JATIMTIMES – Bagi perempuan India, kehilangan suami adalah hal yang menakutkan, bahkan mungkin lebih dari itu. Janda di India harus memenuhi praktik yang tidak manusiawi selama sisa hidupnya.
Mereka juga akan mendapati diskriminasi sosial dari negaranya sendiri, tradisi di sana meyakini jika suami meninggal adalah kelalaian sang istri karena dianggap gagal untuk menjaga suaminya.
Baca Juga : Pembangunan Proyek Strategis Nasional Tol Kediri - Kertosono, Pembebasan Lahan Tinggal 2 Persen
Kini populasi janda di India diperkirakan lebih dari 40 juta. Dengan 10% populasi perempuan di negara tersebut, India adalah negara dengan populasi janda terbesar di dunia. Pengalaman menjanda di India berbeda-beda berdasarkan status sosial-ekonomi, adat istiadat, agama, tradisi dan periode. Janda di India dianggap jelek karena menghilangkan inti dari kewanitaannya. Bahkan mereka kehilangan titik merah di antara alisnya yang menyatakan energi seksual sebagai tindakan simbolis dari pengebirian.
India sangatlah tunduk pada hukum adat dengan tradisi patriarki yang mengakar. Akibatnya, masih banyak keluarga dari berbagai komunitas di India yang menjauhi dan menelantarkan para janda. Di sebagian besar masyarakat India, seorang janda sering dianggap oleh anggota keluarga sebagai beban dan ancaman seksual terhadap pernikahan.
Seorang janda harus mengikuti ritual yang mempermalukan, mulai dari aturan berpakaian dan isolasi diri sebagai bagian dari proses berkabung untuk menunjukkan kesedihan dan kesetiaan kepada suami. Seringkali para janda tidak menuntut adanya jaminan perlindungan hukum. Norma-norma sosial patriarki yang terinternalisasi seringkali tidak memungkinkan mereka melakukan hal tersebut.
Baik tua maupun muda, perempuan yang menjanda meninggalkan sari warna-warni mereka, meninggalkan perhiasan mereka, dan bahkan mencukur rambut mereka, jika mereka menganut tradisi Hindu yang lebih konservatif. Semua ini dirancang agar tidak mendorong hasrat seksual laki-laki.
Meskipun para janda saat ini tidak dipaksa untuk mati dalam ritual sati (membakar diri mereka di atas tumpukan kayu pemakaman suaminya), mereka pada umumnya masih diharapkan untuk berkabung sampai akhir hayatnya. Menurut teks suci berusia 2.000 tahun yang ditulis oleh Manu, nenek moyang umat manusia dalam agama Hindu, “Istri yang berbudi luhur adalah dia yang setelah kematian suaminya tetap suci dan mencapai surga meskipun dia tidak memiliki anak laki-laki.”
Menjanda adalah sebuah keadaan kematian sosial, bahkan di kalangan kasta yang lebih tinggi. Mirisnya lagi para janda India sering dijuluki sebagai pemakan suami bahkan pelacur. “Para janda masih dituduh bertanggung jawab atas kematian suaminya, dan mereka diharapkan memiliki kehidupan spiritual dengan banyak batasan yang mempengaruhi mereka baik secara fisik maupun psikologis,” kata Mohini Giri, seorang aktivis veteran pejuang hak perempuan.
Baca Juga : Gempa Guncang Kabupaten Malang, Hasil Monitoring BMKG: Belum Ada Aktivitas Gempa Susulan
Para janda sepertinya mengikuti aturan berdasarkan tradisi karena sudah menginternalisasikannya. Mereka terus melakukan apa yang dilakukan para janda lain tanpa diminta, pasrah pada nasib tertentu bahkan seperti membatasi pola makan mereka sendiri.
Umat Hindu Ortodoks percaya bahwa bawang bombay, bawang putih, acar, kentang, dan ikan memicu gairah seksual dengan menstimulasi darah, namun makanan ini juga diperlukan untuk menghindari malnutrisi atau bahkan kematian. Di India secara keseluruhan, angka kematian di antara para janda 85 persen lebih tinggi dibandingkan perempuan yang sudah menikah.
Hari Janda Internasional merupakan kesempatan untuk mengingatkan pemerintah agar menjunjung tinggi komitmen mereka dalam menjamin hak-hak para janda sebagaimana tercantum dalam hukum internasional, termasuk Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan Konvensi Hak Anak.