JATIMTIMES – Polemik mengenai klaim makam Tiga Putri Mataram di Blitar sebagai makam habib keturunan Yaman kembali memanas. Budayawan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar Raden Tumenggung Dr Arif Muzayin Shofwan Dwijodipuro MPd memberikan klarifikasi tegas bahwa klaim tersebut tidak sesuai dengan fakta sejarah yang ada.
Arif Muzayin menjelaskan bahwa Habib Ahmad bin Alawi Assegaf, seorang tokoh yang dikenal dengan ilmu "Chadiran", wafat pada tahun 1951. “Habib Ahmad bin Alawi Assegaf Tuliskriyo Blitar wafat pada tahun 1951. Salah satu orang dusun saya yang pernah ikut dengannya adalah Mbah Jailani, seorang teman dekat ayah saya. Ini membuat klaim yang mengaitkan makam Tiga Putri Mataram dengan Habib Ahmad tidak relevan karena jarak tahunnya terlalu jauh,” ujar Arif, Rabu (26/6/2024).
Baca Juga : Polda Jawa Timur Siapkan Pengamanan untuk Pengesahan Warga Baru PSHT Bulan Depan
Ia juga menambahkan bahwa Habib Ahmad memiliki hubungan khusus dengan keluarganya. “Salah satu penerus silsilah keilmuan Habib Ahmad adalah paman saya, Paklik Habib Ahmad Bakri, dan saudaranya, Paklik Nur Hayat Bakri. Keduanya dikenal sebagai penerus ilmu Chadiran dari Habib Ahmad,” jelasnya.
Arif juga mengingat bagaimana foto besar Habib Ahmad bin Alawi Assegaf Tuliskriyo dulu terpampang di rumah pamannya dengan tulisan "Silsilah Ilmu Chadiran", menandakan betapa pentingnya sosok ini dalam sejarah keluarganya.
Arif Muzayin dengan tegas menyatakan bahwa makam Tiga Putri Mataram di Kelurahan Blitar tidak berkaitan dengan Habib Ahmad Assegaf Tuliskriyo. “Jika dikaitkan dengan makam putri Keraton Mataram yang ada di Kelurahan Blitar, ini tidak masuk akal. Jarak tahun kematian Habib Ahmad dan era putri Mataram itu sangat jauh,” tegas Arif.
Makam Tiga Putri Mataram sendiri dikenal sebagai situs bersejarah yang dihormati oleh masyarakat Blitar. Terletak di kompleks Makam Tiloro, makam ini adalah tempat peristirahatan terakhir bagi tiga putri dari Kerajaan Mataram pada abad ke-17: Roro Rayung, Roro Wandansari, dan Roro Bondan Palupi. Nama-nama mereka bahkan diabadikan sebagai nama jalan di Kelurahan Blitar, menunjukkan betapa besar penghormatan masyarakat setempat terhadap mereka.
Pernyataan klaim bahwa makam Tiga Putri Mataram adalah makam habib keturunan Yaman telah memicu kontroversi dan keresahan di masyarakat. Situs-situs sejarah seperti makam ini bukan hanya bagian dari identitas dan warisan budaya Blitar, tetapi juga simbol penghormatan terhadap leluhur dan sejarah lokal.
Arif Muzayin mengingatkan pentingnya keakuratan dalam interpretasi sejarah untuk mencegah penyalahgunaan informasi yang dapat merusak warisan budaya. “Klaim-klaim seperti ini perlu dikaji ulang dan didasarkan pada bukti yang akurat. Mengaitkan sesuatu yang tidak relevan bisa mengaburkan fakta sejarah dan mengganggu penghormatan terhadap situs-situs bersejarah kita,” ujar Arif.
Baca Juga : Puluhan Warga Kabupaten Blitar Positif HIV, Mayoritas Lelaki
Arif Muzayin juga mengajak masyarakat untuk terus menjaga dan melestarikan warisan budaya dan sejarah Blitar. “Makam-makam tua dan situs-situs bersejarah adalah bagian penting dari identitas kita. Mereka perlu dirawat dan dihormati sebagaimana mestinya,” katanya.
Dengan klarifikasi ini, diharapkan polemik terkait makam Tiga Putri Mataram dapat segera diselesaikan dan masyarakat dapat melanjutkan upaya untuk melestarikan situs-situs sejarah mereka tanpa gangguan dari klaim yang tidak berdasar.
Blitar, sebagai kota dengan kekayaan budaya dan sejarah yang luar biasa, memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga dan melestarikan warisan ini untuk generasi mendatang.