JATIMTIMES - Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Malang angkat bicara ihwal jam kota atau Stadsklok yang dikritisi pemerhati sejarah. Dalam hal ini pihaknya menegaskan tidak akan memindahkan jam legendaris tersebut.
Kepala Bidang Ruang Terbuka Hijau (Kabid RTH) DLH Kota Malang, Laode Kulaita mengaku bahwa rencana awal pengerjaan separator jalan, jam kota tersebut akan digeser sedikit beberapa meter. Namun, setelah dipastikan bahwa jam kota tersebut merupakan cagar budaya, rencana itu akhirnya dibatalkan.
Baca Juga : Kejam, Israel Maksimalkan Serangan Sebelum Gencatan Senjata
“Dibatalkan, karena cagar budaya. Jadi (jam kota) tetap, gak dipindah, gak diapa-apakan,” tegas Laode.
Oleh karena itu, saat ini Laode mengaku pengerjaan separator jalan hanya untuk memperluas saja. Dan rencananya, sekelilingnya juga bakal dijadikan taman dengan kurang lebih anggaran lebih dari Rp 100 juta.
“Tujuannya kan untuk mendukung kelancaran lalu lintas. Sebelumnya kan pakai water barrier gak permanen itu. Sama dengan di perempatan Rajabali juga. Jadi hanya dihiasi taman saja,” beber Laode.
Rencananya, pengerjaan separator di dua lokasi yakni di area jam kota atau di pertigaan PLN Kayutangan dan perempatan Rajabali, Jalan Basuki Rahmat, Kota Malang, bakal segera diselesaikan. Yakni dengan waktu paling cepat pada pertengahan Desember 2023 mendatang.
“InsyaAllah pertengahan Desember paling cepat (pengerjaan separator di pertigaan PLN dan perempatan Rajabali selesai),” tandas Laode.
Sebelumnya, rencana pergeseran jam kota atau dalam bahasa Belanda disebut Stadsklok menjadi perhatian bagi masyarakat, khususnya bagi pemerhati sejarah dan cagar budaya.
Sebab, pengerjaan separator jalan untuk memperluas jalur di kawasan Kayutangan Heritage, harus mengorbankan jam kota yang rencananya bakal digeser.
Diketahui, jam kota atau Stadsklok yang berdiri tepat di pertigaan PLN Kayutangan Malang tersebut, merupakan warisan cagar budaya yang telah ditetapkan pada tahun 2021 lalu.
Stadsklok tersebut dibangun secara bersamaan dalam paket pembangunan Gemeente/Kotapraja Malang di tahun 1926 silam bersamaan dengan dibangunnya Balai Kota Malang.
Baca Juga : Pj Wali Kota Kediri Zanariah Siap Lanjutkan Kolaborasi Jaga Kerukunan di Kota Kediri
Jam yang digarap oleh arsitek Van OS tersebut, mulai dioperasikan sejak awal tahun 1927 lalu dengan penggerak listrik dan dilengkapi petunjuk arah dan tempat iklan di kolom badannya.
Pemerhati sejarah dan cagar budaya, Restu Respati mengatakan, Stadsklok yang telah resmi menjadi cagar budaya tersebut seharusnya tidak boleh digeser.
Hal itu sudah tertera dalam UU RI no 11 Tahun 2010 dan Peraturan Daerah (Perda) Kota Malang No 1 Tahun 2018 bahwa setiap orang dilarang merusak cagar budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok maupun letak asal.
“Kalau sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, tidak boleh diubah-ubah. Apakah itu bentuk bangunan dan tempat. Yang boleh untuk pengalihan lokasi itu kalau ada unsur penyelamatan,” ujar Respati.
Jika pergeseran dilakukan, Restu menganggap bahwa Pemkot Malang telah merusak cagar budaya yang ada. Oleh sebab itu, pihaknya akan tetap mengawal serta memberikan pemahaman terhadap Pemkot Malang hingga masyarakat tentang cagar budaya yang tak boleh diubah-ubah.
“Kalau bangun separator dengan alasan kelancaran, ya harusnya separator yang menyesuaikan jamnya. Bukan jam yang dipindah menyesuaikan separator,” ungkapnya.
“Jadi perlu dipahami, cagar budaya nilai pentingnya bukan hanya fisik, tapi juga lokasinya,” imbuhnya.