free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Mengintip Sejarah Langgar Annur: Saksi Bisu Perjuangan Prajurit Pangeran Diponegoro di Kota Blitar

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

13 - Mar - 2024, 22:34

Placeholder
Haji Isman Hadi menjelaskan sejarah Langgar Annur.(Foto: Tim JatimTIMES)

JATIMTIMES - Tak banyak yang tahu, bahwa di Kota Blitar ada sebuah bangunan tempat ibadah bersejarah yang berusia ratusan tahun. Di antara gemerlapnya perkotaan modern, terselip sebuah kepingan masa lalu yang masih tegar berdiri, mengisahkan sejarah panjang di balik dinding bambunya. Bangunan itu adalah Mushola Annur, yang terletak di Kelurahan Plosokerep, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar.

Dalam riuhnya aktivitas sehari-hari, Mushola Annur tetap menjadi tempat kedamaian bagi warga sekitar. Di pagi buta, ketika udara masih sejuk, langit mulai memancarkan warna oranye keemasan, suara takbir berkumandang memecah keheningan. Para jamaah telah berkumpul di dalam langgar, mengawali harinya dengan shalat subuh berjemaah. Sementara itu, di bulan Ramadan, cahaya remang-remang menyelimuti ruangan saat jamaah berkumpul kembali untuk melaksanakan shalat tarawih. Di sudut-sudut ruangan, terlihat beberapa orang sibuk membersihkan masjid dengan penuh kesadaran akan kebersihan.

Baca Juga : Rumah Suraji Jadi "Surga Kecil" setelah Direnovasi Satgas TMMD Ke-119 Kodim 0808/Blitar

Di halaman depan Mushola Annur, terdapat pohon sawo yang menjulang gagah. Namun, bagi mereka yang memahami sejarah, pohon itu bukan sekadar tumbuhan biasa. Ia adalah simbol keberanian dan keteguhan hati, merupakan kode sandi eksistensi legiun Pangeran Diponegoro yang kini tersimpan dalam keheningan dedaunan.

Pangeran Diponegoro, putera Sri Sultan Hamengkubuwono III, lahir dari isteri selir Raden Ayu Mangkarawati. Diberi nama kecil Raden Mas Ontowiryo, ia tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi dengan nilai-nilai agama. Sejak kecil, Diponegoro telah diselimuti oleh ketakwaan kepada Allah, dan hal tersebut membentuknya menjadi seorang muslim yang taat.

Ketika memasuki masa dewasa, Diponegoro memimpin sebuah perlawanan besar yang dikenal dengan nama Perang Diponegoro atau Perang Jawa. Periode penting ini terjadi dari tahun 1825 hingga 1830, ketika Diponegoro memimpin rakyat Jawa melawan pemerintah Hindia Belanda yang menindas.

Sejarah mencatat dengan jelas betapa dahsyatnya pertempuran ini. Perang Diponegoro dikenal sebagai salah satu konflik paling mematikan dalam sejarah Indonesia. Tak kurang dari 8.000 serdadu Belanda tewas, bersama dengan 7.000 jiwa pribumi dan 200 ribu orang Jawa. Kerugian materi juga sangat besar, mencapai 25 juta Gulden. Untuk memberikan gambaran, satu Gulden setara dengan satu gram emas, dan pada saat itu pendapatan tahunan pemerintah Hindia Belanda hanya sekitar 2 juta Gulden. Dengan demikian, perang ini menghabiskan anggaran pemerintah Belanda setara dengan 10 tahun pendapatannya dalam waktu hanya 5 tahun.

Perjuangan Diponegoro tidak hanya melawan penindasan politik dan militer, tetapi juga menunjukkan keberanian dalam mempertahankan nilai-nilai agama dan kebudayaan Jawa. Ia menjadi simbol perlawanan yang gagah berani dan keberanian dalam menghadapi penjajahan.

Meskipun akhirnya Diponegoro ditangkap dan diasingkan, warisan perjuangannya tetap melekat dalam sejarah bangsa Indonesia. Namanya tetap diabadikan dalam ingatan, menginspirasi generasi-generasi berikutnya untuk tidak pernah menyerah dalam menjaga kedaulatan dan martabat bangsa.

Mushola Annur, yang telah berdiri kokoh selama 199 tahun, menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang perjuangan. Didirikan oleh salah satu prajurit Pangeran Diponegoro bernama Irodikoro atau Haji Abdus Sjakur pada tahun 1825, bangunan ini menawarkan potret autentik masa lalu yang masih terjaga hingga kini.
Menurut Haji Isman Hadi, pengurus Mushola Annur, bangunan ini tidak banyak mengalami perubahan sejak awal didirikan. Dengan konstruksi yang tetap utuh, termasuk tiang kayu jati yang kokoh serta dinding anyaman bambu yang menjadi ciri khasnya, Mushola Annur memancarkan aura keabadian yang memikat hati setiap pengunjung.

"Ada juga ukiran di tempat imam yang didatangkan langsung dari Jepara dan masih ada sampai saat ini," ujar Haji Isman Hadi, sambil menunjuk ke arah sebuah ukiran halus yang menjadi saksi bisu dari perjalanan sejarah yang menggetarkan, Rabu (13/3/2024).

Baca Juga : Sederet Fakta Pemuda Madura yang Dijuluki ‘The Black Mascot’

Sejarah berdirinya Mushola Annur mengungkap kisah heroik dari Mbah Irodikoro, seorang prajurit Pangeran Diponegoro yang melarikan diri ke Kota Blitar bersama lima orang prajurit lainnya. Sebagai seorang yang pernah menjabat sebagai bupati di Jawa Tengah, Mbah Irodikoro bergabung dengan Pangeran Diponegoro dalam perjuangan melawan penjajah Belanda. Namun, ketika Pangeran Diponegoro tertangkap dan diasingkan ke Makassar, beliau harus melanjutkan perjuangan di medan yang berbeda.
Dengan hati penuh tekad, Mbah Irodikoro menikahi seorang wanita lokal di Blitar dan mendirikan Mushola Annur sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat. Mushola Annur bukan sekadar bangunan, namun juga lambang keteguhan hati dan semangat perjuangan yang abadi.

Di depan langgar gantung itu, sebuah bedug besar berdiri kokoh, menjadi penanda kala waktu telah tiba untuk melaksanakan ibadah. Usia bedug itu sama dengan usia mushola, menyimpan cerita-cerita lama yang terukir dalam getaran nadanya.
Mushola Annur tidak hanya menjadi tempat ibadah, namun juga museum hidup yang memelihara kenangan akan masa lalu yang gemilang. Dalam dinginnya pagi atau senja yang merah menyala, langgar gantung itu tetap tegar berdiri, menanti untuk menceritakan kisahnya kepada siapa pun yang bersedia mendengarkan.
Pangeran Diponegoro, dengan nama kecil Raden Mas Ontowiryo, adalah sosok yang tumbuh dalam lingkungan yang sarat akan nilai-nilai agama. Namun, kehidupannya yang damai terganggu oleh kebijakan-kebijakan semena-mena Hindia Belanda yang merendahkan martabat rakyat Jawa. Perlawanan Pangeran Diponegoro bermula dari tindakan provokatif Belanda yang memasang patok-patok di tanah miliknya di Desa Tegalrejo, serta perlakuan tidak menghargai adat istiadat setempat dan eksploitasi berlebihan terhadap rakyat dengan pajak yang sangat tinggi.

Meskipun dalam literatur Belanda sering kali disebutkan bahwa perlawanan Diponegoro berawal dari rasa sakit hati karena tidak diangkat menjadi raja Yogyakarta, namun menurut penelitian Profesor Wardiman Djojonegoro, sebenarnya perlawanan tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan Pangeran Diponegoro untuk membebaskan rakyat miskin dari penderitaan akibat sistem pajak yang diterapkan oleh pemerintah kolonial serta untuk memperoleh pengakuan atas kedudukannya sebagai kepala agama Islam di Jawa.
Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro tidak sendirian. Ia didukung oleh beberapa tokoh karismatik seperti Kiai Mojo, Raja Surakarta Sunan Pakubuwono VI, Raden Tumenggung Prawiradigdaya, dan ulama-ulama terkemuka di wilayah Jawa Tengah. Putranya, Bagus Singlon atau Ki Sodewa, juga turut serta dalam peperangan di wilayah Kulonprogo dan Bagelen.

Di samping itu, dukungan dari berbagai ulama dan bupati di Jawa Tengah turut memperkuat perlawanan Diponegoro. Salah satu bupati itu adalah Irodikoro yang kemudian mendirikan Langgar Annur di Keluraha Plosokerep, Kecamatan Kepanjenkidul, Kota Blitar.
Pada Februari 1830, Pangeran Diponegoro setuju untuk bertemu dengan utusan Jenderal De Kock, namun pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. Setelah beberapa pertemuan yang terjadi selama bulan puasa, akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, bertepatan dengan Hari Idul Fitri, Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Jenderal De Kock. Meskipun terjadi perdebatan dan tegang antara keduanya, Pangeran Diponegoro akhirnya menyerah dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan.
Setelah penyerahan diri Pangeran Diponegoro, anggota laskarnya tersebar ke berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Di Jawa Timur khususnya, laskar-laskar ini menjadi pionir dalam pembentukan desa-desa baru di beberapa daerah seperti Trenggalek, Tulungagung, dan Blitar. Tak hanya itu, pasukan dari kalangan santri juga turut serta dalam upaya perlawanan. Mereka melakukan strategi dengan menyusup ke dalam pondok-pondok pesantren. Dengan keahlian dan keteguhan hati mereka, pondok-pondok pesantren menjadi tempat perlindungan dan basis perlawanan yang efektif terhadap penindasan pemerintah kolonial. Dari balik tembok-tembok pesantren, semangat perlawanan terus berkobar, membakar api kebebasan di hati setiap santri yang teguh mempertahankan nilai-nilai keadilan dan kebenaran.

Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Gedung Karesidenan Semarang, lalu dibawa ke Batavia dan kemudian diasingkan ke Manado pada tahun 1830 dan selanjutnya dipindah ke Makassar. Setelah beberapa tahun berada di berbagai tempat pengasingan, Pangeran Diponegoro wafat di Benteng Ford Rotterdam Makassar pada tanggal 8 Januari 1855.


Topik

Serba Serbi Kota Blitar Pangeran Diponegoro perang diponegoro perang jawa. mushola annur



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya