegoro, yang melihat dirinya bukan hanya sebagai seorang pemimpin politik, tetapi juga sebagai penjaga spiritual. Dengan mengikuti jejak Sunan Kalijaga, Diponegoro memperkuat posisinya sebagai pemimpin yang berakar kuat pada nilai-nilai spiritual dan keagamaan, yang pada akhirnya memberikan legitimasi tambahan dalam perjuangannya melawan penjajah.
Pangeran Diponegoro: Penganut Tarekat Syattariyah yang Diajar Sunan Kalijaga
Pangeran Diponegoro dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan melawan kolonialisme di Indonesia. Di balik semangat perjuangannya, terdapat fondasi spiritual yang kuat dari tarekat Syattariyah, yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo yang terkenal, adalah guru ruhani yang menerima ajaran tarekat Syattariyah dari Sunan Bonang dan tarekat Akmaliyah dari Syekh Siti Jenar. Tarekat Syattariyah, yang berhaluan kepada ahlussunnah wal jama'ah dan bermazhab Syafi'i, menekankan pada zikir hati daripada zikir mulut dengan mengangkat suara.
Selama masa pengasuhan Ratu Ageng di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro mulai mengenal tarekat Syattariyah. Tarekat ini kemudian menjadi basis semangat perjuangannya melawan kolonialisme. Ratu Ageng adalah penganut tarekat Syattariyah yang memiliki pertalian langsung dengan para mursyid utama tarekat ini di Jawa Barat, seperti Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan (1640-1715).
Dalam naskah Jav. 69 [Silsilah Syattariyah] dari koleksi Colin Mackenzie di British Library, London, Ratu Ageng disebut sebagai 'Kangjeng Ratu Kadipaten'. Dia memiliki hubungan silsilah dengan empat ulama utama Syattariyah. Anggota kesultanan lainnya yang juga penganut tarekat ini adalah Permaisuri Hamengkubuwono II, Ratu Mas, dan ayahnya Pangeran Pakuningrat. Pangeran Pakuningrat dibaiat dalam tarekat Syattariyah oleh Kiai Abdullah dari Pesantren Alang-Alang Ombo di Bagelen.
Pangeran Diponegoro sendiri mempelajari Tarekat Syattariyah melalui gurunya, yang memiliki jalur sanad ke Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Salah satu kitab yang dipelajarinya adalah Tuhfat al-Mursalah ila Ruh an-Nabi karya Syaikh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri. Kitab ini menjelaskan falsafah sufisme tentang ajaran “martabat tujuh,” yang klop dengan pemikiran manusia Jawa saat merenungkan Allah, dunia, dan kedudukan manusia.
Tarekat Syattariyah banyak dianut oleh para bangsawan Jawa dan berkembang di wilayah bekas kekuasaan Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Di wilayah Mataraman, jaringan tarekat ini masih bertahan hingga kini. Bagi Pangeran Diponegoro, tarekat Syattariyah bukan hanya ajaran spiritual, tetapi juga sumber kekuatan dalam perjuangannya melawan penindasan kolonial.
Jejak Spiritual dan Dampak Sejarah
Perjalanan spiritual Pangeran Diponegoro dan pengaruh Sunan Kalijaga dalam perjuangan sejarah Tanah Jawa menggambarkan betapa eratnya hubungan antara keyakinan religius dan perlawanan terhadap penindasan. Penampakan Sunan Kalijaga yang memberikan ramalan dan arahan kepada Diponegoro tidak hanya menguatkan keyakinan Diponegoro akan perannya dalam sejarah, tetapi juga menjadi katalis bagi perjuangannya melawan penjajahan kolonial Belanda.
Penderitaan yang dialami Yogyakarta dan kekacauan yang ditimbulkan oleh pemberontakan, terutama Geger Sepoy, menandai perubahan besar dalam struktur kekuasaan dan tata dunia di Jawa. Serangan Inggris yang menghancurkan keraton dan menggantikan Sultan Hamengkubuwono II dengan Sultan Hamengkubuwono III merupakan simbol runtuhnya kekuasaan tradisional dan memperkuat dominasi kolonial.
Di tengah kekacauan ini, Pangeran Diponegoro muncul sebagai simbol perlawanan melawan penindasan. Perang Diponegoro, meskipun akhirnya berakhir dengan penangkapan dan pengasingan, menunjukkan keteguhan dan keberanian dalam mempertahankan nilai-nilai agama dan kebudayaan Jawa. Legitimasi spiritual yang diterima Diponegoro dari Sunan Kalijaga menegaskan pentingnya dimensi religius dalam perjuangan melawan penjajahan.
Warisan Pangeran Diponegoro dan pengaruh Sunan Kalijaga tidak hanya tertanam dalam catatan sejarah, tetapi juga menginspirasi generasi-generasi berikutnya untuk berjuang demi kedaulatan dan martabat bangsa. Keduanya menjadi simbol keberanian, ketulusan, dan perjuangan spiritual yang abadi dalam memori kolektif bangsa Indonesia.