JATIMTIMES - Pada Kamis, 28 Juni 2024, warga Desa Jugo, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar, melaksanakan upacara adat tahunan "Bersih Desa" atau yang juga dikenal dengan istilah "Sedekah Bumi". Kegiatan ini merupakan bentuk syukur dan penghormatan kepada danyang desa, yang diyakini sebagai penjaga spiritual dari dusun ini.
Bersih Desa diadakan dengan tujuan membersihkan desa dari segala gangguan roh jahat dan memastikan keberkahan serta kesejahteraan bagi seluruh warga. Tradisi ini dimulai dengan prosesi pemberian sesaji yang dikumpulkan dari setiap keluarga di desa. Sesaji tersebut kemudian disusun rapi di area pemakaman danyang sebagai simbol penghormatan dan persembahan.
Baca Juga : Gandeng PT. PMP, Disnaker Jember bersama HILSI Berikan Pelatihan Kerja Peserta Magang
Kepala Desa Jugo, Khalid Adnan, menyatakan bahwa upacara ini adalah bagian penting dari identitas dan kehidupan spiritual masyarakat Jugo. "Tradisi ini bukan sekadar ritual, tapi juga pengingat bagi kita semua tentang pentingnya menjaga keharmonisan dengan alam dan leluhur kita," ujar Khalid.
Khalid menambahkan bahwa di desa dengan pengaruh Islam yang kuat, seperti Jugo, upacara ini juga dilengkapi dengan doa-doa Islami dan sering kali diadakan di masjid setempat. "Kita melihat bagaimana tradisi dan agama dapat berjalan beriringan, memperkaya kehidupan spiritual dan budaya kita," tambahnya.
Eyang Djugo: Sang Guru Spiritual dan Pelindung Dusun
Di balik upacara Sedekah Bumi ini, terdapat cerita sejarah dan spiritual yang tak lepas dari figur legendaris Eyang Djugo. Sosok yang juga dikenal dengan berbagai nama seperti R.M. Soerjokoesoemo, Kiai Zakaria II, atau Mbah Kromodi Redjo, Eyang Djugo adalah tokoh spiritual besar yang namanya lekat dengan Dusun Jugo.
Eyang Djugo adalah seorang bangsawan dan pengawal Pangeran Diponegoro yang, setelah kekalahan dalam Perang Jawa, memilih jalan pengembaraan spiritual. Kisah hidupnya membawa Eyang Djugo ke banyak tempat sebelum akhirnya menetap di daerah Kesamben, Blitar. Di sini, ia hidup sebagai pertapa dan guru, membawa ajaran spiritual serta membantu menyembuhkan berbagai penyakit yang melanda masyarakat.
Kehadiran Eyang Djugo di Dusun Jugo dimulai dengan cara yang penuh misteri. Menurut catatan, ia pertama kali muncul di hadapan para penggembala di desa ini dan akhirnya menetap di sebuah kandang sapi yang tak terpakai. Dari sinilah ia mulai menyebarkan pengaruh spiritualnya. Dalam upaya menghindari perhatian Belanda, ia mengubah namanya menjadi Djugo, yang berasal dari istilah Jawa "sajugo" atau "sendirian".
Penyembuhan dan Karya Spiritual
Eyang Djugo dikenal tidak hanya sebagai seorang guru spiritual tetapi juga sebagai penyembuh. Pada tahun 1860-an, ketika kolera merebak di Jawa Timur, Eyang Djugo dikabarkan mampu menyembuhkan banyak orang melalui doa dan air yang diberkatinya. Khalid Adnan menyebutkan bahwa metode penyembuhan Eyang Djugo menjadi bagian dari tradisi pengobatan masyarakat setempat. "Banyak yang datang dari jauh untuk mendapatkan kesembuhan dari Eyang Djugo. Beliau meninggalkan warisan cara-cara penyembuhan yang masih digunakan hingga sekarang," tambahnya.
Selain keterampilan dalam penyembuhan, Eyang Djugo juga meninggalkan sejumlah pusaka spiritual dan tempat-tempat suci, termasuk padepokan dan pesarean di Gunung Kawi. Di sinilah ia akhirnya dimakamkan setelah wafat pada tanggal 22 Januari 1871. Hingga kini, makamnya di Gunung Kawi menjadi tempat ziarah yang penting, tidak hanya bagi masyarakat Jawa tetapi juga bagi komunitas Tionghoa yang menghormatinya.
Penghormatan dan Perayaan
Baca Juga : FK UM : Fakultas yang Unggul dalam Bidang Kedokteran dan Kesehatan Olahraga
Setiap malam Jumat Legi, makam Eyang Djugo dipadati oleh para peziarah yang datang untuk berdoa, memberikan sesaji, dan membakar dupa. Pada kesempatan ini, tahlilan dan semadi dipimpin oleh juru kunci makam yang masih merupakan keturunan dari Eyang Sudjo, putra angkat Eyang Djugo. Tradisi ini memperlihatkan betapa kuatnya ikatan antara masyarakat Jugo dengan leluhur mereka.
Kegiatan serupa juga terlihat pada perayaan besar setiap tanggal 1 Suro di pesarean Gunung Kawi. Pada malam sebelumnya, masyarakat melakukan pengajian, pertunjukan wayang kulit, serta pembagian angpau kepada barongsai. Pada hari tersebut, warga melakukan kirab dan arak-arakan sejauh 3 km yang terpusat di pesarean. Puncak ritual ini adalah pembakaran sebuah patung raksasa yang melambangkan sifat buruk manusia yang harus dibersihkan.
Tradisi ziarah dan penghormatan kepada Eyang Djugo juga meluas ke komunitas Tionghoa. Banyak dari mereka yang datang ke pesarean, terutama pada perayaan seperti Imlek dan Tahun Baru Islam. Di berbagai klenteng, termasuk yang tertua di Jakarta, Kim Tek Ie, Eyang Djugo dipuja sebagai guru agung.
Menghadapi Masa Depan dengan Warisan Spiritual
Sebagai kepala desa, Khalid Adnan memiliki harapan besar agar tradisi dan warisan Eyang Djugo terus dipelihara dan dihormati oleh generasi mendatang. "Kita harus terus menjaga dan merayakan warisan spiritual yang telah ditinggalkan oleh leluhur kita. Eyang Djugo mengajarkan kita tentang kekuatan kebijaksanaan dan kedamaian yang berasal dari hidup yang selaras dengan alam dan sesama manusia," tuturnya.
Khalid percaya bahwa dengan menghargai dan menghidupkan kembali tradisi seperti Sedekah Bumi dan penghormatan kepada Eyang Djugo, masyarakat Jugo akan terus menemukan jalan mereka dalam menghadapi tantangan masa depan. "Warisan ini adalah fondasi yang kuat untuk masa depan kita. Mari kita pelihara dengan baik," tutupnya.
Dengan demikian, tradisi dan ajaran Eyang Djugo tidak hanya menjadi bagian dari sejarah Dusun Jugo tetapi juga menjadi inspirasi yang abadi bagi kehidupan spiritual masyarakatnya.