JATIMTIMES - Calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo bicara terkait pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diusulkan gerakan Petisi 100. Ganjar menilai pemakzulan harus didasari pelanggaran yang dilakukan presiden.
"Saya belum tahu apa yang akan dimaksudkan pada persoalan apa sehingga harus dimakzulkan. Ketika ada indikasi pelanggaran konstitusi, sebenarnya itulah yang bisa menjadi entry poin," kata Ganjar di kantor DPC PDIP Kabupaten Batang, Selasa (16/1/2024).
Baca Juga : Utut Adianto Ungkap Kondisi PDIP usai Maruarar Hengkang, TKN Justru Sudah Jalin Komunikasi
Lebih lanjut Ganjar mengaku tidak melihat indikasi-indikasi yang dilanggar Presiden Joko Widodo saat ini. "Mungkin orang mesti menjelaskan dulu ketika ada orang ingin memakzulkan, apa pelanggaran yang dilakukan," lanjutnya.
Tanpa adanya indikasi pelanggaran, Ganjar menegaskan pemakzulan tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu, pemakzulan yang diusulkan gerakan tersebut tidak bisa dilakukan saat ini.
"Tanpa itu (bentuk pelanggaran) rasanya tidak mungkin karena mesti ada sesuatu yang dilanggar. Apakah itu soal janjinya? Apakah itu soal konstitusi atau peraturan undang-undangnya? Baru kita bisa menginjak ke tahapan itu. Kalau nggak, ya nggak bisa," ujar Ganjar.
Seperti yang sudah diketahui, sejumlah tokoh yang tergabung dalam Petisi 100 mendatangi Menko Polhukam Mahfud MD untuk menyampaikan permintaan mengenai pemakzulan Presiden Joko Widodo. Mereka datang untuk mengusulkan pemakzulan Presiden Jokowi dari pemilu.
"Mereka minta pemakzulan Pak Jokowi, minta pemilu tanpa Pak Jokowi," kata Mahfud Selasa (9/1).
Baca Juga : Marak Aksi Begal, Ini Respons Polresta Malang Kota
Mahfud mengatakan ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan hal tersebut. "Itu silakan saja kalau ada yang melakukan itu. Tetapi berdasarkan undang-undang dasar (UUD) untuk memakzulkan presiden itu ya syaratnya lima. Satu, presiden terlibat korupsi, terlibat penyuapan, melakukan penganiayaan berat atau kejahatan berat semisal membunuh atau apa dan sebagainya," kata Mahfud di Surabaya, Rabu (10/1/2024).
"Lalu yang keempat melanggar ideologi negara. Nah yang kelima, melanggar kepantasan, melanggar etika gitu," lanjutnya.