JATIMTIMES – Untuk melestarikan seni budaya, terutama seni wayang kulit, serta dalam rangka memperingati Hari Wayang Nasional yang jatuh pada tanggal 7 November, Pemerintah Desa Semboro Kecamatan Semboro Jember, selama 2 malam yakni 3-4 November 2023, menggelar pagelaran wayang kulit.
Bukan sekedar pagelaran wayang kulit sebagaimana umumnya, dalam acara yang diawali dengan kirab wayang dan dalang. Dimulai dari lapangan desa menuju balai desa tempat digelarnya acara, Pemdes Semboro menghadirkan 11 dalang cilik tampil dalam 1 panggung.
Baca Juga : Pembangunan Jembatan Kali Glidik II Rampung dan Sudah Bisa Dilalui Kendaraan
“Kegiatan ini merupakan cara Pemdes Desa Semboro dalam memperingati Hari Wayang Nasional. Kegiatan ini rutin kami gelar setahun sekali. Untuk tahun ini, kami menghadirkan 11 dalang cilik dari sanggar seni yang ada di seputaran wilayah Kecamatan Semboro,” ujar Antoni kepala Desa Semboro Jumat (3/11/2023) malam.
Antoni menambahkan, tujuan menghadirkan dalang cilik tampil dalam satu panggung, selain melestarikan seni dan budaya yang mulai tergerus zaman. Pihaknya juga ingin memberikan ruang dan jam terbang dalang-dalang cilik dalam mengasah kemampuannya memainkan wayang kulit.
“Karena kita semua tahu, anak-anak zaman sekarang lebih cenderung bermain gawai, dari pada belajar budaya nusantara. Dalang-dalang cilik yang kami hadirkan ini, untuk meregenerasi dan mengasah kemampuannya dalam memainkan wayang kulit,” jelasnya.
Diwangga Bagus Wibowo, dalang cilik yang masih duduk di bangku kelas 5 SD, ditemui di sela-sela pagelaran menyatakan bahwa dirinya sudah 3 kali tampil di atas panggung dan ditonton oleh orang banyak. Di antaranya 2 kali di balai Desa Semboro pada acara yang sama, yakni peringatan Hari Wayang Nasional tahun lalu dan tahun ini. Juga pernah mendapatkan job di Desa Wringinagung Jombang.
Bukan hal mudah bagi cicit dalang kondang asal Semboro Ki Gombloh ini, untuk mempelajari ilmu perwayangan. Selain malu dan grogi yang masih muncul saat hendak tampil, bocah yang belajar dalang sejak di bangku TK ini, masih merasa kesulitan dalam menggunakan bahasa Kawi (bahasa pewayangan).
“Bahasanya yang sulit, kadang juga grogi saat sebelum tampil. Tapi kalau sudah tampil, rasa grogi bisa langsung hilang, dan sudah fokus dalang,” ujar bocah tampil dengan membawakan lakon Gatot Kaca Lahir.
Ketika ditanya bagaimana cara mengenal karakter dari tokoh-tokoh pewayangan? Diwangga menyatakan, bahwa dirinya selain belajar dari orang tuanya yang juga seorang dalang, ia belajar dari YouTube.
“Ya belajar dari bapak dan juga di YouTube,” ujarnya.
Baca Juga : Viral, Kondisi Sungai Kalisari Pandanwangi Penuh Sampah
Sementara Ki Beny Kukuhi Kuncoro Dalang sekaligus kakek dari Diwangga, ditemui di lokasi acara menyatakan, bahwa pelestarian seni budaya, terutama untuk dalang, saat ini membutuhkan regenerasi, sehingga perlu mewariskan seni ini kepada generasi mendatang.
Selain itu, Dalang yang memainkan wayang kulitnya, juga harus bisa mengikuti perkembangan zaman dan tidak monoton pada seni klasik, yang selalu menggunakan bahasa kawi, karena wayang juga bisa fleksibel.
“Saat ini selain agar seni budaya wayang tetap terjaga, dalang nya juga harus mengikuti perkembangan zaman. Jangan monoton pada tampilan wayang yang klasik, kalau misal tuan rumah minta ada campur sari, ya kita harus bisa memberikan tambahan campur sari. Intinya dalang harus pintar mengolah agar tidak ditinggalkan penontonnya,” jelas Ki Benny.
Benny menambahkan, selama lakon dan karakter tokoh yang sudah Pakem tidak diubah, pagelaran wayang kulit masih memiliki rohnya.
“Hal yang tidak bisa dirubah dan sudah menjadi pakemnya, adalah lakon dan karakter, harus sesuai. Kalau soal bahasa, masih bisa ditolerir, terutama bahasa kawi, sah-sah saja diubah, agar bisa dimengerti oleh penonton yang menikmatinya,” pungkas Ki Benny. (*)