JATIMTIMES - Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Batu mencatat masih ada ribuan keluarga berisiko stunting di wilayahnya.
Data tersebut merupakan data intervensi sensitif yang menjadi sasaran pendampingan. Disinyalir masalah keluarga berisiko stunting salah satunya disebabkan oleh tidak tepatnya pola asuh anak.
Baca Juga : Soroti Temuan Pemilih Tak Dikenal dari Hasil Coklit di Kota Batu, Bawaslu Minta Pemetaan Ulang
Kabid Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana DP3AP2KB Kota Batu Muhammad Hartoto mengungkapkan, ada beberapa masalah yang bisa menyebabkan anak dalam suatu keluarga berisiko stunting.
"Problem stunting di Kota Batu ini lebih pada pola makan dan pola asuh yang kurang tepat. Misalnya ibu dan bapak kerja dititipkan nenek atau pembantu, sehingga perhatian kurang untuk anak dalam hal kesehatan gizi," jelas Hartoto.
Hingga awal Juli 2024, jumlah keluarga berisiko stunting di Kota Batu sebanyak 5.621. Sedangkan Jumlah yang didampingi sebanyak 2.161 keluarga. Untuk upaya intervensi, pendampingan itu dilakukan dengan mengerahkan Tim Pendamping Keluarga (TPK) di masing-masing desa sebanyak 164 tim dan 492 kader TPK.
TPK sudah seharusnya disesuaikan dengan kondisi keluarga berisiko stunting di desa atau kelurahan setempat. Untuk melakukan pekerjaan pendampingan, TPK juga harus tertib administrasi serta senantiasa memastikan perkembangan keluarga yang didampingi.
"Karena dalam proses kerjanya, mereka harus menemui keluarga berisiko stunting dan memahamkan kondisinya," ujar Hartoto.
Ia memaparkan bahwa proses intervensi sensitif yang dilakukan memiliki porsi hingga 70 persen dibandingkan dengan intervensi spesifik 30 persen. "Untuk pendampingan diutamakan pada yang berisiko tinggi (resti), namun tidak melepaskan yang lain, tetap didampingi. Beberapa temuan bisa saja walaupun kelihatannya bulan ini tidak berisiko, bulan depan bisa berisiko," ungkapnya.
Oleh karena itu, DP3AP2KB terus memacu TPK untuk intens dan tertib penjalanan tugas. Beragam kondisi harus dihadapi dan perlakuan berbeda diterapkan, tergantung tahapan. Yakni sejak calon pengantin (catin), ibu hamil, pasca-melahirkan, dan tahap anak pada masa bayi dua tahun (Baduta).
"Di samping juga koordinasi dan kerja sama dengan Dinas Kesehatan. DP3AP2KB di intervensi sensitif, Dinkes itu spesifiknya. Dari penanganannya, diberi makanan atau PMT atau obat," kata Hartoto. "Terus dievaluasi agar dapat menurunkan stunting," imbuhnya.