JATIMTIMES - Dalam menghadapi perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan, konsep arsitektur bangunan apung muncul sebagai solusi inovatif untuk mengadaptasi diri terhadap kenaikan permukaan laut dan ancaman banjir yang semakin nyata.
Perubahan iklim telah menjadi tantangan serius bagi kelangsungan hidup Bumi. Salah satu dampak nyata yang sudah terjadi adalah kenaikan permukaan laut dengan laju yang semakin cepat. Menurut perkiraan, garis pantai di Amerika Serikat bisa mengalami kenaikan antara 10 hingga 12 inci pada tahun 2050.
Baca Juga : Bangsa Romawi Kuno Gunakan Urine sebagai Pemutih Gigi
Bahkan, Sekretaris Jenderal PBB telah memperingatkan bahwa komunitas dan negara-negara tertentu bisa menghilang dalam beberapa dekade mendatang, terutama bagi sekitar 900 juta orang yang tinggal di zona pesisir rendah.
Banjir yang merusak telah melanda banyak komunitas rentan, dan sebagai respons terhadap perubahan ini, arsitek-arsitek telah menciptakan solusi inovatif: bangunan apung. Konsep ini mengubah paradigma pembangunan dari menahan air menjadi hidup bersama air dan bahkan di atas air.
Salah satu solusi yang menarik adalah ide pembangunan kota terapung yang "tahan iklim." Proyek-proyek ini, termasuk pemukiman samudra yang ambisius di Korea Selatan dan kota terapung yang mampu menampung 20.000 orang di Maladewa, telah mencuri perhatian global.
Namun, konsep bangunan apung juga telah diimplementasikan dalam proyek-proyek yang sudah berjalan, dari Lagos hingga Rotterdam, menunjukkan bahwa kehidupan di atas air bukanlah mimpi belaka, melainkan solusi yang dapat ditingkatkan dan diadopsi lebih luas.
Dalam konteks ini, NLÉ, sebuah praktik arsitektur yang dipimpin oleh Kunlé Adeyemi, telah memainkan peran penting dalam penelitian dan pengembangan arsitektur terapung. Proyek paviliun terapung yang berasal dari proyek Makoko Floating School di Lagos, Nigeria, menjadi percontohan bagaimana bangunan-bangunan dapat diadaptasi untuk menghadapi perubahan iklim ini.
Meskipun proyek sekolah ini runtuh beberapa tahun kemudian, NLÉ melanjutkan eksperimennya dan mengembangkan Makoko Floating System (MFS), struktur kayu berkelanjutan yang dapat dipasang dan dilepas dengan cepat, serta memenuhi standar bangunan Eropa.
MFS adalah sistem modular dengan koneksi baja yang efisien dan dirancang untuk memenuhi kode bangunan Eropa. Dengan bagian prefabrikasi yang dapat dirakit oleh tim kecil dalam waktu dua minggu tanpa menggunakan peralatan berat atau derek, MFS menawarkan solusi inklusif yang mendukung komunitas yang paling rentan dalam menghadapi adaptasi iklim.
Makoko Floating School - Lagos, Nigeria
Proyek Makoko Floating School di Lagos, Nigeria, menciptakan konsep bangunan apung untuk mengatasi masalah banjir dan perubahan iklim di kawasan tersebut. Dengan desain segitiga yang unik, sekolah ini memberikan solusi adaptasi yang inovatif dengan menggunakan dasar drum plastik sehingga bisa mengapung di atas air. Meskipun sekolah ini awalnya bersifat sementara, eksperimen ini menjadi inspirasi untuk pengembangan lebih lanjut, seperti Makoko Floating System (MFS).
Floating City - Songdo, Korea Selatan
Korea Selatan memiliki rencana ambisius untuk menciptakan kota terapung yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan pusat ekonomi. Terletak di Songdo, kota terapung ini akan menawarkan solusi adaptasi iklim dengan konsep bangunan yang dapat bergerak mengikuti perubahan air laut. Diharapkan bahwa konsep ini dapat menjadi prototipe untuk kota terapung masa depan di seluruh dunia.
Floating Pavilion - Rotterdam, Belanda
Baca Juga : Bagaimana Piramida Dibangun? Begini Penjelasan Al-Quran
Rotterdam, sebagai salah satu kota pesisir yang rentan terhadap kenaikan permukaan laut, telah menjadi pusat eksperimen arsitektur terapung. NLÉ, praktik arsitektur yang dipimpin oleh Kunlé Adeyemi, telah menciptakan serangkaian paviliun terapung di Rotterdam, yang berkembang dari proyek Makoko Floating School. Pavilion-pavilion ini tidak hanya sebagai karya seni, tetapi juga sebagai konsep bagaimana arsitektur dapat bersatu dengan air.
Floating Homes - Nassauhaven, Rotterdam, Belanda
Sebagai respons terhadap perubahan iklim dan kenaikan air laut di Rotterdam, proyek Nassauhaven menciptakan rumah terapung menggunakan desain kayu yang dapat beradaptasi dengan perubahan pasang surut air harian. Dengan energi yang netral dan fitur berkelanjutan, proyek ini adalah contoh nyata bagaimana konsep bangunan apung dapat diterapkan secara praktis dalam lingkungan perkotaan.
Floating "Music Hub" - Mindelo, Cape Verde
Di Mindelo, Cape Verde, sebuah "music hub" terapung dibangun sebagai proyek semi-permanen. Terdiri dari tiga paviliun kayu dan baja berbentuk segitiga, pusat budaya ini mencakup ruang pertunjukan, bar, kantin, dan studio rekaman. Terhubung melalui jalan setapak ke daratan, proyek ini menunjukkan bagaimana bangunan apung dapat menciptakan ruang budaya yang dinamis di tengah air.
Bangunan apung bukan hanya solusi untuk adaptasi iklim, tetapi juga membawa potensi arsitektur yang berkelanjutan dan inovatif. Di Rotterdam, sebuah proyek residensial terapung bernama Nassauhaven menunjukkan bagaimana rumah-rumah kayu di atas ponton beton dapat beradaptasi dengan pasang surut air harian dan tetap nyaman untuk dihuni.
Didesain untuk menjadi netral energi dengan fitur-fitur berkelanjutan seperti panel surya, pemanas biomassa, dan penyaringan air limbah di tempat, proyek ini menjadi langkah penting dalam menciptakan solusi yang tahan iklim.
Sementara beberapa proyek ini baru berada pada tahap percobaan, konsep bangunan apung menunjukkan potensi besar sebagai jawaban untuk tantangan perubahan iklim.
Dengan lebih banyak penelitian dan pengembangan di masa depan, kita dapat mengharapkan adopsi lebih luas dari solusi ini, yang mungkin membentuk dasar bagi cara kita membangun dan hidup di masa depan yang semakin dipengaruhi oleh perubahan iklim.